14 Mei 2009

Catatan Kecil tentang Alit


ALIT (dalam bahasa Jawa artinya kecil), begitulah teman-temannya sewaktu masih duduk di SMP Negeri 1 Yogyakarta, acap memanggil. 

Nama lengkapnya I Gusti Ngurah Alit. Ia memang keturunan Bali. Ayah Alit bekerja menjadi guru di kota Yogyakarta. Sedangkan ibunya, seingatku, hanya menjadi ibu rumah tangga biasa. Maka, karena harus hidup mengikuti ayah dan ibunya, jadilah Alit kecil bersekolah di salah satu SMP terfavorit di kota Yogyakarta ini. Di sekolah inilah aku bertemu dengan Alit dan kemudian menjadi sahabatnya, untuk waktu yang lama.

Mungkin karena kedekatanku dengan Alit bila tiap kali kenanganku terbang ke masa remaja di SMP 1 Yogya dulu, hampir pasti aku takkan pernah melewatkan kenangan akan persahabatanku yang unik tapi tulus dengan Alit. Kebetulan kami sama-sama bergabung (lebih tepatnya membentuk) regu Pramuka bernama cukup antik: Scorpions, dengan lambang kalajengking. Baik tulisan maupun lambang regu kami mirip simbol grup musik Scorpions dari Jerman. Waktu itu kebetulan grup band ini tengah mengharubirukan belantika musik Indonesia. Ibaratnya nyaris tiap malam radio anak-anak muda memutar lagu-lagunya --yang rata-rata masuk aliran slow-rock yang melankolis itu.Lagu-lagu grup band Scorpions seperti menjadi lagu kebangsaan bagi regu pramuka kami. Sementara aku sendiri hampir hapal luar kepala sebagian besar lagu-lagu kelompok musik ini.

Di regu Pramuka kami ini, Alit satu-satunya anggota regu yang beragama Hindu. Di luar Alit, sekitar 6 atau 7 orang, kami semua memeluk agama Islam. Walaupun begitu, ketika itu kami semua menyayangi Alit. Perbedaan agama tidak menjadi kendala kami dalam menjalin persahabatan dan persaudaraan. Malahan, ketika kami salat berjamaah, si Alit atas kemauannya sendiri kadang-kadang ikut nimbrung salat dengan memakai kain sarung pula. Tetapi karena tidak tahu bacaan doa salat yang tengah diikutinya, tak jarang keikutsertaannya malah kami nilai mengganggu. Sebab sebentar-sebentar ia rajin bertanya: ini bacaannya apa nih? Tentu saja, kami yang beragama Islam menahan tawa. Kenapa? Karena jika kami menjawab pertanyaan Alit, tentu saja salat kami menjadi tidak khusyuk bahkan dianggap batal. Tetapi kami tidak pernah memarahinya karena keingintahuannya itu.

Di antara semua anggota regu Scorpions, boleh dibilang akulah kala itu yang paling dekat persahabatannya dengan Alit. Di luar urusan Pramuka, biasanya kami acap jajan bareng di kantin sekolah, ngobrol di tepi jalan, atau aku bertandang ke rumahnya di seputar kawasan Jalan Urip Sumoharjo alias Jalan Solo, kota Yogyakarta. Begitu pula buatku, Alitlah yang kuanggap sahabatku paling dekat. Terus terang, aku merasa nyaman berteman dengan Alit waktu itu, antara lain karena aku menyukai karakternya yang santun dan tidak pernah menakaliku. Maklum, karena badanku yang relatif kerempeng dibanding teman-teman SMP-ku, semasa remaja ini aku rentan mengalami tindak pelecehan dan kekerasan oleh teman-teman yang lebih gede badannya. Alit ini, meski badannya lebih besar dariku, namun ia kurasakan hampir selalu mengayomiku dan tak pernah memperlakukanku secara tak wajar.

Sikap bersahabat dari Alit kepadaku ini amat besar artinya buatku. Sebab, waktu itu aku sudah hidup berjauhan dari orangtuaku yang mukim di kampung halamanku di Sragen, Jawa Tengah, sekitar 90 kilometer dari Yogya. Meski aku di Yogya tinggal ikut keluarga mbakku, namun bagaimanapun juga perasaan kurang kasih sayang itu tetap saja kurasakan. Kehangatan sikap dari sahabat-sahabatku seperti Alit inilah yang kiranya mampu menutupi kerinduan akan kasih sayang orangtua sendiri.

Sayangnya, begitu lulus SMP dan kami melanjutkan ke bangku SMA, aku nyaris tidak pernah bertemu lagi dengan Alit. Kesibukan di sekolah masing-masing dan keasyikan dengan teman-teman baru di SMA rupanya membuat kami tidak sempat lagi saling berkomunikasi. Terlebih waktu itu sekolahku di SMA Muhammadiyah I Yogyakarta memiliki tradisi tersendiri, yang berbeda dengan sekolah-sekolah menengah lainnya. Yakni di SMA-ku ini hari libur mingguannya jatuh pada hari Jumat. Sementara pada hari Minggu, kami tetap berangkat dan belajar sehari penuh di sekolah. Alhasil, hari libur kami pun berbeda dengan SMA-SMA lainnya, dan inilah salah satu faktor yang membuat aku sulit meluangkan waktu untuk bertemu dengan sahabat-sahabat terbaik dari era SMP. Walaupun aku tahu di mana alamat rumah tinggal Alit, entahlah setelah lulus SMP --aku sendiri belakangan juga heran-- seingatku, aku hampir tak pernah bertandang lagi ke rumah sahabat terbaikku ini.

Seingatku, aku terakhir bertemu I Gusti Ngurah Alit saat aku baru saja lulus SMP dan bersiap-siap mencari sekolah lanjutan di tingkat SMA. Pada waktu itu bertepatan dengan malam hari libur Nyepi, yang merupakan hari raya utama umat Hindu Bali. Karena Alit memeluk Hindu, maka pada malam hari Nyepi itu aku bertamu ke rumahnya. Maksudku hendak mengucapkan selamat hari raya Nyepi.

Eh, dasar bodohnya aku kala itu, aku tidak tahu bahwa pada hari raya Nyepi tersebut para pemeluk Hindu Bali tidak boleh keluar rumah atau beraktivitas sehari-hari, apalagi ngobrol dengan tamu di teras, hehe. Untunglah, waktu itu Ibunda Alit bersedia keluar rumah menemuiku. Beliau kemudian menjelaskan dengan bijak kepadaku bahwa pada hari raya Nyepi, umat Hindu tidak boleh keluar rumah, menyalakan api, atau pendeknya beraktivitas sebagaimana lazimnya.

Akan tetapi, beliau juga mengatakan terima kasih sekali bahwa aku sudah bersedia datang dan menyampaikan ucapan selamat Nyepi. Tentu saja Alit sendiri saat itu tidak ikut nongol di pintu. Barangkali dia sedang bersemedi di dalam rumah. Yang jelas, inilah persentuhan terakhirku dengan Alit: mengucapkan selamat Nyepi dan hanya bertemu Ibundanya.

Bertahun-tahun setelah itu, aku tak pernah mendengar kabar Alit. Melanjutkan SMA ke mana, lantas kuliah di mana, aku sama sekali tidak tahu. Komunikasi dengan teman-teman baikku se-SMP dulu nyaris putus. Apalagi teman-teman baruku di SMA Muhi (julukan akrab SMA Muhammadiyah I Yogyakarta) sebagian besar adalah anak-anak perantau dari luar Yogya, bahkan juga luar Jawa, terutama dari kepulauan Sumatera. Maka, makin lengkaplah aku kehilangan jejak sahabatku Alit.

Tetapi, alhamdulillah, setelah belasan tahun terputus komunikasi, tanpa sengaja tahun ini aku bisa terkoneksi silaturahim kembali dengan Alit. Aku bahagia sekali begitu mengetahui sahabatku itu sekarang sudah mapan hidupnya, sudah menikah, dan sudah pula dikaruniai anak yang cantik. Meskipun aku sendiri masih cukup kacau balau hidupku...(haha, tapi tak apa, ini sudah menjadi konsekuensi dari sebuah pilihan. Jalan hidup yang kutempuh, kusadari sejak awal, memang takkan terlalu mudah. Bakal banyak onak, duri, atau minimal berbatu).

Tidak disangka, aku berjumpa kembali dengan Alit, setelah kami sama-sama menjadi aktivis facebooker (www.facebook.com) --yang mampu menautkan kembali jejaring pertemanan lama melalui dunia maya. Dan ternyata hidup Alit pun sebetulnya juga tak jauh-jauh dari hidupku. Alit tinggal di Jakarta Timur, sedangkan aku di Jakarta Selatan. Kami cuma dipisahkan kemacetan dan keruwetan Jakarta. Haha. Tunggu Alit, kapan-kapan kita segera bertemu. Tapi, sik wait a minute, aku tak buru-buru cari isteri sik, ben aku tidak terlalu malu di depan anak-istrimu hehe...[]. Bintaro, 14 Mei 2009, 04.12 WIB. Special gift for I Gusti Ngurah Alit, my best friend.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

terimakasih sudah mengcoment blog saya :)
maju terus..