TATKALA saya masih bekerja sebagai wartawan Harian Umum Republika, pernah sekali saya berkesempatan mengadakan wawancara khusus dengan Gus Dur. Temanya ihwal kaitan Islam dan demokrasi, tema yang tengah hangat saat itu, sekaligus sangat menarik buat saya sendiri.
Kebetulan waktu itu saya membawahi desk politik dan agama, dan jika tak salah ingat, saya tengah meliput acara dialog lintas agama mengenai sumbangan agama bagi proses demokratisasi di Indonesia. Di sela acara inilah saya berhasil mencuri kesempatan mewawancarai Gus Dur.
Dalam wawancara itu, Gus Dur alias KH Abdurrahman Wahid antara lain mengatakan bahwa Islam sangat erat kaitannya dengan demokrasi, sebab impuls atau getaran hati (ajaran) Islam sejatinya adalah impuls demokrasi. Walaupun tidak saya tulis dalam format tanya jawab, namun hasil wawancara ini kemudian dimuat Republika dalam sebuah artikel tunggal yang berisi rangkuman hasil wawancara saya dengan Gus Dur.
Sebagai seorang reporter baru harian yang memposisikan diri sebagai koran Islam ini, sikap saya biasa-biasa saja ketika berhasil mewawancarai dan menuliskan pemikiran Gus Dur itu. Akan tetapi, ternyata, sebagian senior-senior saya menyatakan keheranannya, bagaimana saya yang dari Republika bisa meminta waktu khusus kepada Gus Dur untuk sebuah wawancara.
Walhasil, dari kasus ini saya malah menjadi tahu bahwa hubungan Gus Dur dengan Republika (dalam posisinya sebagai koran milik ICMI kala itu tentunya) tidak begitu sreg (bagus). Ini tentu sebagai dampak sampingan dari sikap Gus Dur yang menolak bergabung dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang dianggapnya bersifat sektarian dan menjadi sarana rezim Orde Baru untuk mengkooptasi para cendekiawan Muslim.
Untunglah, meski saya dibesarkan di sekolah menengah Muhammadiyah, namun sejak kuliah saya sudah akrab dengan gagasan-gagasan Gus Dur yang ketika itu acap dimuat jurnal ilmu-ilmu sosial Prisma dan Ulumul Qur'an. Malah sewaktu mahasiswa ini saya terhitung rajin ke sana kemari memakai kaos oblong bergambar wajah Gus Dur bertulisan "Gus Dur the Next Leader" di bawahnya.
Kebetulan waktu itu saya membawahi desk politik dan agama, dan jika tak salah ingat, saya tengah meliput acara dialog lintas agama mengenai sumbangan agama bagi proses demokratisasi di Indonesia. Di sela acara inilah saya berhasil mencuri kesempatan mewawancarai Gus Dur.
Dalam wawancara itu, Gus Dur alias KH Abdurrahman Wahid antara lain mengatakan bahwa Islam sangat erat kaitannya dengan demokrasi, sebab impuls atau getaran hati (ajaran) Islam sejatinya adalah impuls demokrasi. Walaupun tidak saya tulis dalam format tanya jawab, namun hasil wawancara ini kemudian dimuat Republika dalam sebuah artikel tunggal yang berisi rangkuman hasil wawancara saya dengan Gus Dur.
Sebagai seorang reporter baru harian yang memposisikan diri sebagai koran Islam ini, sikap saya biasa-biasa saja ketika berhasil mewawancarai dan menuliskan pemikiran Gus Dur itu. Akan tetapi, ternyata, sebagian senior-senior saya menyatakan keheranannya, bagaimana saya yang dari Republika bisa meminta waktu khusus kepada Gus Dur untuk sebuah wawancara.
Walhasil, dari kasus ini saya malah menjadi tahu bahwa hubungan Gus Dur dengan Republika (dalam posisinya sebagai koran milik ICMI kala itu tentunya) tidak begitu sreg (bagus). Ini tentu sebagai dampak sampingan dari sikap Gus Dur yang menolak bergabung dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang dianggapnya bersifat sektarian dan menjadi sarana rezim Orde Baru untuk mengkooptasi para cendekiawan Muslim.
Untunglah, meski saya dibesarkan di sekolah menengah Muhammadiyah, namun sejak kuliah saya sudah akrab dengan gagasan-gagasan Gus Dur yang ketika itu acap dimuat jurnal ilmu-ilmu sosial Prisma dan Ulumul Qur'an. Malah sewaktu mahasiswa ini saya terhitung rajin ke sana kemari memakai kaos oblong bergambar wajah Gus Dur bertulisan "Gus Dur the Next Leader" di bawahnya.