09 Agustus 2010

Ketika Cinta Tidak Sempurna (#2)










[foto: salazad.com]


DENGAN calon pasangan hidup yang kriterianya tidak sesempurna yang kita harapkan, mungkinkah kita bisa meraih kesempurnaan hasil? Dalam arti mendapatkan hubungan yang membahagiakan, rumah tangga bahagia, atau istilah agamanya: mencapai keluarga sakinah mawaddah warohmah?

Menurut saya, asal saja kita mau menyadari ketidaksempurnaan kita sebagai manusia, dan sekaligus dapat memahami atau menerima ketidaksempurnaan calon soulmate kita dengan ikhlas, insya Allah sangat mungkin akhirnya dapat meraih sukses atau kesempurnaan berumah tangga. Betapapun awalnya boleh jadi tidak dimulai dengan kriteria pasangan yang tidak sempurna tadi.

Mengapa? Sebab jika kita memaklumi bahwa sebagai makhluk kita tak lepas dari kekurangan, tentunya juga tidak akan mengungkit-ungkit kekurangan pasangan kita. Justru dengan menyadari adanya potensi keterbatasan dalam diri tiap orang, menikah atau memiliki pasangan hidup harusnya menjadi wahana menyinergikan potensi atau kelebihan masing-masing, sembari saling melengkapi kekurangan yang ada.

Dengan demikian, jika ditemukan kekurangan pada diri pasangan yang cukup mengganggu keharmonisan hubungan, solusinya bukan dengan memojokkan atau menyalahkan pasangan, melainkan bagaimana kita secara bersama-sama menyelesaikan persoalan (pendekatan problem-solving). Makanya, betapapun dimulai dengan ketidaksempurnaan, asal ada komitmen untuk berbagi (take and give) antara pasangan suami-istri, tentunya tantangan atau persoalan seberat apa pun dapat dibicarakan dan diselesaikan.

Hubungan suami-istri yang egaliter dan saling melengkapi beginilah yang menurut saya telah digambarkan dengan sangat indah dalam Al Quran. Yakni bahwa “suami adalah pakaian untuk istri, begitu pula istri merupakan pakaian bagi suami” (QS Al Baqarah: 187). Dalam hal ini, agar kita dapat saling komplementer atau klop (istilah Jawanya ibarat “tumbu entuk tutup” atau wadah dengan penutupnya), dibutuhkan kemauan keras untuk menekan ego sekaligus mengembangkan sikap empati satu sama lain.

Dengan diturunkannya ego atau rasa keakuan seseorang, otomatis akan berkurang pula sikap mau menang sendiri, dan pada akhirnya lebih memudahkan bagi pasangan yang bersangkutan untuk saling berempati satu sama lain. Yang dimaksud dengan empati adalah kesanggupan kita untuk merasakan atau menghayati pikiran atau perasaan orang lain dari sudut pandang orang tersebut, bukan dari sudut pandang kita. Dengan kata lain, kita harus mampu membayangkan diri kita seolah-olah berada dalam posisi orang lain itu.

Jika kita mampu berempati, kita juga lebih bisa mengendalikan diri dan bersikap pengertian atau toleransi kepada pasangan atau orang lain. Kita, misalnya, tidak akan sampai hati mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan hati, baik berupa cacian atau kata-kata yang merendahkan lainnya. Kita juga tidak akan melakukan perbuatan tercela yang bisa dikategorikan sebagai KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), sebab kita pun tidak mau diperlakukan begitu.

Pendeknya: karena kita tidak mau disakiti oleh pasangan, maka kita juga tidak mau menyakiti pasangan hidup kita. []

*Baca tulisan sebelumnya di Ketika Cinta Tidak Sempurna (#1).

Tidak ada komentar: