25 Mei 2010

Hantu-hantu Gedung DPR

SABTU siang itu DPR sedang libur, karena sistem kerjanya hanya 5 hari, Senin hingga Jumat. Maka Gedung Nusantara I, tempat para anggota dewan berkantor, yang biasanya ramai pun hari itu sangat sepi. Hanya ada beberapa tukang bangunan yang sedang merenovasi sejumlah ruang kerja anggota DPR.

Meski begitu, Arsun (43 tahun), seorang asisten pribadi anggota dewan, hari itu masuk juga ke ruang kerjanya yang berada di lantai tujuh. Kebetulan kos Arsun di kampung Palmerah, di samping Gedung Kompas, bisa ditempuh sekitar lima menit berjalan kaki dari kompleks DPR.

Jadilah tiap hari Sabtu atau Minggu Arsun tetap ngantor. Bukan untuk bekerja lembur, melainkan agar dia bisa menumpang internet gratis di kantor. Maklum, belakangan ini Arsun sedang kecanduan chatting dan facebook-an.

Selain itu, kata Arsun jujur, suasana di gedung DPR memang lebih nyaman ketimbang di kos-kosannya yang sempit. “Di kos panas,” kata pria asal Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini.

Kecuali tidak berpenyejuk udara, kos Arsun juga terletak di kawasan slum-area yang padat dan gersang. Sehingga wajar jika gedung dewan yang baru saja didesas-desuskan miring beberapa derajat itu pun lebih mengundang seleranya.

Nah, seperti hari-hari sebelumnya, siang itu Arsun duduk manis di depan komputer di ruang kerjanya. Ketika tengah asyik-asyiknya berkomunikasi dengan beberapa temannya, ia dikejutkan oleh suara ketukan lembut di pintu. “Assalamu’alaikum…” terdengar suara lirih seorang lelaki dari balik daun pintu.


“Wa’alaikum salam. Siapa ya? Silakan masuk,” jawab Arsun. Ditunggu-tunggu sejenak, tidak ada orang yang memasuki ruangan tempatnya bekerja. Arsun pun beranjak ke pintu. Tetapi di sini pun ia tak melihat seseorang, selain dirinya sendiri. Bahkan juga di sepanjang lorong di depan ruang kerjanya itu.

Karena penasaran, Arsun menemui sejumlah tukang bangunan yang sedang merenovasi ruangan lain di lantai tujuh. Ia terdorong untuk mencari tahu, apakah ada di antara mereka yang mengetuk pintu ruangannya dan mengucapkan “assalamu’alaikum”.

Eh, bukannya menjawab pertanyaan Arsun, para pekerja bangunan itu malah lari terbirit-birit, menuju lantai bawah. Belakangan mereka mengaku, selama bekerja di situ sering pula menemui keanehan, termasuk mendengar suara seseorang yang mengetuk pintu dan mengucap salam.


Hantu Pekerja
Kisah Arsun ternyata dibenarkan Jumadi, sopir anggota dewan, yang sudah lima tahun lebih bekerja di kompleks MPR/DPR. Menurut Jumadi, selain suka mengetuk dan mengucap salam, hantu atau keanehan di lantai tujuh gedung DPR bisa juga berupa suara daun pintu yang berderit dan tiba-tiba membuka sendiri. Seolah-olah tengah ada orang yang masuk ruangan melalui pintu tadi.

“Selain di lantai tujuh, kejadian seperti itu juga sering ditemui di lantai sebelas,” kata lelaki kelahiran Jakarta 30 tahun lalu ini.

Menurut penuturan Jumadi, berdasarkan cerita dari mulut ke mulut yang sampai kepada dirinya, hantu-hantu tadi konon merupakan makhluk jadi-jadian atau penampakan dari para pekerja bangunan yang menjadi korban sewaktu gedung itu dibangun.

“Gedung itu kan dibangun pada zaman Orde Baru yang otoriter. Nah, untuk mengejar target agar tepat waktu, para kuli bangunan dipaksa bekerja siang malam. Akibatnya tidak sedikit yang kelelahan dan tewas karena terjatuh,” kata Jumadi.

Menurut Jumadi, seperti kebiasaan Orde Baru pula, adanya korban tewas dalam proses pembangunan gedung ini tidak pernah disiarkan media massa. Apalagi, imbuhnya, kontraktor pembangunannya konon masih terhitung orang dekat keluarga Cendana (keluarga Presiden Soeharto). “Sehingga semua ditutup rapat-rapat,” ucapnya lagi.

Benar atau tidaknya penuturan Jumadi tentu tidak mudah dibuktikan. Yang jelas, beberapa petugas office boy gedung DPR membenarkan ihwal cukup angkernya suasana gedung yang memiliki 23 lantai itu. Terutama tatkala keadaan gedung sepi penghuni dan tidak banyak aktivitas.

Kendati demikian, kita layak berharap, semoga bukan gara-gara isu hantu inilah jika para anggota DPR akhirnya ingin memiliki gedung baru yang tentunya lebih bagus. Atau, barangkali, para hantu perlu diundang dalam rapat dengar pendapat khusus atau dibuatkan undang-undang yang melarang mereka mengganggu gedung wakil rakyat?

Aha, jika dua ide terakhir sampai betul-betul dilaksanakan, mungkin makin banyak orang yang percaya bahwa sesungguhnya DPR memang miring…penghuninya maksudnya, bukan gedungnya. Hiii…[] Jakarta, Mei 2010.

Tidak ada komentar: