Tampilkan postingan dengan label bung karno. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bung karno. Tampilkan semua postingan

25 Mei 2010

Nasionalisme yang Menyelamatkan Negeri


MENYUSUL klaim sepihak negara jiran Malaysia atas sejumlah warisan budaya Indonesia, belakangan marak gerakan “nasionalisme gaul” di kalangan anak-anak muda dan selebritas. Gerakan itu intinya berisi ajakan untuk lebih mencintai Tanah Air dan budaya Indonesia khususnya. Lalu, seiring implementasi perjanjian perdagangan bebas China-ASEAN (ACFTA) pada awal 2010 ini, yang diprediksi mengancam produksi dalam negeri, gerakan ini akhirnya mengkampanyekan pula seruan untuk mencintai produk-produk dalam negeri dengan tajuk: 100 persen Indonesia.

Gerakan yang antara lain dikomandani oleh Panji Pragiwaksono –seorang presenter dan penyanyi rap yang populer di kalangan anak muda ini— tidak salah, bahkan sangat patut didukung. Terlebih fenomena globalisasi yang mulai muncul sejak dua dasawarsa terakhir telah menginisiasi budaya Barat, Amerika khususnya, menjadi budaya global yang seolah wajib menjadi kiblat anak-anak muda di seluruh pelosok dunia. Walhasil, nyaris seluruh kaum muda –apalagi yang mukim di kota-kota besar– merasa lebih nyaman menampilkan dirinya sebagai representasi kultur Barat yang seragam: makanan siap saji, celana jins, musik pop, dan seterusnya. Mereka yang masih berani mencoba bertahan dengan identitas khas kebudayaannya dianggap “jadul”, kuno, atau minimal merasa tidak cukup percaya diri untuk mengekspresikan dirinya.

Tak ayal lagi, seperti dikatakan ulama terkemuka dari Timur Tengah, Syaikh Yusuf Qardhawi, globalisasi yang mestinya bermakna kian saling interdependennya bangsa-bangsa dan lancarnya saluran komunikasi dan transportasi global, menjadi disalahpahami sekadar sebagai proses Westernisasi (pembaratan) atau bahkan Amerikanisasi. Dalam konteks inilah, selain ancaman klaim-klaim negeri tetangga atas budaya kita tadi, gerakan untuk kembali mengapresiasi budaya sendiri memiliki letak pentingnya.

19 April 2010

Potret Bung Karno di Atas Bus Jepang

Jakarta, Kamis siang, 15 April 2010. Seperti biasanya, hawa di dalam buskota non-AC di Jakarta hari itu sumuk, sumpek. Ibarat kita sudah mengalami “global warming” sejak puluhan tahun lalu. Membuat kita merasa ingin marah melulu atau buru-buru mudik ke kampung halaman yang sejuk dan tenang. Tak mengherankan jika rambut pria-pria muda Jakarta, termasuk diriku tentunya, rajin mengalami pendewasaan dini alias mulai beruban di sana-sini, menerima terpaan kehidupan begini sehari-hari.

Aku sendiri sejak berhenti dari praktek menjadi wartawan sebetulnya sudah agak lama tidak menaiki buskota begini. Tetapi, karena permintaan tolong seorang teman, hari itu aku terpaksa kembali menemaninya naik buskota menuju Bekasi. Ada sedikit urusan yang harus diselesaikan di sana.

Karena tidak ada pekerjaan sambilan, sembari berdiri di dalam badan buskota, kuperhatikan bus yang kunaiki itu ada banyak tulisan Jepang di sana-sini. Berhuruf kanji tentu saja. Kemudian temanku menjelaskan bahwa buskota itu memang bus bekas, hibah dari “saudara tua” kita pemerintah Jepang. Kata temanku lagi tadi, bus itu merupakan hasil upaya lobi mantan Menhub Hatta Rajasa kepada pemerintah Jepang. Aku belum bisa mengkonfirmasi kebenaran informasi ini. Akan tetapi, faktanya, seperti rangkaian gerbong KRL di Jakarta, buskota yang kunaiki ini memang bus bekas dari Jepang.

Aku lantas berkata kepada temanku tadi, Arsun –seorang asisten pribadi anggota DPR RI, Ganjar Pranowo— bahwa seandainya Bung Karno masih hidup dan menjadi presiden, aku yakin dia tidak akan membiarkan ibukota Republik ini dikotori dengan buskota bekas dari Jepang. Sebab Bung Karno merupakan sosok pemimpin yang pada masanya sangat mementingkan harga diri atau kehormatan bangsa, alias istilah kerennya: “national-pride” (kebanggaan nasional). Tentu saja sebagai bangsa dengan jumlah penduduk terbesar ketiga di dunia, kita tidak akan bisa merasa bangga melihat ibukota negaranya dihiasi dengan sampah-sampah otomotif “made in Jepang” seperti itu.

Tiba-tiba saja Arsun terbahak-bahak. Ia menunjuk gambar Bung Karno dengan ukuran satu kali setengah meter yang tertampang di belakang tempat duduk sopir buskota itu. Dengan gagahnya Bung Karno yang berpeci hitam dan berpakaian necis menunjukkan jemarinya ke arah penumpang. Ia menebarkan aroma heroik dan spirit kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Sungguh kontras dengan kenyataan pahit buskota yang kunaiki, sebuah buskota bekas rakyat penjajah kita.