Tampilkan postingan dengan label demokrasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label demokrasi. Tampilkan semua postingan

25 Mei 2010

Mas Mario, Ketulusan Wong Cilik

SOSOKNYA kurus tinggi, berkulit gelap. Rambutnya yang berombak dibiarkannya agak panjang dan acak-acakan. Usianya 40-an tahun. Namun tempaan hidup yang keras membuat wajahnya tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Apalagi beberapa gigi depannya ompong, entah karena apa.

Begitulah gambaran tentang Mas Mario, lelaki biasa namun bernilai luar biasa di mata saya. Dialah sosok wong cilik sejati, yang telah bekerja keras menjadi tim sukses saya selama kampanye pemilu legislatif tahun lalu.

Empat anggota tim sukses saya yang lain juga wong cilik seperti Mas Mario. Lik Saiman, usia 60-an tahun, tetangga saya, sehari-hari bekerja mengayuh becak. Nardi, 45 tahun, mantan pembantu ibu saya, penjual bakso. Bagong, 26 tahun, tetangga saya yang lain, berprofesi pemburu tokek di malam hari.

Kemudian Kemin, 30-an tahun, pembantu keluarga kami sejak muda hingga kini. Dan, satu lagi, Budi (25 tahun), anak mantan sopir pribadi kakak saya. Budi bertugas menyetir mobil pinjaman dari mbak saya untuk keperluan mengantar tim kampanye ke sana kemari.

Di luar mereka sebenarnya masih ada beberapa tukang bakso, pemulung, buruh pabrik, buruh tani, tukang ojek, sopir angkot, dan sejenisnya, yang sesekali juga ikut membantu.

Ideologi dan Pragmatisme Politik

KEHIDUPAN politik modern mensyaratkan eksisnya partai-partai berideologi khas untuk mendukung proses demokrasi yang akan dibangun. Ideologi, idealnya, menjadi acuan bagi internal partai untuk menyikapi beragam fenomena politik. Bagi publik, ideologi menjadi kriteria untuk menjadi anggota, simpatisan, atau minimal menentukan pilihan dalam pemilu.

Ideologi menjadi pembeda bagi partai maupun konstituen terhadap partai-partai lainnya. Karena itu ideologi juga menjadi sarana identifikasi bagi aktivis maupun konstituen partai. Ideologi menjadi karakter partai dalam menjalankan perannya dalam ranah politik internal maupun publik.

Dengan melihat ideologinya, kita bisa memilah partai berwatak kapitalistik, sosialistik, sekuler, agamis, progresif, konservatif, dan seterusnya. Selanjutnya, ibarat manusia, partai-partai yang berkarakter mirip akan lebih nyaman berkumpul dan bekerja sama ketimbang dengan sosok yang punya banyak perbedaan.

Walhasil, partai-partai yang memiliki titik temu atau kedekatan ideologis wajar jika bergabung membentuk aliansi atau koalisi, sementara partai-partai yang berbeda bisa memerankan diri sebagai alternatif atau oposisi jika tengah tidak memerintah. Di sini, ideologi atau komitmen politik menjadi kriteria utama apakah suatu partai bakal bekerja sama atau tidak.

Namun, agar tak cuma menjadi lips service atau jualan politik saja, ideologi perlu direalisasikan menjadi sikap maupun tindakan partai dalam segala bidang kehidupan. Dengan kata lain, ideologi harus menjadi praksis, teori menjadi implementasi, dan wacana atau platform menjadi kerja nyata.

Tanpa realisasi, ideologi hanya menjadi sarana “jaim” (jaga image), demi politik pencitraan belaka. Akibatnya banyak pemilih merasa tertipu seusai pemilu karena kebijakan partai pilihannya tak sejalan dengan klaim ideologisnya.

Demokrasi dan Kuasa Uang

APAKAH praktik demokrasi yang didominasi kuasa uang kita biarkan begini terus? “Tidak”, jawab teman saya, “cepat atau lambat harus diubah.” Tapi, mungkinkah praktik seperti ini dibenahi? “Masih mungkin, tapi tidak sekarang. Butuh minimal segenerasi setelah kita,” jawab kawan lainnya. Inilah sepenggal obrolan beberapa rekan mantan aktivis mahasiswa yang kini bekerja sebagai staf ahli di DPR.

Obrolan itu menggambarkan, betapa risaunya kami melihat praktik berdemokrasi di negeri ini yang sangat ditentukan arahnya oleh kuasa uang. Tampaknya jika zaman Orde Lama berlaku slogan politik adalah panglima, dan era Orde Baru ekonomi sebagai panglima, maka sejak reformasi slogannya: uang sebagai panglima.


Dan sedihnya, fenomena itu berlaku sejak tingkat kampung hingga pusat. Di daerah saya di Jawa Tengah, untuk menjadi modin (semacam penghulu) yang dipilih Badan Perwakilan Desa (BPD) saja butuh sekitar Rp 100 juta. Dana ini untuk menyogok para anggota BPD dan menyumbang kas RT (Rukun Tetangga) di seantero desa itu. Jika ingin maju sebagai kepala desa perlu setidaknya setengah milyar rupiah, antara lain guna memuluskan proses administrasi, membayar tim sukses, dan dibagikan kepada calon pemilih.

Ini berlanjut terus, sampai ke kabupaten dan provinsi. Walhasil bisa dibuat hipotesis: kian tinggi jabatan publik diperebutkan, makin tinggi pula uang yang dibutuhkan buat meraihnya. Untuk membiayai kampanye caleg hingga terpilih sebagai anggota DPR saja minimal butuh Rp 2 milyar. Ongkos ini semakin tinggi untuk jabatan eksekutif, seperti walikota atau bupati. Untuk memenangkan pemilihan kepala daerah di salah satu kabupaten di Jawa Tengah, misalnya, perlu Rp 100 milyar. Belum lagi untuk menjadi gubernur atau presiden. Proses bargaining politik di DPR atau DPRD juga tak lepas dari belitan kuasa uang.

Mungkinkah proses yang sangat “beruang” tadi menjamin munculnya pemimpin atau pejabat publik yang konsisten berkhidmat pada kepentingan rakyat? Saya sendiri, jujur saja, ragu. Apalagi fakta menjawabnya: Siapa pun yang berkuasa, rakyat cenderung menuai kecewa. Janji-janji tak pernah ditepati, dan politik sekadar arena politicking demi meraih konsesi sesaat semata.

Apa yang salah, sehingga demokratisasi justru berimplikasi pada begitu hegemoniknya kuasa uang? Apa pula yang bisa dilakukan untuk membenahinya?

31 Desember 2009

Tiga Warisan Gus Dur

TATKALA saya masih bekerja sebagai wartawan Harian Umum Republika, pernah sekali saya berkesempatan mengadakan wawancara khusus dengan Gus Dur. Temanya ihwal kaitan Islam dan demokrasi, tema yang tengah hangat saat itu, sekaligus sangat menarik buat saya sendiri.

Kebetulan waktu itu saya membawahi desk politik dan agama, dan jika tak salah ingat, saya tengah meliput acara dialog lintas agama mengenai sumbangan agama bagi proses demokratisasi di Indonesia. Di sela acara inilah saya berhasil mencuri kesempatan mewawancarai Gus Dur.

Dalam wawancara itu, Gus Dur alias KH Abdurrahman Wahid antara lain mengatakan bahwa Islam sangat erat kaitannya dengan demokrasi, sebab impuls atau getaran hati (ajaran) Islam sejatinya adalah impuls demokrasi. Walaupun tidak saya tulis dalam format tanya jawab, namun hasil wawancara ini kemudian dimuat Republika dalam sebuah artikel tunggal yang berisi rangkuman hasil wawancara saya dengan Gus Dur.

Sebagai seorang reporter baru harian yang memposisikan diri sebagai koran Islam ini, sikap saya biasa-biasa saja ketika berhasil mewawancarai dan menuliskan pemikiran Gus Dur itu. Akan tetapi, ternyata, sebagian senior-senior saya menyatakan keheranannya, bagaimana saya yang dari Republika bisa meminta waktu khusus kepada Gus Dur untuk sebuah wawancara.

Walhasil, dari kasus ini saya malah menjadi tahu bahwa hubungan Gus Dur dengan Republika (dalam posisinya sebagai koran milik ICMI kala itu tentunya) tidak begitu sreg (bagus). Ini tentu sebagai dampak sampingan dari sikap Gus Dur yang menolak bergabung dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang dianggapnya bersifat sektarian dan menjadi sarana rezim Orde Baru untuk mengkooptasi para cendekiawan Muslim.

Untunglah, meski saya dibesarkan di sekolah menengah Muhammadiyah, namun sejak kuliah saya sudah akrab dengan gagasan-gagasan Gus Dur yang ketika itu acap dimuat jurnal ilmu-ilmu sosial Prisma dan Ulumul Qur'an. Malah sewaktu mahasiswa ini saya terhitung rajin ke sana kemari memakai kaos oblong bergambar wajah Gus Dur bertulisan "Gus Dur the Next Leader" di bawahnya.

14 September 2008

Benci dan Kagum pada Amerika



SUATU hari keponakanku, Nungki, terheran-heran saat melihatku terpaku di depan televisi yang menyiarkan acara film Spiderman.        
Ponakanku itu rupanya tak menyangka bahwa aku, omnya, yang mantan aktivis mahasiswa dan kini staf ahli anggota DPR RI, adalah penggemar film-film yang lazimnya digandrungi anak-anak atau remaja itu.  Maka, aku terpaksa memberi penjelasan padanya, "Yang paling kukagumi pada film ini bukan film ini sendiri atau ceritanya, tetapi teknik pembuatannya yang nyaris sempurna. Bayangkan, bagaimana Spiderman bergelantungan dari satu gedung ke gedung pencakar langit lainnya dengan kecepatan tinggi hanya dengan seutas jaring laba-laba. Sesuatu yang tak masuk akal, tapi dalam film tersebut dapat ditampilkan sangat realistis. Bandingkan dengan film-film atau sinetron Indonesia yang menampilkan adegan manusia (Gatotkaca) atau burung garuda raksasa terbang, maka teknik pembuatan film kita tampak sekali asal-asalannya..."