27 Desember 2009

Persahabatan Unik Blasius, Tia, dan Saya

BLASIUS nama baptisnya. Tapi siapa nama lengkapnya, sampai sekarang saya belum tahu persis. Padahal kami sudah bersahabat sejak bertahun-tahun lalu. Saya terbiasa memanggilnya Bles atau Si Bles saja. Jarang memanggilnya Blasius, apalagi nama lengkapnya yang tentu lebih panjang lagi.

Saya mengenal Bles pertama kali tatkala ia masih mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Yogya. Saat itu, ia masih pula menyandang gelar calon pastur. Saya mengenal Bles karena ia berteman akrab dengan Tia atau Yuning, aktivis Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO), yang adik kandung sahabat saya, Wahyudi Marhaen.

Awal mengetahui pertemanan Bles dan Tia, saya sempat heran. Karena dua anak muda ini berasal dari latar belakang yang berbeda tadi. Yang satu calon pastur, satu lagi muslimah berjilbab, aktivis organisasi mahasiswa Islam yang dikenal militan pada masanya. Sementara saya sendiri, selain pernah aktif di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), kala itu adalah mantan aktivis HMI Dipo yang secara organisatoris menjadi rival HMI MPO.

Kedua anak muda itu acap bertandang ke kos saya di Yogya. Sering pula kami menyusun acara jalan-jalan bersama, berburu durian sembari menunggu waktu buka bersama pada bulan Ramadhan, misalnya. Bles dan Tia berboncengan, sementara saya naik motor berdua dengan teman satu kos, Arief Sudrajat. Arief ini cenderung seorang humanis, yang baik kepada semua orang, tanpa mempersoalkan perbedaan latar belakang mereka.

Walhasil, dengan segala perbedaan yang ada, kami berempat bisa menjadi sahabat dekat, untuk masa yang lama. Saking akrabnya, jika Tia memasak sesuatu yang enak, ia seringkali mengundang Bles, saya, dan Arief untuk bertandang ke kosnya dan bersama-sama menikmati masakannya. Maklum jika Tia pintar memasak, sebab ia kuliah di Jurusan Tata Boga IKIP Yogyakarta (kini Universitas Negeri Yogyakarta atau UNY).

Bahkan dalam wilayah agama pun, karena akrab dan saling menghormati, kami dan Bles biasa saling bertukar kisah ihwal tradisi atau keyakinan agama masing-masing, tanpa tendensi untuk mengintervensi. Malah kami bisa menikmati "jokes" atau guyonan yang melibatkan interaksi antaragama, kisah saling olok antara kyai dan pastur misalnya, tanpa salah satu pihak harus merasa tersinggung. Biasanya kami malah tertawa bersama dibuatnya. Boleh jadi seperti Gus Dur yang acap menikmati banyolan di tengah pendeta dan pastur itu.


Nah, suatu ketika Bles ini rupanya tertarik melihat koleksi buku-buku saya di kos yang memang banyak terdiri dari buku-buku tentang Islam atau gerakan Islam. Maka dia pun mengajukan izin untuk meminjam satu atau dua buku di antaranya. Namun permintaan itu tak pernah saya izinkan.

"Nanti jika dirimu tertarik dengan Islam dan akhirnya masuk Islam, saya dituduh melakukan Islamisasi...hahaha," kata saya asal saja. Dan Bles serta Tia pun cuma ikut tertawa terbahak. Maklum, isu yang merebak di Indonesia kala itu bukan Islamisasi, melainkan justru Kristenisasi yang dikhawatirkan oleh sebagian pegiat Islam.

Saya sendiri memang tak berpretensi mempengaruhi Bles untuk menjadi mualaf atau pindah agama. Terlebih dia calon pastur atau petinggi agama Katolik pula, yang tentu sudah mendapat materi pelajaran perbandingan agama. Maka, ketika suatu saat kami bepergian bersama dan melihat gambar Isa Al Masih (Yesus Kristus) dijual di pinggir jalan serta diletakkan di emperan trotoar begitu saja, dengan serius saya malah mengingatkan Si Bles: "Kamu harusnya protes Bles. Masak gambar Yesus ditaruh sembarangan, di trotoar pinggir jalan."

Namun reaksi Si Bles pun biasanya hanya tersenyum atau tertawa saja, yang diikuti tawa Tia, tiap kali mendengar usul usil saya. Bles anaknya memang penyabar. Saya tahu, ia tak mungkin bertindak keras, apalagi radikal, melihat ulah para pedagang poster yang kurang santun dalam menata dagangan bergambar Yesus Kristus tadi.

Bagaimana tidak sabar. Walaupun tidak puasa, ketika bulan Ramadhan, dan kami berjalan-jalan bersama, biasanya Bles ikut pula menahan lapar dan dahaga sepanjang perjalanan. Meski kami persilakan jika ingin makan atau minum, ia tetap bergeming. Baru ketika azan magrib tiba, ia ikut lahap menikmati buka bersama dengan kami.

Bles juga dengan sabar mengantar Tia berangkat shalat tarawih berjamaah dan menjemputnya pula ketika acara sudah bubar, di masjid kampus UGM. Sampai saya kadang terheran-heran dan berkomentar, "Kok mau-maunya Bles jadi tukang ojek Tia...hahaha."

Demikianlah bertahun-tahun kami jalani persahabatan unik ini. Dari "kubu" Bles, saya dan Tia mendapat tambahan teman calon pastur lainnya, yang kebetulan tinggal satu kos dengannya. Sementara dari "kubu" Tia, saya dan Bles bisa berkenalan dengan Witri, seorang aktivis Islam "manhaj" (aliran) Salafy yang mengenakan cadar, sehingga sampai sekarang pun saya dan Bles tak pernah tahu bagaimana raut mukanya :-).

Bles Melamar Tia
Kemudian agak lama saya tak bersua dengan Tia dan Bles ketika keduanya sudah menyelesaikan kuliah. Sampai suatu hari tiba-tiba Tia menemui saya dan minta waktu untuk sebuah pembicaraan yang agak serius.

"Ada apa?" tanya saya.
"Bles melamar saya Mas,"
"Apa?" tanya saya seolah tak percaya.
"Bles melamar saya..."
"Dia kan calon pastur..."
"Dia mau mundur dari calon pastur jika saya mau menikah dengannya..."
"Waduh...jika kau tak mau?"
"Dia tetap melanjutkan jadi pastur..."

Begitulah kira-kira perbincangan saya dengan Tia waktu itu. Tia pun lantas berkisah bahwa selain Bles ada satu lagi calon suami yang menginginkannya. Kebetulan kompetitor Bles ini  seorang Muslim, secara ritual termasuk Islam taat pula. Keduanya sama-sama bersahabat dekat dengan Tia dan saya. Itulah kenapa Tia menjadi bingung dan memerlukan "second opinion" dari saya.

Dimintai pendapat Tia harus memilih yang mana di antara keduanya, jujur saja saya juga bingung. Bukan lantaran Bles berbeda agama, tetapi lebih karena pernikahan bukanlah keputusan sementara. Saya khawatir jika input saya keliru bakal bisa menyebabkan ketidakbahagiaan sahabat saya itu untuk waktu yang lama.

Maka saya bertanya lebih dulu, bagaimana respon keluarga Bles dan Tia ihwal kabar lamaran itu. Menurut Tia, keluarga Bles menyerahkan urusan itu kepada anaknya. "Sebab menjadi pastur adalah panggilan, bukan paksaan," kata Bles di kemudian hari. Sementara keluarga Tia mensyaratkan pernikahan secara Islam. Artinya Bles harus membaca dua kalimat syahadat dan masuk Islam, sebab begitulah adab atau etika pernikahan dengan ahlul kitab (nonmuslim) bagi seorang Muslimah. Terlebih keluarga Tia berlatar belakang Islam santri taat atau Muhammadiyah.

Ternyata syarat yang diajukan keluarga Tia tidak menjadi masalah bagi Bles dan keluarganya. Walhasil, saya harus memberikan input bagi Tia untuk mengambil keputusan penting itu. Maka saya pun mencoba bersikap adil kepada Bles maupun pesaingnya. Saya katakan kepada Tia bahwa saya tak ingin terjebak kepada status formal agama yang disandang keduanya. Lebih obyektif dan adil jika saya melihat karakter atau akhlak kedua calon yang ada.

Karena itu saya mengatakan kepada Tia bahwa jika saya harus memilih kedua calon yang ada dari segi karakter atau akhlak, maka saya akan lebih nyaman berinteraksi dengan Bles walaupun Bles selama ini saya kenal sebagai seorang calon pastur.

"Bles itu akhlaknya bagus. Meminjam istilah Gus Dur untuk Romo YB Mangunwijaya, Bles itu ibarat seorang Muslim yang kurang shalatnya. Di pihak lain, tidak setiap mereka yang secara formal memeluk Islam itu akhlaknya otomatis bagus atau lebih bagus daripada yang nonmuslim. Tak sedikit muslim yang akhlaknya kurang terpuji, suka berbohong, menjadi pencuri, koruptor, atau pelacur, misalnya, "kata saya.

Bahkan saya diam-diam mengakui, akhlak Bles masih lebih bagus ketimbang diri saya. Bles lebih penyabar, lebih jujur, dan lebih santun ketimbang diri saya.

Hanya nasehat itu yang berani saya berikan kepada Tia. Selanjutnya saya persilakan kepadanya untuk menentukan pilihan secara mandiri, sebab bagaimanapun Tia sendirilah, dan bukan saya, yang akan mengarungi rumah tangga itu untuk jangka yang lama. 

Begitulah, usai melewati sejumlah proses internal, akhirnya Tia dengan tulus menerima lamaran sahabatnya, Bles. Saya pun terharu karena keduanya  meminta saya datang mendampingi pernikahan mereka. Bahkan menjelang prosesi pernikahan di rumah Tia di Klaten, secara khusus ayah Bles "menyerahkan" anaknya kepada saya. "Saya titipkan Bles kepada Mas Jarot," begitu kata ayah Bles. Maka, malam menjelang hajat akad nikah, saya pun tidur menemani Bles berdua saja di salah satu rumah keluarga yang khusus disediakan bagi rombongan pengantin laki-laki.

Uniknya, ketika pengantin laki-laki hendak dirias untuk kepentingan prosesi pernikahan, saya dan Bles masih saja asyik ngobrol ke sana kemari sembari tiduran di kamar. Sehingga sempat diprotes oleh pihak keluarga pengantin perempuan. Memang sempat muncul usulan saya kepada Bles agar kami berdua kabur melarikan diri saja sih...hahaha.

Pernikahan Bles dan Tia juga mencatat kenangan tersendiri bagi saya. Sebab hari itu saya ikut mengabadikan acara keduanya dengan menjadi fotografer dadakan. Untunglah pengalaman hobi berburu foto dan menjadi wartawan masih cukup lumayan membantu.

Dan alhamdulillah, puji Tuhan, kedua sahabat saya itu sekarang hidup bahagia dengan dua anak yang lucu dan sehat di sebuah kota kecil di Jawa Timur. Bles menjadi guru dan Tia menjadi ibu rumah tangga biasa. Nyaris tiap Lebaran keduanya bertandang kepada keluarga Tia di Klaten dan ketika Natalan berkunjung kepada keluarga Bles di perbatasan Kulonprogo Yogyakarta dan Muntilan, Jawa Tengah. Rumah orangtua Bles memang tak jauh dengan tempat ziarah Katolik yang populer: Gua Maria, di Sendangsono, Muntilan.  

Akhirkata, saya berharap kisah saya tentang Bles dan Tia ini tidak menyakiti perasaan atau hati sahabat atau kerabat saya yang beragama Katolik khususnya dan Nasrani pada umumnya. Sebab dari kisah dua sahabat yang akhirnya menikah ini, kami tidak pernah berniat menonjolkan siapa menang, siapa kalah. Kami tak pernah merekayasa semuanya. Semua mengalir begitu saja, panta rei. Kuasa Tuhan yang akhirnya menggerakkan Bles dan Tia melabuhkan cinta di pelaminan, atau dalam istilah Jawanya: witing tresno jalaran soko kulino (cinta berkembang karena kedekatan atau persahabatan).

Saya sendiri, meski sempat mencurigai keduanya saling menaruh hati, namun dengan segala perbedaan keyakinan dan latar belakang keluarga mereka, tak pernah menyangka keduanya akan menikah dan menjadi suami isteri. Saya hanya percaya, sesuai agama yang saya yakini, bahwa cinta itu merupakan salah satu misteri atau rahasia ilahi. Seperti diktum mashur yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW: "Jodoh, mati, dan rezeki adalah rahasia Allah."

Syukurlah, usai pernikahan itu, silaturahmi Bles dan Tia dengan keluarganya  atau keluarga besar mertuanya tetap terjaga. Begitu pula Bles dan saya dengan teman-teman Bles yang calon pastur atau beragama Katolik. Sebab kami berharap pernikahan itu menjadi kisah happy ending bagi semua, bukan sad ending bagi salah satu pihak.

Malah belakangan saya sempat berkirim email guyon kepada salah satu calon pastur teman Bles, yang juga menjadi teman saya dan Tia, yang akhirnya benar-benar bertugas sebagai pastur di Nusa Tenggara Timur (NTT): "Maaf Mas, kita satu kosong ...Bles akhirnya menikah dengan Tia." Dan sahabat saya ini pun cuma menjawab dengan tawa dan berdoa semoga Bles dan Tia berbahagia...Amin.[]


Tidak ada komentar: