09 Agustus 2010

SBY, Obama, dan Lobi Yahudi







obama merangkul mesra  pemimpin lobi yahudi amerika pro-israel, aipac
[foto:sydwalker.info]

ZIONISME yang melahirkan negara Israel adalah ideologi paranoid dan rasis, mirip Naziisme yang dikembangkan Adolf Hitler di Jerman menjelang Perang Dunia II. Itulah sebabnya, baik Naziisme maupun Zionisme, sama-sama menghasilkan kejahatan bagi kemanusiaan (crime against humanity) yang sangat memilukan.

Hitler dengan Nazinya membangun kamp konsentrasi dan melakukan holocaust untuk melenyapkan ribuan orang Yahudi di seantero Eropa. Orang-orang Yahudi menjadi korban genosida (pembantaian etnis), karena dianggap sebagai penyakit masyarakat dan dikhawatirkan mencemari kemurnian ras unggulan, ras aria Jerman, yang bermata biru dan berambut jagung.

Sementara Israel berkali-kali melakukan pembantaian massal atas ribuan penduduk Palestina, dan sekarang memenjarakan 1,5 juta warga Palestina, laki-laki, perempuan, tua muda, di tanah miliknya sendiri: Gaza. Warga Palestina, baik Muslim maupun Kristen, diusir dan dibantai, karena dianggap mengganggu cita-cita bangsa Israel menguasai dan memperluas “tanah terjanji” bagi kaum Yahudi.

Hitler membangun poros kekuasaannya dengan menjalin aliansi strategis dengan rezim fasis Jepang, Italia, dan Spanyol. Sementara Israel membentuk aliansi segitiga, dengan Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat lainnya. AS adalah pengawal setia zionisme Israel, siapa pun pemimpin atau partai yang tengah berkuasa di negeri Paman Sam itu.

Lobi Yahudi

AIPAC, organisasi lobi politik kaum Yahudi AS pro-Israel, yang berperan sebagai kasir atau penyumbang dana besar bagi setiap kandidat presiden maupun anggota Kongres AS, berada di balik awetnya persekongkolan AS dan Israel. Melihat fakta dan konstelasi ini, jangan terlalu berharap bahwa Presiden Barrack Hussein Obama akan bisa memainkan peran penting demi menghentikan penindasan Israel atas bangsa Palestina.

Pada diri sosok Obama memang mengalir darah Islam dari ayahnya dan darah Kristen dari ibunya. Namun, jangan lupa, Obama tidak bisa mengelak dari realita bahwa ia bisa hidup dan berkuasa lantaran sumbangan yang mengalir dari rekening orang-orang Yahudi Amerika pendukung Zionisme Israel.

Demikian pula kita tidak bisa berharap banyak kepada para pemimpin negara-negara Barat di luar AS. Sebab, pada akhirnya, mereka pun akan tunduk kepada kemauan satu-satunya negara adikuasa itu, meski sesekali mereka ikut mengecam kebiadaban rezim Zionis Israel secara terbuka.

Bahkan, terhadap para pemimpin non-Barat, termasuk para pemimpin negeri-negeri anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI), pun kita tidak bisa terlalu menumpukan harapan. Apalagi jika para pemimpin tersebut cenderung menjadi pelayan kepentingan Barat, seperti raja Arab Saudi atau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Raja Arab Saudi dan SBY selama ini hanya sibuk memainkan silat lidah (lips service), agar di mata rakyatnya seolah-olah terlihat bahwa mereka membela rakyat Palestina. Namun, sejatinya, keduanya sama-sama menjalankan politik luar negeri yang bersifat oportunis.

Palestina di mata raja Arab Saudi atau SBY hanya ibarat seorang pengemis belaka. Karena itu Saudi menggelontorkan dana bagi Palestina, dan dana pula yang diberikan SBY ketika Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengunjungi RI baru-baru ini. Namun jangan harap raja Saudi atau SBY mengecam standar ganda Amerika, yang mudah menghukum negara-negara yang dituduh sarang teroris seperti Irak dan Afghanistan, tapi justru membela kebiadaban Israel dengan pelbagai cara. Padahal justru Israel inilah sejatinya “the real terorist” yang mempraktekkan terorisme negara, seperti didoktrinkan sang ideolog Zionisme, Theodor Herzl.

Di luar urusan pencitraan, Saudi adalah sekutu terbaik AS di Timur Tengah setelah Israel. Seolah ingin melebihi Israel dalam membina persahabatan dengan AS, Arab Saudi malah menyediakan pangkalan militer bagi AS di wilayah kedaulatannya. Sementara Indonesia di bawah kepemimpinan SBY adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia yang paling ramah (welcome) terhadap agenda neoliberalisme (Washington Consensus) yang disponsori AS.

