25 Desember 2009

Surat kepada Ibu

Oleh:
Jarot Doso Purwanto 

IBU, surat ini kutulis dengan air mata, karena aku tak lagi kuasa membeli sebotol tinta. Harga-harga sudah demikian menggila, tapi aku tak hendak minta jatah kiriman uang kepada Ibu. Biarlah kucoba zuhud: hidup sekadarnya, bahagia sebesarnya. Bukankah tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Makanlah hanya ketika lapar dan berhentilah makan sebelum kenyang”, Ibu?

Apalagi aku tahu, hidup Ibu sendiri di desa pasti juga tidak mudah. Terlebih hanya Ibu yang harus bekerja mengumpulkan rezeki pemberian Allah subhanahu wa ta’ala. Almarhum Ayah sendiri –maklum cuma pegawai negeri rendahan— tak bisa mewariskan materi cukup berarti. Hanya warisan semangat untuk terus bergiat menuntut ilmu bagi anak-anaknya dan warisan agama –dua warisan yang amat berharga— yang beliau tinggalkan kepada kita.

Tapi Ibu, agama yang menguatkan kita di saat futur (kehilangan gairah hidup), agama yang menjadikan hidup kita lebih bermakna itu, kini hendak digunakan oleh sebagian umatnya untuk membelenggumu pula (istilah mereka: memuliakanmu). Membelenggumu, sebab –atas nama agama itu— sebentar lagi kau tak boleh keluar rumah di malam hari guna mengais rezeki. Engkau tak boleh bepergian selepas pukul sepuluh malam bila tidak didampingi mahram-mu.

Padahal siapa lagi mahram atau keluarga dekatmu yang masih ada, Ibu? Saudara-saudara kandungmu hidup berjauhan di luar batas desa atau malah sudah meninggal lebih dulu. Sedangkan kami, aku dan adikku yang masih sekolah, serta kakak-kakakku, hidup nun jauh di kabupaten bahkan provinsi yang berbeda. Lalu, siapa Ibu, yang hendak mendampingimu pergi berjualan sayuran itu? Kakak-kakak tak mungkin, karena mereka hidupnya juga sulit, pun punya rumah tangga sendiri dan anak-anak yang mesti diurusi.

Sementara andai aku atau adik perempuanku mandeg sekolah demi mengawalmu malam-malam –naik sepeda belasan kilometer memboncengkan seonggok besar sayur— pergi ke pasar, pasti keputusan kami itu justru membuatmu merasa pilu. Membuat Ibu merasa tak punya arti lagi untuk meneruskan perjuangan hidup ini.

Sebab, di hari tuamu ini, aku tahu, kamilah justru sumber gairah hidup Ibu. Yang Ibu inginkan hanyalah suksesnya sekolah kami; agar kami tak perlu mengulang kerja Ibu mengambil sayur dari kampung-kampung di pagi dan sore hari dan menjualnya kembali pada dini hari di tengah pasar di kota; supaya kami bisa menjadi anak yang lebih saleh dan salehah ketimbang Ibu dan Ayah dulu.

20 Desember 2009

Lupa Blog Gara-gara Facebook....

TIAP KALI muncul fenomena baru selalu ada plus minusnya. Itu sudah pasti. Demikian pula dengan kemunculan Facebook (FB).

Sebagai penikmat layanan jejaring sosial ini sejak cukup awal, semula aku agak sulit mengajak teman-teman migrasi dari situs Friendster yang kurang user friendly ke FB. Namun belakangan ini, tatkala popularitas Facebook makin menggila, seiring promosi gencar dari para operator telepon seluler, aku malah kewalahan meladeni orang-orang baru yang minta ditambahkan sebagai teman.


Aktivitas di jejaring Facebook-ku pun semakin hari kian ramai, dan sudah bisa diduga: akhirnya cukup menyita alokasi waktu dan perhatianku. Dampak positifnya, memang aku bisa terhubung lagi dengan teman-teman lama, bisa lebih banyak pula teman-teman baru. Akan tetapi, lantaran keasyikan mengurusi Facebook, akibat negatifnya alokasi waktu dan perhatian untuk menulis di blog pun menjadi terkurangi. Walhasil, blog pun menjadi terbengkalai.


Rutinitas memang membunuh kreativitas. Itu dalil lama yang kuyakini, dan kini rasanya menghajarku dengan serius. Rutinitas mengelola Facebook, yang seperti pekerjaan iseng dan sepele itu, tak terasa semakin menjauhkan diriku dari ide-ide kreatif untuk menulis di blog. Apalagi menulis artikel di media massa,  yang butuh keseriusan dan seni tersendiri, hmmm...semakin tidak sempat saja ^_^.

