Tampilkan postingan dengan label novel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label novel. Tampilkan semua postingan

27 Desember 2009

Noda di Balik Cinta yang Bertasbih (Resensi)

DARI segi penggarapan materi, novel Ketika Cinta Bertasbih (2) setebal kamus Inggris-Indonesia John M. Echols ini menarik, meski sebatas lanjutan seri novel berjudul sama. 

Menariknya, sebagai karya yang dikategorikan novel Islami, ia berani menyikapi perasaan cinta pranikah sebagai sunnatullah (natural law) alias sesuatu yang wajar dan manusiawi. Ini melawan tren umum sastra Islami versi para pegiat Forum Lingkar Pena (FLP) yang kadang mudah menghakimi rasa cinta pranikah antarsesama aktivis dakwah sebagai “virus merah jambu”.

Saya sangat setuju pesan moral novel ini: bahwa benih rasa cinta sah-sah saja muncul pada fase pranikah asal masih sebatas wajar (secara syar’i atau menurut syariat agama) dan kemudian diwadahi secara halal melalui lembaga pernikahan.

Novel ini mengingatkan pula: untuk menuju keluarga “samara” (sakinah, mawaddah, wa rahmah) itu tidak cukup bermodalkan kesalehan atau kesalehahan pasangan saja. Di luar itu, secara manusiawi ada hal-hal lain seperti perasaan cinta, karakter pasangan, kesiapan ekonomi, dan selera pribadi masing-masing orang terhadap penampilan fisik calon yang juga perlu diperhatikan.

Novel ini juga menggambarkan secara menarik bahwa romantisme antarsesama aktivis dakwah pun bisa rumit bahkan tragis, tidak sesederhana yang lazim digambarkan para murabbi atau murabbiyah (ustad/ustadzah) melalui forum BKKBS atau perjodohan via jalur dakwah.

Bahkan, lebih dari itu, novel ini juga berani menggambarkan secara verbal kelebihan fisik tokoh-tokohnya, misalnya: “Bibirnya yang indah itu bergetar lirih” (Hal. 25). Padahal ini bibir seorang akhwat (aktivis dakwah perempuan) sekaligus putri kyai berpengaruh. Suatu penggambaran yang acap diharamkan para pegiat sastra Islami belakangan ini. Luar biasanya, penulis juga dapat memvisualkan hubungan suami-istri secara santun dan indah sebagai suatu bentuk zikir kepada Allah.

Saya kira, dari sisi ini, penulisnya, Habiburrahman El Shirazy, sangat berhasil menjadikan karya sastranya sebagai sarana da’wah bil qalam (dakwah melalui tulisan) secara humanis, menarik, dan penuh hikmah. Maka tak heran jika buku kedua dwiloginya ini mendapat sambutan luas: hanya dalam sebulan cetak ulang. Ini mengingatkan saya pada keberhasilan metode dakwah kultural, misal melalui wayang dan karawitan, yang pernah dilakukan generasi Walisongo –yang terbukti sukses mengislamkan tanah Jawa khususnya dan Nusantara umumnya.