Sebagaimana Obama membanggakan pengalaman masa kecilnya yang pernah tinggal di Menteng, Jakarta, SBY pun gagal menyembunyikan kebanggaannya bahwa faktanya ia adalah salah satu jenderal Indonesia hasil didikan Amerika.

Karena itu, kita dapat melihat bahwa penguasa Israel, AS, dan Indonesia, menyusul insiden penyerbuan misi kemanusiaan Freedom Flotilla ke Gaza, tidak jauh berbeda nuansa pernyataannya. Jika Israel dan AS hanya menyesalkan terjadinya insiden tersebut, Indonesia hanya mengecamnya. Itu pun tidak disampaikan SBY sendiri, melainkan hanya melalui Kementerian Luar Negeri.

SBY baru merasa perlu menampakkan diri di layar kaca ketika jelas-jelas para WNI yang ikut misi kemanusiaan ke Gaza tiba di Yordania. Ia menelpon para WNI itu, untuk membangun citra bahwa ia peduli kepada nasib warga Indonesia yang tengah ditimpa bencana. Di luar itu, SBY hanya berucap bahwa ia akan membahas insiden penyerangan misi kemanusiaan ke Gaza dengan Barrack Obama, pada saat Obama mengunjungi Indonesia bulan Juni ini (Kompas.com 1/6/10). Sialnya, tak lama kemudian, Obama untuk yang kedua kalinya menyatakan menunda kunjungannya ke Indonesia. Jika tak ditunda lagi, Obama baru bertandang ke Indonesia sekitar bulan November mendatang.

Artinya, andai 12 WNI itu terus disekap di penjara Israel dan tidak segera dibebaskan, SBY baru akan membahasnya dengan Obama 6 bulan lagi. Itu pun baru janji, dan belum tentu ditepati. Sebab Wapres AS, Joe Bidden, sendiri justru baru saja mengeluarkan pernyataan sikap yang membenarkan tindakan biadab Israel yang menyerang rombongan misi kemanusiaan itu. Beranikah SBY “head to head” menantang sikap AS? Saya kok cenderung ragu, seperti sikap SBY yang juga selalu peragu itu.

Mengapa SBY tidak berani mengeluarkan statemen keras terhadap Israel, menyusul penyerangan atas rombongan misi kemanusiaan ke Gaza yang tidak bersenjata? Padahal di dalam rombongan kapal itu terdapat 12 relawan Indonesia. Mengapa Presiden Venezuela Hugo Chavez, yang beraliran kiri, justru berani mengeluarkan pidato kecaman secara langsung dan lebih keras? Padahal Venezuela hanya negara kecil, dengan penduduk sekitar 30-an juta jiwa. Apakah SBY takut kepada Israel?

Mungkin itulah beberapa pertanyaan yang boleh jadi berseliweran di benak kita melihat sikap SBY yang, maaf, “letoy” menyikapi kebiadaban Israel. Menurut saya, penyebab utama SBY terkesan berhati-hati menyikapi aksi brutal Israel bukan karena ia takut kepada negeri Zionis itu, melainkan khawatir jika ia bersikap terlalu keras akan bisa menyinggung perasaan AS, sang pengawal kepentingan Israel. Dan bila itu terjadi, kita tahu, Barrack Obama bukan saja merasa tidak nyaman ketika berkunjung ke Indonesia, melainkan bisa menunda lagi kunjungannya ke negeri ini.

Ironisnya, meski SBY sudah bersikap santun dan menunjukkan perilaku sebagai murid AS yang taat, masih saja Obama menunda kunjungannya ke Indonesia. Padahal pekan pertama Juni ini, rombongan pengawal presiden AS itu telanjur melakukan survei pendahuluan di Indonesia, untuk mempersiapkan kunjungan bosnya ke negeri ini.

Apa boleh buat, SBY pun tak bisa berbuat apa-apa menyikapi kesewenang-wenangan Obama yang beberapa kali menunda-nunda kunjungannya ke Indonesia tanpa alasan yang jelas. Jadi jangan pernah berharap SBY bakal berani berkata, “Go to hell, USA with your Israel!”

Sebab jika kita masih berharap SBY berani bersikap tegas seperti itu, sama saja mengharapkan SBY menjadi Bung Karno, yang pernah menantang arogansi Amerika dengan mengatakan, “Go to hell with your aid!”. Dan jika kita mengharapkan SBY menjadi Bung Karno, sama artinya mendamba kucing menjadi macan. Alias hal yang mustahil, atau kata anak-anak muda: nggak level banget deh…[] Jakarta, 4 Juni 2010.

Tidak ada komentar: