Tampilkan postingan dengan label soekarno. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label soekarno. Tampilkan semua postingan

25 Mei 2010

Nasionalisme yang Menyelamatkan Negeri


MENYUSUL klaim sepihak negara jiran Malaysia atas sejumlah warisan budaya Indonesia, belakangan marak gerakan “nasionalisme gaul” di kalangan anak-anak muda dan selebritas. Gerakan itu intinya berisi ajakan untuk lebih mencintai Tanah Air dan budaya Indonesia khususnya. Lalu, seiring implementasi perjanjian perdagangan bebas China-ASEAN (ACFTA) pada awal 2010 ini, yang diprediksi mengancam produksi dalam negeri, gerakan ini akhirnya mengkampanyekan pula seruan untuk mencintai produk-produk dalam negeri dengan tajuk: 100 persen Indonesia.

Gerakan yang antara lain dikomandani oleh Panji Pragiwaksono –seorang presenter dan penyanyi rap yang populer di kalangan anak muda ini— tidak salah, bahkan sangat patut didukung. Terlebih fenomena globalisasi yang mulai muncul sejak dua dasawarsa terakhir telah menginisiasi budaya Barat, Amerika khususnya, menjadi budaya global yang seolah wajib menjadi kiblat anak-anak muda di seluruh pelosok dunia. Walhasil, nyaris seluruh kaum muda –apalagi yang mukim di kota-kota besar– merasa lebih nyaman menampilkan dirinya sebagai representasi kultur Barat yang seragam: makanan siap saji, celana jins, musik pop, dan seterusnya. Mereka yang masih berani mencoba bertahan dengan identitas khas kebudayaannya dianggap “jadul”, kuno, atau minimal merasa tidak cukup percaya diri untuk mengekspresikan dirinya.

Tak ayal lagi, seperti dikatakan ulama terkemuka dari Timur Tengah, Syaikh Yusuf Qardhawi, globalisasi yang mestinya bermakna kian saling interdependennya bangsa-bangsa dan lancarnya saluran komunikasi dan transportasi global, menjadi disalahpahami sekadar sebagai proses Westernisasi (pembaratan) atau bahkan Amerikanisasi. Dalam konteks inilah, selain ancaman klaim-klaim negeri tetangga atas budaya kita tadi, gerakan untuk kembali mengapresiasi budaya sendiri memiliki letak pentingnya.