Tampilkan postingan dengan label muhammadiyah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label muhammadiyah. Tampilkan semua postingan

31 Desember 2009

Tiga Warisan Gus Dur

TATKALA saya masih bekerja sebagai wartawan Harian Umum Republika, pernah sekali saya berkesempatan mengadakan wawancara khusus dengan Gus Dur. Temanya ihwal kaitan Islam dan demokrasi, tema yang tengah hangat saat itu, sekaligus sangat menarik buat saya sendiri.

Kebetulan waktu itu saya membawahi desk politik dan agama, dan jika tak salah ingat, saya tengah meliput acara dialog lintas agama mengenai sumbangan agama bagi proses demokratisasi di Indonesia. Di sela acara inilah saya berhasil mencuri kesempatan mewawancarai Gus Dur.

Dalam wawancara itu, Gus Dur alias KH Abdurrahman Wahid antara lain mengatakan bahwa Islam sangat erat kaitannya dengan demokrasi, sebab impuls atau getaran hati (ajaran) Islam sejatinya adalah impuls demokrasi. Walaupun tidak saya tulis dalam format tanya jawab, namun hasil wawancara ini kemudian dimuat Republika dalam sebuah artikel tunggal yang berisi rangkuman hasil wawancara saya dengan Gus Dur.

Sebagai seorang reporter baru harian yang memposisikan diri sebagai koran Islam ini, sikap saya biasa-biasa saja ketika berhasil mewawancarai dan menuliskan pemikiran Gus Dur itu. Akan tetapi, ternyata, sebagian senior-senior saya menyatakan keheranannya, bagaimana saya yang dari Republika bisa meminta waktu khusus kepada Gus Dur untuk sebuah wawancara.

Walhasil, dari kasus ini saya malah menjadi tahu bahwa hubungan Gus Dur dengan Republika (dalam posisinya sebagai koran milik ICMI kala itu tentunya) tidak begitu sreg (bagus). Ini tentu sebagai dampak sampingan dari sikap Gus Dur yang menolak bergabung dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang dianggapnya bersifat sektarian dan menjadi sarana rezim Orde Baru untuk mengkooptasi para cendekiawan Muslim.

Untunglah, meski saya dibesarkan di sekolah menengah Muhammadiyah, namun sejak kuliah saya sudah akrab dengan gagasan-gagasan Gus Dur yang ketika itu acap dimuat jurnal ilmu-ilmu sosial Prisma dan Ulumul Qur'an. Malah sewaktu mahasiswa ini saya terhitung rajin ke sana kemari memakai kaos oblong bergambar wajah Gus Dur bertulisan "Gus Dur the Next Leader" di bawahnya.

27 Desember 2009

Persahabatan Unik Blasius, Tia, dan Saya

BLASIUS nama baptisnya. Tapi siapa nama lengkapnya, sampai sekarang saya belum tahu persis. Padahal kami sudah bersahabat sejak bertahun-tahun lalu. Saya terbiasa memanggilnya Bles atau Si Bles saja. Jarang memanggilnya Blasius, apalagi nama lengkapnya yang tentu lebih panjang lagi.

Saya mengenal Bles pertama kali tatkala ia masih mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Yogya. Saat itu, ia masih pula menyandang gelar calon pastur. Saya mengenal Bles karena ia berteman akrab dengan Tia atau Yuning, aktivis Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO), yang adik kandung sahabat saya, Wahyudi Marhaen.

Awal mengetahui pertemanan Bles dan Tia, saya sempat heran. Karena dua anak muda ini berasal dari latar belakang yang berbeda tadi. Yang satu calon pastur, satu lagi muslimah berjilbab, aktivis organisasi mahasiswa Islam yang dikenal militan pada masanya. Sementara saya sendiri, selain pernah aktif di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), kala itu adalah mantan aktivis HMI Dipo yang secara organisatoris menjadi rival HMI MPO.

Kedua anak muda itu acap bertandang ke kos saya di Yogya. Sering pula kami menyusun acara jalan-jalan bersama, berburu durian sembari menunggu waktu buka bersama pada bulan Ramadhan, misalnya. Bles dan Tia berboncengan, sementara saya naik motor berdua dengan teman satu kos, Arief Sudrajat. Arief ini cenderung seorang humanis, yang baik kepada semua orang, tanpa mempersoalkan perbedaan latar belakang mereka.

Walhasil, dengan segala perbedaan yang ada, kami berempat bisa menjadi sahabat dekat, untuk masa yang lama. Saking akrabnya, jika Tia memasak sesuatu yang enak, ia seringkali mengundang Bles, saya, dan Arief untuk bertandang ke kosnya dan bersama-sama menikmati masakannya. Maklum jika Tia pintar memasak, sebab ia kuliah di Jurusan Tata Boga IKIP Yogyakarta (kini Universitas Negeri Yogyakarta atau UNY).

Bahkan dalam wilayah agama pun, karena akrab dan saling menghormati, kami dan Bles biasa saling bertukar kisah ihwal tradisi atau keyakinan agama masing-masing, tanpa tendensi untuk mengintervensi. Malah kami bisa menikmati "jokes" atau guyonan yang melibatkan interaksi antaragama, kisah saling olok antara kyai dan pastur misalnya, tanpa salah satu pihak harus merasa tersinggung. Biasanya kami malah tertawa bersama dibuatnya. Boleh jadi seperti Gus Dur yang acap menikmati banyolan di tengah pendeta dan pastur itu.