25 Mei 2010

Demokrasi dan Kuasa Uang

APAKAH praktik demokrasi yang didominasi kuasa uang kita biarkan begini terus? “Tidak”, jawab teman saya, “cepat atau lambat harus diubah.” Tapi, mungkinkah praktik seperti ini dibenahi? “Masih mungkin, tapi tidak sekarang. Butuh minimal segenerasi setelah kita,” jawab kawan lainnya. Inilah sepenggal obrolan beberapa rekan mantan aktivis mahasiswa yang kini bekerja sebagai staf ahli di DPR.

Obrolan itu menggambarkan, betapa risaunya kami melihat praktik berdemokrasi di negeri ini yang sangat ditentukan arahnya oleh kuasa uang. Tampaknya jika zaman Orde Lama berlaku slogan politik adalah panglima, dan era Orde Baru ekonomi sebagai panglima, maka sejak reformasi slogannya: uang sebagai panglima.


Dan sedihnya, fenomena itu berlaku sejak tingkat kampung hingga pusat. Di daerah saya di Jawa Tengah, untuk menjadi modin (semacam penghulu) yang dipilih Badan Perwakilan Desa (BPD) saja butuh sekitar Rp 100 juta. Dana ini untuk menyogok para anggota BPD dan menyumbang kas RT (Rukun Tetangga) di seantero desa itu. Jika ingin maju sebagai kepala desa perlu setidaknya setengah milyar rupiah, antara lain guna memuluskan proses administrasi, membayar tim sukses, dan dibagikan kepada calon pemilih.

Ini berlanjut terus, sampai ke kabupaten dan provinsi. Walhasil bisa dibuat hipotesis: kian tinggi jabatan publik diperebutkan, makin tinggi pula uang yang dibutuhkan buat meraihnya. Untuk membiayai kampanye caleg hingga terpilih sebagai anggota DPR saja minimal butuh Rp 2 milyar. Ongkos ini semakin tinggi untuk jabatan eksekutif, seperti walikota atau bupati. Untuk memenangkan pemilihan kepala daerah di salah satu kabupaten di Jawa Tengah, misalnya, perlu Rp 100 milyar. Belum lagi untuk menjadi gubernur atau presiden. Proses bargaining politik di DPR atau DPRD juga tak lepas dari belitan kuasa uang.

Mungkinkah proses yang sangat “beruang” tadi menjamin munculnya pemimpin atau pejabat publik yang konsisten berkhidmat pada kepentingan rakyat? Saya sendiri, jujur saja, ragu. Apalagi fakta menjawabnya: Siapa pun yang berkuasa, rakyat cenderung menuai kecewa. Janji-janji tak pernah ditepati, dan politik sekadar arena politicking demi meraih konsesi sesaat semata.

Apa yang salah, sehingga demokratisasi justru berimplikasi pada begitu hegemoniknya kuasa uang? Apa pula yang bisa dilakukan untuk membenahinya?


Deideologisasi Orde Baru
Terlepas apa pun ideologinya, ada yang patut dikagumi pada tokoh politik tempo doeloe atau era Orde Lama. Mereka rata-rata sederhana kehidupannya, tapi amat heroik memperjuangkan kepentingan rakyat, sesuai frame ideologinya masing-masing. Meski komitmen ideologis ini kadang terasa berlebihan, karena menyentuh pula upaya mengajukan dasar negara alternatif, sehingga berakibat proses politik buntu dan mengancam integrasi bangsa.

Fenomena over-ideologi itu mendorong adanya upaya deparpolisasi pada masa akhir Soekarno dan berlanjut deideologisasi pada era Soeharto. Deideologisasi menjadikan aspek ideologi seakan tidak penting lagi bagi suatu kekuatan politik atau parpol. Apalagi fungsi partai juga dibonsai sedemikian rupa, sehingga tidak berdaya. Tak mengherankan jika partai atau organisasi politik pada era Orde Baru hanya menarik bagi kaum oportunis yang bersedia didikte oleh penguasa.

Ironisnya, setelah reformasi dan kita masuk era demokratis, ternyata tidak ada proses reideologisasi yang serius dilakukan oleh jajaran partai-partai politik. Hanya satu dua partai kecil yang justru terlihat bersungguh-sungguh menggarap aspek pendidikan ideologi ini. Karena itu, tak mengherankan pula, jika dalam situasi vakum ideologi ini, yang muncul akhirnya ialah gejala pragmatisme yang bermuara pada dominannya kuasa uang tadi.

Hasilnya, orang-orang pun seolah tak peduli lagi memilih atau masuk partai apa, yang penting dengan uangnya ia bisa menjadi anggota legislatif, kepala daerah, atau presiden. Dalam kondisi ini, partai hanya menjadi kendaraan politik bagi para kandidat dan sekadar menjalankan fungsi sebagai broker politik atau makelar jabatan.

Implikasinya, setelah meraih posisi yang diinginkan, seorang pejabat publik kerap tidak lagi peduli kepada ideologi atau platform partai pendukungnya. Bahkan mereka tidak segan-segan menyeberang ke partai berbeda. Toh sebagai pejabat yang tengah berkuasa atau incumbent, jika ia ingin maju lagi dalam kompetisi politik berikutnya, bisa saja mendompleng partai lainnya. Syarat merangkul partai lain ini pun relatif mudah: cukup menyediakan “mahar” sekian miliar.

Maka, yang memenuhi benak pejabat tadi ialah: bagaimana memaksimalkan potensi kedudukannya demi mengembalikan modal, seraya menyiapkan dana “mahar” untuk maju pada periode mendatang. Bahkan, seperti saudagar, ia bukan saja mengupayakan kembali modal dan bisa menabung “mahar”, melainkan bisa pula meraih laba dari modal yang ditanamnya. Janji-janji kepada konstituen, atau komitmen ideologis, pada akhirnya hanya menjadi instrumen untuk berkuasa belaka.

Kiranya inilah yang menjelaskan, mengapa muncul fenomena korupsi berjamaah para politisi di daerah. Juga maraknya korupsi para kepala daerah dan begitu dominannya kuasa uang dalam proses politik di lembaga legislatif di tingkat pusat. Sebab, ketika ideologi tidak ada lagi atau tak dijadikan acuan, yang mengedepan ialah urusan perut belaka: pragmatisme dan egoisme pribadi. Sikap politisi atau pejabat politik pun tergantung kepentingan pribadinya, atau siapa yang bisa membayarnya, bukan apa ideologinya atau siapa pemilihnya.

Dalam konteks ini, sejatinya masih lebih terhormat sikap politisi tempo doeloe –yang secara naif sering ngotot memperjuangkan ideologinya— daripada para politisi yang acuannya hanya uang atau vested interest (kepentingan pribadi) sesaat. Sebab, yang pertama lebih tegas posisioningnya dan tak bisa dibeli, sedangkan yang kedua bisa disebut melacurkan diri, dan karena itu, bisa dibeli oleh siapapun asal berkantong tebal.

Back to Ideology
Guna mengatasi persoalan di atas, salah satu solusi yang bisa ditawarkan ialah: partai-partai memiliki urgensi untuk melakukan reideologisasi ke dalam internal kader atau organnya masing-masing. Namun, agar tak mengulang kesalahan era Orde Lama, hendaknya reideologisasi tidak lagi menyoal posisi Pancasila.

Pancasila sebagai ideologi negara sudah final, seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Sedangkan Pembukaan UUD 1945 adalah prinsip dasar bernegara yang tak bisa kita ubah. Mengubah Pembukaan UUD 1945, yang memuat suasana batin proklamasi 17 Agustus 1945, sama saja hendak merobohkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sebagai implikasinya, mestinya juga tidak ada lagi partai yang mempolitisasi Pancasila, misalnya dengan mengklaim seolah-olah hanya kelompoknya sendiri yang akan mempertahankan Pancasila, namun dengan maksud tersembunyi hendak menyerang partai lain sebagai kurang atau tidak Pancasilais. Klaim-klaim demikian tidak relevan lagi jika diletakkan dalam konteks bahwa Pancasila sebagai ideologi bersama sudah bersifat final dan diterima oleh semua kelompok.

Karena itu, reideologisasi idealnya hanya bermain pada tataran sejauhmana partai-partai akan mengimplementasikan tujuan negara sesuai visi dan misi masing-masing. Dalam posisi ini, ideologi partai hanyalah aksentuasi salah satu atau semua aspek tujuan bernegara dilihat dari sudut visi dan misi partai. Dengan kata lain, kompetisi antarpartai adalah dalam level implementasi Pancasila.

Pancasila sendiri harus didudukkan sebagai ideologi negara yang berfungsi sebagai pemersatu atau –meminjam istilah Cak Nur (Nurcholish Madjid) – common denominator (titik temu) di antara ideologi partai yang beragam. Mengklaim Pancasila sebagai hanya milik partai tertentu justru mereduksi posisi Pancasila sebagai ideologi pemersatu ini.

Selayaknya hanya TNI, Polri, aparat birokrasi, dan lembaga-lembaga negara yang tidak partisan, yang secara etis bisa mengklaim berideologi Pancasila. Sedangkan jika partai-partai melakukan klaim atas Pancasila, dikhawatirkan sekadar melakukan politisasi atas Pancasila. Seperti PKI pernah merebut kata “rakyat” dan Masyumi merebut kata “umat”: dua kata yang sebetulnya milik bersama seluruh bangsa. []

Tidak ada komentar: