25 Mei 2010

Mas Mario, Ketulusan Wong Cilik

SOSOKNYA kurus tinggi, berkulit gelap. Rambutnya yang berombak dibiarkannya agak panjang dan acak-acakan. Usianya 40-an tahun. Namun tempaan hidup yang keras membuat wajahnya tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Apalagi beberapa gigi depannya ompong, entah karena apa.

Begitulah gambaran tentang Mas Mario, lelaki biasa namun bernilai luar biasa di mata saya. Dialah sosok wong cilik sejati, yang telah bekerja keras menjadi tim sukses saya selama kampanye pemilu legislatif tahun lalu.

Empat anggota tim sukses saya yang lain juga wong cilik seperti Mas Mario. Lik Saiman, usia 60-an tahun, tetangga saya, sehari-hari bekerja mengayuh becak. Nardi, 45 tahun, mantan pembantu ibu saya, penjual bakso. Bagong, 26 tahun, tetangga saya yang lain, berprofesi pemburu tokek di malam hari.

Kemudian Kemin, 30-an tahun, pembantu keluarga kami sejak muda hingga kini. Dan, satu lagi, Budi (25 tahun), anak mantan sopir pribadi kakak saya. Budi bertugas menyetir mobil pinjaman dari mbak saya untuk keperluan mengantar tim kampanye ke sana kemari.

Di luar mereka sebenarnya masih ada beberapa tukang bakso, pemulung, buruh pabrik, buruh tani, tukang ojek, sopir angkot, dan sejenisnya, yang sesekali juga ikut membantu.


Tim Gila
Para tokoh masyarakat setempat yang mengetahui siapa saja tim sukses saya, biasanya hanya geleng-geleng kepala. Bagi mereka, susunan tim sukses saya tidak masuk akal atau absurd. Tapi saya tak peduli: the show must go on, kata saya dalam hati.

“Tim kampanye Dik Jarot benar-benar gila…hahaha,” begitu komentar paling simpatik yang pernah saya dengar. Pengucapnya Bu Maryoto, istri Haji Sumaryoto, anggota DPR RI asal Wonogiri. Kebetulan dalam kampanye ini saya bekerja sama dengan putrinya, Ayuning Sekarsuci, yang menjadi caleg DPRD Provinsi Jawa Tengah.

Toh apa pun komentar orang, kelima anggota tim sukses itu terbukti pekerja keras dan nyaris tanpa lelah membantu saya melakukan sosialisasi dalam Pemilu 2009. Meski, jujur saja, dari kelimanya yang paling berkesan adalah Mas Mario.

Bagaimana tidak, bapak dua remaja puteri ini sehari-hari pekerjaannya hanya mengumpulkan barang bekas atau rosok, yang akrab disebut pemulung atau tukang rosok. Akan tetapi, militansi dan etos kerjanya sungguh patut dipuji.

Ketika mengetahui saya berencana mengabaikan Wonogiri sebagai salah satu daerah pemilihan saya, misalnya, Mas Mario dengan gagah berani menawarkan diri untuk menggerakkan dukungan dari sana. Kebetulan ia memiliki lokasi usaha rosok di Ngadirojo, salah satu kota kecamatan di Kabupaten Wonogiri.

Awalnya saya ragu juga menerima tawarannya. Bukan meragukan kemampuannya, tapi mengingat terbatasnya anggaran yang saya miliki. Namun akhirnya Mas Mario berhasil meyakinkan saya. “Yang penting dibantu uang bensin untuk sepeda motor saya dan rokok untuk mendekati pemilih Mas,” katanya.

Melihat semangatnya, hati saya pun luluh. Saya percayakan seluruh Kab. Wonogiri untuk dikelola lelaki bersahaja yang hanya tamatan SMP itu. Toh andai tak ada Mas Mario, saya juga tak berniat memobilisasi dukungan secara serius di kabupaten yang kontur wilayahnya bergunung-gunung ini.

Walaupun begitu, sejak awal saya wanti-wanti kepada Mas Mario bahwa dia tak bisa mengharapkan bantuan dana yang besar dari saya, untuk mendukung aktivitas kampanye di sana. Saya juga tak sanggup memenuhi permintaan para calon pemilih, andaikata ada yang menuntut imbalan berupa pengerasan jalan desa, pembangunan masjid, dan sebagainya.

Bahkan saya sama sekali juga menolak menyediakan amplop atau imbalan uang bagi para calon pemilih. Apalagi, saya menyadari, salah satu tema utama brosur kampanye saya terang-terangan menentang politik uang atau money politics.

“Mereka yang paling banyak membagi-bagikan uang saat kampanye, biasanya juga yang paling banyak mengambil uang rakyat atau melakukan korupsi ketika nantinya terpilih sebagai wakil rakyat,” begitu kata saya dalam forum-forum pertemuan dengan rakyat di berbagai tempat di Kabupaten Sragen, tanah kelahiran saya.

Tentunya di Kabupaten Karanganyar dan Wonogiri –keduanya termasuk daerah pemilihan Jawa Tengah IV atau dapil saya— pun saya harus melakukan hal sama: menolak tegas politik uang. Ini saya lakukan bukan semata karena tak punya uang, melainkan demi pendidikan politik bagi rakyat di dapil saya.

“Kebiasaan konstituen meminta imbalan uang sebagai syarat memberi dukungan tidak muncul secara alamiah. Tradisi politik uang merupakan hasil konstruksi, dan karena itu harus kamu lawan,” begitu nasehat dosen saya di UGM, Mas Cornelis Lay, yang selalu tertanam di benak saya.

Walhasil, jadilah Mas Mario manajer kampanye saya di Kabupaten Wonogiri tanpa bekal anggaran atau amunisi yang memadai. Dia membangun sendiri jaringannya, mengadakan pertemuan sendiri, bahkan seringkali harus membiayai kampanye dari uangnya sendiri.

Terakhir, tanpa setahu saya, Mas Mario malah menjual seluruh stok dagangannya, termasuk menggadaikan sepeda motor pribadinya, demi membiayai kampanye tadi. Tentu saja saya protes atas sikapnya ini. “Kok sampai begitu Mas? Barang dagangan kan sumber nafkah sampeyan. Lagi pula, kenapa tidak memberi tahu saya lebih dulu,” kata saya.

“Kepalang basah Mas,” katanya beralasan. “Saya nggak enak mau memberi tahu Mas, karena saya lihat Mas sendiri kesulitan uang untuk membiayai kampanye di Sragen.”

Pindah ke Sragen
Semakin dekat hari pemungutan suara, aktivitas kampanye saya di Kab. Sragen kian membuat saya kewalahan. Padahal Sragen menjadi lahan garapan utama saya. Untuk mengatasinya, Mas Mario pun saya tarik ke Sragen.

Di kabupaten yang terkenal dengan Gunung Kemukusnya ini, aksi Mas Mario ternyata lebih nekat lagi. Atas inisiatif sendiri, dia membagi-bagikan kartu nama dan brosur kampanye saya di tempat-tempat hajatan. Bahkan, ibu-ibu yang tengah bergotong royong memasak di dapur pun ia sambangi.

Uniknya, kenekatannya itu tidak mendatangkan cemoohan, melainkan justru meraih simpati warga sekitar. Mungkin ini lantaran pembawaan Mas Mario yang ramah, cuek, tapi jenaka, ketika menyampaikan ajakan untuk memilih saya. Walhasil, beberapa kali warga malah mengajak Mas Mario menikmati makanan dan minuman di rumah orang punya hajat atau pesta perkawinan. Tak jarang pula ibu-ibu dengan sukarela ikut membantu membagi-bagikan kartu nama dan brosur kampanye yang dibawanya.

Adalah Mas Mario pula yang paling bersemangat mengajak kami membagikan brosur kampanye di pasar-pasar dan pabrik-pabrik di seantero Sragen dan Karanganyar. Jika anggota tim kampanye lainnya ogah diajak berangkat ke tempat-tempat berkumpulnya banyak orang itu, tak segan-segan Mas Mario berangkat sendiri dengan sepeda motor. Dan hebatnya, dalam situasi begini, ia tak pernah menyalahkan kelambanan teman-teman satu timnya.

Mas Mario tidak pula terdengar mengeluh. Semua aktivitas kampanye dijalaninya penuh semangat dan riang gembira. Padahal kami tak hanya bergerak di siang hari. Pagi-pagi subuh, kami sudah meluncur menuju kawasan industri, sesaat menjelang para buruh sift malam pulang kerja. Ketika matahari merekah di ufuk timur, kami merangsek ke pasar-pasar tradisional. Siangnya, tim yang sama memasang baliho atau membagikan kartu nama dan brosur dari pintu ke pintu di perkampungan penduduk.

Sore bakda magrib hingga pukul sembilan malam, kami masih berjaga di pintu gerbang rumah sakit: membagikan kartu nama dan brosur untuk orang-orang yang ramai membezuk pasien. Tengah malam, kembali kami mencegat pekerja pabrik sift siang, yang pulang kerja pukul 23.00 WIB.  Pendek kata, kami nyaris selalu bergerak 24 jam sehari…

Maka tak mengherankan jika anggota tim lainnya acap mengeluh kecapekan. Bahkan ada dua anggota tim yang sempat mengundurkan diri karena tak kuat meladeni gaya kampanye gila-gilaan yang kami lakukan.

Akan tetapi, tidak demikian dengan Mas Mario. Pria yang mengaku pengikut setia Megawati Soekarnoputeri, sejak era PDI Promega zaman Orde Baru, ini seolah tak pernah merasa lelah. Sampai-sampai saya sendiri kadang terkejut dengan cara berpikir dan semangatnya.

Bayangkan, ketika caleg separtai yang menjadi kompetitor saya giliran berkampanye secara terbuka di lapangan atau dengan arak-arakan massa, Mas Mario ikut serta. Tapi bukan untuk mengkhianati saya, melainkan dalam rangka membagi-bagikan kartu nama dan brosur kampanye saya kepada peserta rapat akbar atau pawai.

Karena khawatir akan potensi konflik fisik yang bisa timbul, saya sudah melarang dia melaksanakan idenya tadi. Tapi apa boleh buat, lelaki yang mukim di Desa Krikilan, Kec. Masaran, Kab. Sragen itu nekat berangkat juga. Dan ternyata, memang tidak terjadi apa-apa.

“Minta kartu nama dan brosur lagi Mas. Tadi saya kehabisan, karena massa banyak yang minta kartu dan brosur untuk dibagikan di desanya masing-masing,” katanya suatu ketika, sepulang dari mengikuti kampanye caleg lain yang separtai.

Sampean nggak digebukin orang Mas? Membagikan kartu nama dan brosur kok di tengah massa caleg lain…,” tanya saya.

“Enggak Mas. Mereka malah senang. Yang penting partainya sama. Paling-paling calegnya yang marah kalau tahu ulah saya hahaha…,” katanya.

Ulah Wong Licik
Begitulah sekelumit kisah Mas Mario. Kendati saya tidak terpilih sebagai anggota DPR RI dalam Pemilu 2010, bukan berarti kerja keras Mas Mario dkk tak membawa hasil. Terbukti di Kecamatan Sidoharjo, kecamatan  saya sendiri, dan di Kecamatan Sragen Kota, saya meraih angka tertinggi, melebihi perolehan suara caleg pusat lainnya, dari partai mana pun.

Adapun secara total saya kalah, karena faktanya banyak suara yang saya peroleh kemudian raib entah ke mana. Hal ini konon terjadi karena saya tak punya dana untuk mengawal atau mengamankan perolehan suara. Dukungan luas para pemilih di bawah saja tidak cukup untuk memenangkan pertarungan pada Pemilu 2009.

Di salah satu Tempat Pemungutan Suara (TPS), misalnya, tertulis saya meraih 110 suara. Tapi belakangan, ketika penghitungan sampai tingkat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), perolehan saya tinggal 10 atau 11 suara. Dan fenomena ini tidak hanya di satu atau dua TPS.

Sayangnya, kami gagal menunjukkan bukti-bukti terjadinya kecurangan tadi, karena hampir semua saksi, petugas pemilihan, aparat desa dan kecamatan yang terlibat, telah dibeli oleh caleg yang berduit. Oknum-oknum yang telah terbeli integritasnya itu menolak memberikan salinan rekapitulasi suara, yang seharusnya boleh diketahui oleh publik.

Sementara di kecamatan saya sendiri, perolehan suara saya aman karena adanya solidaritas sesama tetangga desa, meski di beberapa TPS juga dicuri. Sedangkan di Kecamatan Sragen Kota suara saya terselamatkan, lantaran masyarakat perkotaan lebih terdidik dan berkesadaran politik tinggi, sehingga relatif tidak bisa begitu saja dibeli.

Walhasil, setelah dicuri di sana sini, total perolehan saya dalam Pemilu 2009 tinggal 15.500 suara. Sebuah hasil yang tak terlalu buruk jika mengingat biaya kampanye saya yang tak sampai ratusan juta dan tim sukses yang hanya terdiri segelintir wong cilik…

Sayang sekali, ketulusan perjuangan Mas Mario dkk akhirnya harus terkalahkan oleh ulah para caleg yang menghalalkan segala cara: orang-orang yang bukan saja tega mengelabui wong cilik, lebih dari itu juga layak disebut wong licik…[] Jakarta, 19 Mei 2010.

1 komentar:

muadza mengatakan...

tulisan yg inspiratif, Bung. salut utk konsistensi njenengan di wilayah politik praktis yg penuh konsekuensi itu.