Kasihan dan malu juga kepada teman-teman yang masih suka sesekali menengok halaman-halaman blogku. Terlebih para yunior yang dulu sering kuprovokasi untuk menulis dan menulis. Sebab, isi blogku, sejak berbulan-bulan lalu, ya itu-itu melulu. Tak ada tulisan baru yang segar, apalagi bermutu. Kalaupun ada yang berbeda dari blogku, paling-paling hanyalah sedikit perubahan setting-annya, yang kadang masih sempat kulakukan agar aku sendiri tidak jenuh melihat penampilan blogku yang begitu-begitu saja :-).


14 Mei 2009

Catatan Kecil tentang Alit


ALIT (dalam bahasa Jawa artinya kecil), begitulah teman-temannya sewaktu masih duduk di SMP Negeri 1 Yogyakarta, acap memanggil. 

Nama lengkapnya I Gusti Ngurah Alit. Ia memang keturunan Bali. Ayah Alit bekerja menjadi guru di kota Yogyakarta. Sedangkan ibunya, seingatku, hanya menjadi ibu rumah tangga biasa. Maka, karena harus hidup mengikuti ayah dan ibunya, jadilah Alit kecil bersekolah di salah satu SMP terfavorit di kota Yogyakarta ini. Di sekolah inilah aku bertemu dengan Alit dan kemudian menjadi sahabatnya, untuk waktu yang lama.

10 Mei 2009

Kembali ke Senayan, Kembali Menulis...


KAMPANYE yang amat menyita waktu, tenaga, dan pikiran, telah membuat diriku nyaris tak punya waktu untuk bisa sejenak berselancar di dunia maya.

Apalagi sinyal indosatm2 pun tak optimal di daerah Sragen, Karanganyar, dan Wonogiri. Tiga kabupaten ini daerah pemilihanku (Jawa Tengah IV) sebagai caleg pusat (DPR RI) dalam pemilu 9 April 2009.

30 November 2008

Mungkin Tuhan Pun Bingung Menolong...



KETIKA pertama kali mengetahui saya "terpilih" menempati posisi ke-7 sebagai caleg DPR RI dari PDI Perjuangan, saya sempat menertawakan diri saya sendiri. Ungkapan yang saya pilih, dan saya katakan kepada sesama teman staf ahli di DPR, bisa jadi sangat sarkastis: Mungkin Tuhan pun bingung bagaimana harus menolong diri saya sebagai caleg....

16 November 2008

Seorang Ibu yang Shalat di Pematang Sawah



SIANG ITU (Sabtu, 15 Nov 2008), saya tengah mencoba sepeda motor yang akan saya pakai mendampingi bos saya, anggota DPR RI Aria Bima, yang melakukan kunker (kunjungan kerja) di Solo, Sukoharjo, Klaten, Boyolali, dan seputarnya. Ketika itu saya melewati kawasan industri di Desa Purwosuman, Kecamatan Sidoharjo, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah.

Pada saat inilah saya menjumpai seorang ibu tengah duduk di pematang sawah, di bawah terik matahari sekitar pukul satu siang. Awalnya saya kira ibu itu sedang mencari rumput atau, maaf, buang hajat dengan sembarangan. Tapi ketika motor saya berada di jalan aspal bergelombang, tepat di belakang posisi duduknya, tiba-tiba badan saya merinding. Subhanallah (Maha Suci Allah), ibu itu rupanya sedang sembahyang...


Karena tertarik dengan pemandangan unik yang baru pertama kali saya lihat tadi, sepeda motor pun otomatis saya pelankan larinya. Hati saya makin terharu ketika mengetahui ibu itu melakukan shalat khusyuk dengan cara yang amat bersahaja. 


Bayangkan, ibu itu shalat di atas pematang sawah, dengan sajadah selembar karung plastik mirip karung bekas wadah pupuk petani. Ia sembahyang tidak mengenakan mukena putih sebagaimana lazimnya muslimah shalat, akan tetapi hanya berkebaya dan bagian bawah tubuh dililit kain batik --seperti busana sehari-hari ibu saya dan para perempuan Jawa lainnya yang sudah sepuh di desa-desa. Kepala ibu itu ditutup secarik kain berwarna biru, yang betul-betul hanya selembar kain, namun memerankan fungsi menjadi semacam kerudung atau jilbab.

Beberapa ekor kambing jawa berbulu cokelat semu hitam asyik merumput di dekat ibu salehah tadi. Seorang ibu marhaen yang salehah, tepatnya. Saya tak sempat berhenti dan bertanya kepada ibu itu. Tapi saya yakin, kambing-kambing ini adalah hewan yang tengah digembalakan ibu tadi. Sebab setahu saya, bukan kebiasaan orang-orang desa di sekitar rumah saya untuk membiarkan kambingnya pergi merumput tanpa didampingi pemilik atau tukang penggembalanya. (Sehari kemudian, tatkala saya melewati jalan yang sama, ternyata saya bertemu ibu itu lagi, yang memang seorang penggembala kambing).
 

Melihat pemandangan itu, imajinasi saya pun secara refleks membayangkan kehidupan para Nabi utusan Allah. Bukankah Ibrahim, Musa, Isa, atau Muhammad, juga seorang penggembala kambing? Kenapa Allah menyukai mengirim Nabi yang berprofesi sebagai penggembala kambing? Benak saya bertanya sendiri. 

Mungkin karena Nabi tugas utamanya menggembalakan manusia, maka menjadi penggembala kambing adalah salah satu proses magang para calon Nabi untuk bisa menjadi penggembala manusia yang baik. Ini jawab saya sendiri. Mungkin terkait logika itu pula, dalam khazanah agama Katolik, seorang pastor acap disebut sebagai penggembala, sedangkan jamaahnya menjadi gembalaannya.
 

Saya kemudian tersenyum sendiri. Sebab saya jadi ingat, suatu ketika --sewaktu saya masih sempat sesekali mengajar murid-murid TPA (Taman Pendidikan Al Quran) di masjid di rumah saya-- saya pernah membesarkan hati beberapa murid TPA yang mengisi waktu luang sepulang sekolah untuk membantu orangtuanya menggembalakan kambing. Ketika itu kebetulan saya kehabisan bahan untuk mengisi materi pelajaran TPA.
 

Saya katakan kepada anak-anak TPA itu, "Dalam agama Islam itu tidak dikenal pembedaan antara jenis pekerjaan kasar atau pekerjaan halus. Pekerjaan yang bergengsi atau tidak bergengsi. Yang ada adalah pekerjaan halal atau pekerjaan haram. Menggembala kambing adalah sebuah pekerjaan yang halal. Jadi kalian jangan malu menjadi penggembala kambing. Sebab Nabi kita pun seorang penggembala kambing. Saya sendiri ketika masih SD juga menggembalakan kambing seperti kalian."

Merasa Malu Sendiri
 

Sepulang pertemuan tak sengaja dengan ibu yang shalat di tengah sawah itu, benak saya terus terngiang-ngiang peristiwa yang saya anggap istimewa ini. Mengingat momen itu, saya menjadi merasa malu sendiri. Mungkin perjumpaan saya dengan ibu tadi sudah diatur Allah sedemikian rupa. Yakni, sebagai sarana Allah untuk mendidik saya agar lebih taat dan istiqamah (konsisten) menjalankan shalat lima waktu tepat pada waktunya. Sebab betapa sering ritme kehidupan yang sibuk, juga pekerjaan yang tambah padat, di Jakarta belakangan ini membuat saya acap menjamak shalat secara "semau gue".
 

Artinya, hanya karena alasan duniawi yang sepele, seperti kedatangan tamu atau tengah menyelesaikan tugas kantor, saya sudah memiliki alasan untuk menggabungkan dua shalat yang berlainan waktu menjadi satu waktu sekaligus. Perjalanan pulang dari kantor di Senayan (Jakarta) ke rumah di Bintaro (Tangerang), yang hanya perlu saya tempuh naik KRL sekitar setengah jam, pun bisa saya pakai sebagai alasan untuk mengkategorikan diri saya sebagai musafir :-). Alasan yang, sadar atau tidak, saya buat semata-mata supaya saya bisa menjamak shalat lagi. (Padahal, ibu penggembala tadi, jika mau, lebih memiliki alasan untuk menjamak shalat zuhurnya dengan shalat ashar ketika pulang ke rumah seusai menggembalakan 4 ekor kambingnya. Tapi toh, pilihan ini tak dilakukannya. Sebab ia lebih memilih shalat tepat pada waktunya, di mana pun ia berada).
 

Ya Allah, ampunilah hambamu yang sembrono ini...Betapa tidak bermutunya diri ini dibandingkan dengan ibu penggembala tadi; ibu bersahaja yang tidak menjadikan segala keterbatasannya sebagai alasan menunda-nunda shalat kepada-Mu. Ibu yang tidak memanipulasi segala kekurangannya, segala kemiskinannya, untuk menjustifikasi ketidaktaatan kepada-Mu. Seorang ibu yang dengan segala ujian kekurangan dan kemiskinannya masih mampu senantiasa bersujud syukur kepada-Mu. Sementara aku yang secara pendidikan dan materi lebih Engkau manjakan, betapa seringnya bersikap kufur kepada-Mu...[] Sragen, 16 November 2008.

09 November 2008

Menyoal Nama Tim Pembela Muslim


SEBAGAI Muslim, sudah sejak lama sebetulnya saya merasa sangat terganggu dengan nama Tim Pembela Muslim (TPM), yang dipakai para pengacara pelaku pemboman Bali I, Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudera. Namun baru kali ini, sehari usai jenazah ketiga terhukum mati itu masuk liang lahat, saya sempat menuliskan kerisauan hati ini.