20 Desember 2009

Lupa Blog Gara-gara Facebook....

TIAP KALI muncul fenomena baru selalu ada plus minusnya. Itu sudah pasti. Demikian pula dengan kemunculan Facebook (FB).

Sebagai penikmat layanan jejaring sosial ini sejak cukup awal, semula aku agak sulit mengajak teman-teman migrasi dari situs Friendster yang kurang user friendly ke FB. Namun belakangan ini, tatkala popularitas Facebook makin menggila, seiring promosi gencar dari para operator telepon seluler, aku malah kewalahan meladeni orang-orang baru yang minta ditambahkan sebagai teman.


Aktivitas di jejaring Facebook-ku pun semakin hari kian ramai, dan sudah bisa diduga: akhirnya cukup menyita alokasi waktu dan perhatianku. Dampak positifnya, memang aku bisa terhubung lagi dengan teman-teman lama, bisa lebih banyak pula teman-teman baru. Akan tetapi, lantaran keasyikan mengurusi Facebook, akibat negatifnya alokasi waktu dan perhatian untuk menulis di blog pun menjadi terkurangi. Walhasil, blog pun menjadi terbengkalai.


Rutinitas memang membunuh kreativitas. Itu dalil lama yang kuyakini, dan kini rasanya menghajarku dengan serius. Rutinitas mengelola Facebook, yang seperti pekerjaan iseng dan sepele itu, tak terasa semakin menjauhkan diriku dari ide-ide kreatif untuk menulis di blog. Apalagi menulis artikel di media massa,  yang butuh keseriusan dan seni tersendiri, hmmm...semakin tidak sempat saja ^_^.

Kasihan dan malu juga kepada teman-teman yang masih suka sesekali menengok halaman-halaman blogku. Terlebih para yunior yang dulu sering kuprovokasi untuk menulis dan menulis. Sebab, isi blogku, sejak berbulan-bulan lalu, ya itu-itu melulu. Tak ada tulisan baru yang segar, apalagi bermutu. Kalaupun ada yang berbeda dari blogku, paling-paling hanyalah sedikit perubahan setting-annya, yang kadang masih sempat kulakukan agar aku sendiri tidak jenuh melihat penampilan blogku yang begitu-begitu saja :-).



Maka kinilah saatnya aku harus bisa mengendalikan diri, me-manage diri sendiri, agar tidak dijajah oleh teknologi. Sebagai jejaring sosial (social networking) Facebook memang bagus dan menawarkan banyak kemungkinan. Namun jika kita tak bisa mengendalikan diri, banyak peluang positif lainnya yang jadi terberangus. Kita menjadi asyik sendiri dengan permainan jejaring pertemanan itu, dan menjelma menjadi makhluk autis sosial:  idak banyak berinteraksi secara langsung dengan lingkungan, tidak sempat menorehkan gagasan-gagasan brilian, tidak pula sempat men-charge potensi diri dengan buku-buku lagi.

Boleh jadi, situs besutan Mark Zuckerberg itu telah secara tepat memindahkan tradisi ngobrol atau ngerumpi orang-orang Indonesia sepertiku secara virtual atau online. Akibatnya jarang di antara kita yang merasa telah dijajah oleh teknologi peranti lunak itu, dan  sebaliknya malah bersyukur karena kebutuhan kita seperti difasilitasi secara mumpuni.

Biasanya jika kita login ke akun Facebook, niat awalnya hanya sekadar menengok sebentar. Siapa tahu ada kabar penting atau informasi baru dari kawan kita. Tetapi begitu kita "login", situs satu ini memang memberi semacam rasa betah tersendiri untuk terus larut di dalamnya.

Walhasil, sepertinya kegiatan kita di Facebook biasa-biasa saja, seperti menambahkan teman, mengkonfirmasi permintaan sebagai teman, mengomentari status teman, menuliskan status kita sendiri, atau mengirim dan menjawab pesan kepada orang lain. Namun tak terasa waktu terus saja berlalu. Ibaratnya, Facebook-an sebentar saja, tahu-tahu hari sudah pagi. Atau, tahu-tahu hari sudah senja jika kita Facebook-an di pagi dan siang hari.

Salah satu teman dekatku sampai merasa tidak nyaman berdekatan dengan diriku, lantaran tiap kali bersilaturahmi ia nyaris selalu kuabaikan hanya karena aku harus Facebook-an dulu. Sebaliknya, aku pun merasa sebal dengan ulah temanku tadi, sebab setelah kuperkenalkan dengan Facebook, dia mendapatkan akses teman-teman baru yang bisa menjadi mitra-nya bertelepon-teleponan atau sekadar sms-an sepanjang hari.

Mungkin tidak sedikit orang lain yang merasakan keadaan seperti kurasakan dan dirasakan temanku tadi. Di satu sisi, Facebook membuka jejaring pertemanan baru di dunia maya, tetapi di sisi lain Facebook menelantarkan pola silaturahmi kita dengan orang-orang terdekat, keluarga, sahabat, atau tetangga.

Itulah barangkali paradoksnya teknologi. Di satu pihak ia memperluas pengembaraan kemanusiaan kita, melewati batas-batas geografis yang hampir tak bertepi. Namun di pihak lain, ia justru seperti mengasingkan diri kita dari lingkungan pergaulan sehari-hari di dunia nyata.

Maka, setelah merenungkannya hari demi hari, aku sampai pada satu kesimpulan: kunci agar kita tidak mudah terjajah oleh teknologi adalah pengendalian diri, self-control. Teknologi hanyalah alat bantu, agar kehidupan kita lebih mudah dan berkualitas. Tatkala teknologi justru memasung kita menjadi makhluk autis dan dungu, serta egois, saat itulah kita perlu mengaca diri kembali, instrospeksi: apa sejatinya yang ingin kita raih dengan teknologi itu?

Kita memang tidak bisa menyalahkan teknologi, kendati mengkambinghitamkan teknologi merupakan cara termudah untuk membela diri atau berapologi atas segala kegagalan menata diri. Sebab teknologi sejatinya bersifat netral.


Seperti internet yang dapat digunakan untuk menyebarluaskan pornografi atau berdakwah bil qalam (dakwah melalui tulisan), semuanya kembali kepada manusia yang memanfaatkan atau mengelolanya. Tergantung "the man behind the gun"-nya, tergantung niat, itikad, atau motivasi kita.

Apakah Facebook akan kita manfaatkan untuk sesuatu yang berguna, berbagi ilmu, menggalang solidaritas sosial, menjalin lagi tali silaturahmi dengan teman-teman lama, ataukah malah untuk sekadar ngerumpi virtual atau bahkan menjajakan diri sendiri dalam format prostitusi online terselubung, semuanya kembali kepada diri kita sendiri. Akal sehat, integritas, hati nurani, kita yang pada akhirnya harus berbicara: mau baik atau buruk, semuanya tergantung kepada kita sendiri.

Dan kita pula yang harus mempertanggungjawabkan pilihan kita di hadapan Tuhan nanti, suka atau tidak suka. Sebab pada saat itulah kita tidak bisa lari dari tanggung jawab pribadi. Tangan, kaki, mata, hati, semuanya akan menjadi saksi, apa yang telah kita perbuat dengan teknologi selama hidup di dunia nan fana ini.

Tak ada lagi peluang untuk berapologi, tak ada lagi kesempatan untuk menyusun alibi. Sebab Tuhan Mahatahu apa yang sebelum dan sesudah terjadi. []   



Tidak ada komentar: