Tampilkan postingan dengan label pragmatisme. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pragmatisme. Tampilkan semua postingan

25 Mei 2010

Ideologi dan Pragmatisme Politik

KEHIDUPAN politik modern mensyaratkan eksisnya partai-partai berideologi khas untuk mendukung proses demokrasi yang akan dibangun. Ideologi, idealnya, menjadi acuan bagi internal partai untuk menyikapi beragam fenomena politik. Bagi publik, ideologi menjadi kriteria untuk menjadi anggota, simpatisan, atau minimal menentukan pilihan dalam pemilu.

Ideologi menjadi pembeda bagi partai maupun konstituen terhadap partai-partai lainnya. Karena itu ideologi juga menjadi sarana identifikasi bagi aktivis maupun konstituen partai. Ideologi menjadi karakter partai dalam menjalankan perannya dalam ranah politik internal maupun publik.

Dengan melihat ideologinya, kita bisa memilah partai berwatak kapitalistik, sosialistik, sekuler, agamis, progresif, konservatif, dan seterusnya. Selanjutnya, ibarat manusia, partai-partai yang berkarakter mirip akan lebih nyaman berkumpul dan bekerja sama ketimbang dengan sosok yang punya banyak perbedaan.

Walhasil, partai-partai yang memiliki titik temu atau kedekatan ideologis wajar jika bergabung membentuk aliansi atau koalisi, sementara partai-partai yang berbeda bisa memerankan diri sebagai alternatif atau oposisi jika tengah tidak memerintah. Di sini, ideologi atau komitmen politik menjadi kriteria utama apakah suatu partai bakal bekerja sama atau tidak.

Namun, agar tak cuma menjadi lips service atau jualan politik saja, ideologi perlu direalisasikan menjadi sikap maupun tindakan partai dalam segala bidang kehidupan. Dengan kata lain, ideologi harus menjadi praksis, teori menjadi implementasi, dan wacana atau platform menjadi kerja nyata.

Tanpa realisasi, ideologi hanya menjadi sarana “jaim” (jaga image), demi politik pencitraan belaka. Akibatnya banyak pemilih merasa tertipu seusai pemilu karena kebijakan partai pilihannya tak sejalan dengan klaim ideologisnya.