09 Agustus 2010

Palestina Oh Palestina



 

MELIHAT kebrutalan demi kebutralan rezim zionisIsrael Israel, membuat aku merasa lelah dan jenuh. Sebab, sejak SMP, aku sudah akrab dengan berita seperti itu. Tetapi, sejak saat itu hingga hari ini, rasanya tak satu pun pelanggaran HAM tersentuh hukum.
 

Tiap kali ada upaya menjatuhkan sanksi PBB kepada Israel, negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat (AS), buru-buru mementahkannya dengan hak veto . Memang begitulah standar ganda atau hipokrisi ala Amerika.

Maka dari itu, kadang aku pun tak ingin mendengar berita seperti itu lagi. Aku ingin mematikan TV atau memalingkan muka, ketika muncul berita kekejaman atas bangsa Palestina. Aku ingin menutup mata dan telinga, ibarat seseorang hendak mengubur dalam-dalam kenangan pahit masa lalunya.

Sebab wajah-wajah balita, ibu-ibu hamil atau tua renta, dan orang-orang biasa, yang bersimbah darah akibat peluru serdadu Israel itu, terus membayang di pelupuk mataku. Mereka hanya sebagian kecil dari ratusan korban pembantaian Sabra-Shatila, penembakan remaja pelaku intifadah, hingga penyerangan kafilah kemanusiaan ke Gaza baru-baru ini. Entah, tragedi Palestina ini sampai kapan akan terus terjadi.

Aku ingin berteriak dan melawan itu semua, tetapi kenyataannya aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa bertanya-tanya sendiri, atau kadang menggugat dalam hati, meminjam kata-kata Isa Al Masih: Eli Eli lama sabakhtani…Tuhan, Tuhan, mengapa Kaubiarkan semua itu terjadi? Apakah Engkau sekarang tak berdaya dan tak Mahakuasa lagi? Apakah Tuhan juga terjebak konspirasi lobi Yahudi pro-Israel, seperti nyaris dialami semua petinggi adikuasa Amerika?

Simpati dan keprihatinanku yang mendalam kepada warga Palestina itu sama dengan simpati dan keprihatinanku ketika melihat orang-orang Yahudi disiksa, dibantai, atau dibiarkan pelan-pelan mati kelaparan dan kedinginan di kamp-kamp konsentrasi NAZI pada masanya.

Pemimpin NAZI Jerman, Adolf Hitler, yang rasis dan paranoid, pada masanya telah menciptakan holocaust, untuk memburu keturunan Yahudi atau ras semit di seluruh penjuru Eropa. Orang-orang Yahudi dijadikan target pembunuhan massal dan dikambinghitamkan sebagai penyebab kesengsaraan bangsa. Tak hanya para laki-laki, wanita dan anak-anak juga menjadi sasaran genosida tak berperikemanusiaan itu.

Tetapi, sekarang, mengapa orang-orang Yahudi Israel melakukan kekejaman yang sama kepada bangsa Palestina, baik Muslim maupun Kristen? Apakah pengalaman menerima perlakuan dengan kekerasan, yang berada di luar batas-batas kemanusiaan, justru mengilhami kaum Yahudi Israel melakukan hal yang sama? Apakah memang begitu sejatinya tabiat dasar manusia?

Mungkinkah pengalaman kolektif ditindas secara kejam oleh rezim fasis Nazi-Hitler telah membentuk Israel menjadi bangsa paranoid dan overacting dalam menyikapi setiap potensi ancaman atau gangguan? Bagaimana logika dan hati nurani mereka bisa membenarkan pasukan komando, bersenjata lengkap, menyerbu rombongan aktivis kemanusiaan tak bersenjata, yang hendak membantu pangan dan obat-obatan untuk warga Palestina di Gaza?

Bagaimana pula sikap Amerika Serikat, sang polisi dunia yang mengklaim sebagai pengawal demokrasi dan HAM itu, bisa mendiamkan saja perilaku terorisme negara yang dilakukan sekutu terdekatnya?

Pertanyaan demi pertanyaan itu, seperti berondongan peluru tajam yang terus merobek-robek benak dan hatiku. Aku memang tidak setuju dengan sebagian kawan-kawanku yang melihat konflik Israel-Palestina semata-mata sebagai masalah agama. Masalah agama Yahudi dengan Islam khususnya. Sebab sebagian cukup besar warga Palestina adalah umat Nasrani, dan mereka pun ikut menjadi korban kezaliman rezim rasis Israel. Sementara tak semua orang Yahudi menyetujui perilaku biadab Israel, seperti intelektual terkemuka Noam Chomksy yang belum lama ini dicekal masuk Israel.

Bagiku, kesewenang-wenangan Israel atas warga Palestina lebih dari sekadar masalah agama. Menurutku, masalah Palestina adalah masalah kemanusiaan. Sebagai masalah kemanusiaan, sudah seharusnya isu Palestina menjadi keprihatinan bersama seluruh umat manusia, apa pun agamanya. Dan sudah semestinya pula, kekejaman zionis Israel menjadi musuh bersama seluruh bangsa-bangsa yang hidup di muka bumi ini.

Namun, tatkala AS dan negara-negara Barat masih saja bersikap tidak adil dan selalu membela ulah biadab sekutu zionisnya, aku memang tidak bisa menyalahkan jika kemudian sebagian kawan-kawanku melihat persoalan ini dari perspektif agama. Ketika semua argumen logis sudah tak mempan lagi diajukan sebagai solusi untuk mengerem sepak terjang zionis Israel, konsekuensinya memang seruan-seruan sakral bernuansa agamalah yang bakal mengemuka.

Bukankah ketika sampai puncak frustasinya, manusia akan cenderung berpaling kepada teks-teks suci Ilahi atau justru melakukan tindakan nekat bunuh diri? Maka, jangan heran jika setelah serangan serdadu Israel atas rombongan kemanusiaan ke Gaza ini, aksi-aksi terorisme atas nama agama atau bom bunuh diri akan marak kembali.

Bisa diduga, jika sampai hal itu terjadi, maka kepentingan Barat dan AS khususnya –yang rajin memberi payung perlindungan bagi ulah keji zionis Israel– yang bakal menjadi sasaran utamanya. Di mana pun dan kapan pun, di seluruh penjuru dunia ini.

Dan, pada saat seperti itulah, AS dan sekutunya mungkin baru menyadari kekeliruannya: senjata-senjata berteknologi canggih ternyata tak banyak gunanya. Sebab, senjata secanggih apa pun atau laju peluru setajam apa pun, hanya akan disambut pekik sukacita para mujahid: Mati syahid (memang) cita-cita tertinggi kami!

berkobar tinggi panaskan bumi
membakar ladang dan rumah kami
darah syuhada mengalir suburkan negeri
tiada kata lagi, kami harus kembali….

berbekal iman yang paling utama
mujahid maju songsong senjata
pasukan Allah akan membela
mereka atau kami yang binasa…


(Izis, Kembali). [] Jakarta, 2 Juni 2010.


Catatan:

* Untuk teman-teman yang masih bingung membedakan ihwal Yahudi dan Zionisme, silakan klik http://www.harunyahya.com/indo/artikel/049.htm dan http://www.tragedipalestina.com/yudaisme.html.

**Lihat juga tulisan saya terkait di http://agama.kompasiana.com/2010/05/17/apakah-orang-yahudi-selalu-jahat/.

Tidak ada komentar: