29 Desember 2009

Beratnya Menjadi Anak Muda Indonesia

"Pohon yang tumbuh di atas batu, lebih kuat batangnya." (Ali bin Abi Thalib). 

MASIH tidak mudah bagi anak muda Indonesia yang ingin memperjuangkan masa depannya sendiri sekarang ini. Inilah salah satu dampak terus eksisnya tradisi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang selama 30 tahun lebih dihidupkan oleh rezim Orde Baru. Dan hal ini terus berlangsung hingga hari ini, sepuluh tahun lebih seusai reformasi. 

Anak-anak muda yang telah bersusah payah memeras otak dan membayar mahal untuk bersekolah atau kuliah, masih harus bersusah payah kembali mencari posisinya di tengah masyarakat dan bangsanya. Selembar ijazah sarjana, ditambah pengalaman berorganisasi atau tempaan tradisi intelektual di kampus, plus beragam keahlian teknis lainnya, tidak secara otomatis menempatkan kaum muda sesuai kompetensi keilmuan atau keterampilannya. Sebab tak ada jaminan the right man on the right job, the right man on the right place. Terutama bagi mereka yang muncul dari kalangan rakyat jelata atau keluarga yang biasa saja.

Hanya anak-anak muda yang memiliki latar belakang keluarga terpandang, seperti keluarga pejabat, atau mereka yang kaya raya seperti pengusaha dan konglomerat, yang realitanya bisa menata masa depannya dengan mulus-mulus saja. Mereka yang terkategori keturunan "darah biru" atau the have inilah yang leluasa memilih: akan menjadi apa saja rasanya akan bisa  atau kesampaian. Mau menjadi pengusaha, masuk ke dalam birokrasi, atau menjadi politisi, seolah semuanya dengan mudah terhampar di depan mata.

Sebaliknya, mereka yang lahir dari keluarga bersahaja, rakyat kebanyakan, harus terlunta-lunta, untuk dapat merangsek ke dalam peluang atau posisi yang lebih baik. Tak soal bahwa bekal atau kualifikasi ilmu atau kompetensi teknis mereka ini sejatinya lebih baik dari anak-anak muda papan atas tadi. Kalaupun ada satu dua dari mereka yang berhasil muncul ke pentas nasional dalam usianya yang masih muda, seperti Budiman Sudjatmiko atau Andi Arief, misalnya, sepertinya hanyalah sebuah kecelakaan sejarah belaka. 

Diakui atau tidak, keduanya melesat lebih karena adanya berkah di balik musibah atau blessing in disguise (yakni pernah ditahan atau dibui oleh rezim Orde Baru) yang kemudian mendorong mereka meraih kesempatan yang lebih baik pada usia yang masih muda. Ini bukan berarti mengabaikan potensi atau kualifikasi personal yang dimiliki keduanya. Yang ingin dikatakan di sini ialah: bahwa sistem yang ada belum menjamin akses yang adil dan egaliter bagi semua kaum muda --betapapun ia berkualitas-- untuk bisa menaiki tangga kesuksesan secara wajar. 



Memang ada pula anak muda, seperti Anis Baswedan yang dalam usianya yang masih belia dapat menduduki posisi rektor universitas swasta yang cukup terpandang. Akan tetapi, ini lebih karena sistem yang dibangun oleh almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur) di Universitas ParamadinaMulya memang sangat mengapresiasi aspek kaderisasi atau membuka peluang seluas-luasnya bagi kaum muda yang berpotensi untuk maju ke depan. 

Atau ada pula para penulis muda seperti Andrea Hirata dengan Laskar Pelangi atau Dee dengan Supernova-nya yang fenomenal. Namun, lagi-lagi, itu tampaknya justru perkecualian belaka. Andrea Hirata melesat ke muka tak lepas dari sikap manajemen grup Mizan di bawah kepemimpinan Haedar Baqir  yang apresiatif kepada kemunculan para penulis muda. Sedangkan Dee lebih karena usahanya sendiri untuk dapat eksis di dunia kepenulisan dengan menjadi penulis sekaligus penerbit independen (indie). 

Di luar itu, hanya anak-anak muda di lembaga-lembaga nonpemerintah, seperti LBH, YLKI, Kontras, ICW, yang terlihat memiliki peluang untuk maju ke depan dan menjadi pemimpin. 

Sementara kondisi secara keseluruhan di tengah masyarakat, terlebih di wilayah birokrasi dan negara, belum membuka peluang yang sama bagi semua anak muda. Untuk menjadi calon pegawai negeri sipil atau polisi dan tentara, misalnya, masih saja lazim dibutuhkan upeti atau uang suap puluhan bahkan ratusan juta rupiah: sebuah fakta yang membuat anak-anak muda berprestasi dari keluarga miskin atau bersahaja kian hari kian frustasi. 

Akhirnya, tak sedikit lulusan perguruan tinggi-perguruan tinggi terbaik, seperti UI, UGM, ITB, IPB, dan seterusnya namun dari keluarga biasa-biasa saja, harus puas terjerembab menjadi pengangguran terdidik dan atau terpaksa bekerja tidak sesuai kualifikasi keilmuan dan keahliannya. Tak sedikit di antara mereka yang bertahan hidup dengan sekadar menjadi penerjemah freelance, pengajar bimbingan tes part time, dan semacamnya --dengan penghasilan di bawah standar upah minimum-- di kota-kota pelajar seperti Yogyakarta, Bandung, atau Bogor. 

Jikapun mereka mau pulang ke daerah asalnya, tak ada jaminan sistem setempat memungkinkan mereka dapat berkompetisi secara fair dan transparan dengan para anak muda lainnya yang berasal dari lapisan sosial yang terpandang tadi. Akibatnya ibarat lingkaran setan: mau pulang ke daerah asal merasa malu dan tak ada jaminan peluang lebih baik, sementara bertahan di daerah lain sebagai pendatang tetap terlunta-lunta hidupnya.  

Solusi 
Lantas, solusi atau jalan keluar seperti apakah yang bisa diupayakan, agar anak-anak muda yang terdidik dengan kualitas terbaik dari perguruan-perguruan tinggi terbaik tersebut dapat diserap oleh kebutuhan masyarakat dan bangsa ini? 

Tak ada cara lain yang bisa ditempuh: harus ada gerakan atau strategi yang sifatnya sistematis dan masif --artinya menyangkut seluruh bidang kehidupan-- sehingga memungkinkan diberlakukannya merit system atau the right man on the right place. Ini artinya, lapangan pekerjaan dalam sektor apa pun atau peluang beraktivitas dalam bidang apa pun, harus didasarkan kepada persaingan atau kompetisi yang sifatnya adu prestasi atau adu kompetensi. 

Untuk itu sebagai konsekuensinya, tak bisa ditawar-tawar lagi, sistem rekruitmen dalam bidang apa pun harus mengenyahkan hubungan yang mendahulukan KKN tadi. Sebab adanya KKN telah memarginalkan anak-anak muda paling kompeten dari aksesnya untuk dapat ikut berkiprah menyumbangkan kemampuan terbaiknya bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Tradisi memberikan suap, upeti, mendahulukan hubungan kekerabatan, kekeluargaan, atau pertemanan, dalam melakukan rekruitmen sumber daya manusia dalam segala bidang, telah menghasilkan konklusi: bukan mereka yang terbaik yang bisa diterima, melainkan mereka yang sanggup membayar atau memiliki hubungan dekat dengan penentu kebijakan. 

Dan ironisnya, kebiasaan KKN tadi belakangan tidak hanya mengotori mesin birokrasi, melainkan telah pula merambah sektor-sektor swasta dalam levelnya yang paling bawah sekalipun. Dalam proses rekuitmen tenaga kerja atau buruh pabrik, misalnya, sudah muncul pula kebiasaan "orang dalam" untuk meminta setoran atau upeti kepada calon buruh yang ingin diterima bekerja. Atau, jika tidak demikian, mereka akan mengutamakan kesempatan kepada sanak saudaranya sendiri, tanpa memperhitungkan lagi aspek kompetensi. 

Demikian pula dalam wilayah politik praktis. Hanya anak-anak muda dari keturunan mereka yang kaya dan berkuasa yang lebih memiliki kesempatan untuk mendapatkan posisi terkemuka, baik dalam jabatan-jabatan partai maupun di dalam pangsa pasar jabatan publik yang diperebutkan melalui pemilihan umum dan kepala daerah. Walhasil, demokrasi yang bermakna kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (artinya meniscayakan prinsip egalitarianisme), akhirnya malah sekadar menjadi sarana tumbuhnya kekuasaan yang bersifat oligarkis bahkan dinasti. Dan parahnya hal ini tidak hanya merebak di tingkat pusat atau provinsi, melainkan juga merambah hingga di tingkat kabupaten dan kota. 

Dengan kata lain, aspek kompetensi akademis, kompetensi ideologis, maupun kompetensi teknis yang mestinya menjadi pertimbangan utama dalam proses promosi anak-anak muda ke dalam jabatan politik pun menjadi terabaikan. Semuanya kembali kepada dua ukuran: uang dan kedekatan (hubungan darah). 

Ini bukan berarti kita menolak mereka yang berlatar belakang keluarga kaya atau terpandang masuk ke dalam bursa persaingan politik. Melainkan, siapapun orangnya, termasuk mereka yang the have atau keturunan pejabat, hendaknya berkompetisi dengan lebih mengedepankan adu  kompetensi akademis, ideologis, maupun teknis. Bukan dengan mengutamakan kekuatan, baik uang maupun faktor kedekatan hubungan keluarga dengan pejabat atau mereka yang terpandang. Jadi lebih adu otak daripada adu otot. 

Tidak masalah mereka yang berasal dari keluarga kaya dan terpandang ikut terjun dalam bursa pencalonan kepala daerah, misalnya, namun hendaknya yang dijadikan kriteria utama pencalonan ialah kompetensi personalnya. Dengan demikian, siapa pun anak muda yang terpilih menjadi pemimpin politik atau kepala daerah nantinya, baik dari kalangan kaya dan terpandang maupun dari jajaran warga biasa, akan tetap dapat mendedikasikan kemampuan terbaiknya bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Bukan mereka yang sejatinya tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas memadai namun dipaksa diorbitkan, sehingga menjadi pemimpin yang setengah matang atau pemimpin karbitan belaka. 

Menonjol atau menjadi pemimpin lantaran kompetensi pribadi, itulah kiranya teladan terpuji yang telah diberikan oleh para bapak bangsa atau generasi angkatan 1945 dulu. Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, atau Muhammad Natsir menjadi pemimpin nasional pada masanya karena sukses melewati berbagai ujian sejarah sebelumnya. Mereka dengan keras menempa diri dan kemudian ditempa oleh keadaan pula. Mereka maju ke depan bukan lantaran banyaknya uang yang bisa digunakan sebagai sogokan atau menonjol-nonjolkan hubungan kekeluargaan, melainkan karena kualifikasi pribadinya memang jempolan dan sangat dapat diandalkan. 

Siapkah kita menyongsong era seperti itu lagi? []

Tidak ada komentar: