08 Agustus 2010

Pelajaran Pertama Calon Penulis

APA yang perlu dilakukan pertama kali agar bisa menjadi pengarang atau penulis yang bagus? Jika pertanyaan ini ditujukan kepada saya, maka jawaban saya sangat jelas: membaca.

Mungkin sebagian Anda akan memprotes saya. Bagaimana mungkin, orang mau belajar menulis, kok malah diminta membaca? Tapi, memang, begitulah yang juga diresepkan oleh banyak pengarang atau penulis besar. Setidaknya, para penulis yang saya baca buku-bukunya.

Membaca memberi kesempatan kepada otak kita menyerap berbagai informasi berharga. Sejak penguasaan kosa kata dan tata bahasa yang bersifat teknis kepenulisan, hingga materi-materi pengetahuan umum yang lebih substansial sifatnya.

Ibarat baterai, membaca adalah fase awal untuk men-charge daya dukung otak kita. Dengan membaca, secara sadar ataupun tidak, kita melakukan proses input atau fooding untuk mengoptimalkan potensi kecerdasan kita. Otak yang cerdas saja, tanpa pernah diberi pasokan informasi yang memadai, ibarat mobil canggih yang tidak pernah diisi bahan bakar sehingga tak bisa melaju juga.

Belajar menulis ibarat anak kecil belajar berbicara. Sebelum bisa bicara, balita melihat dan mendengarkan dulu orang berbicara. Begitu pula jika kita ingin bisa mengarang atau menulis, perlu melihat dan membaca lebih dulu apa yang telah ditulis orang lain.
Buku Apa Saja

Bacalah buku apa saja. Boleh buku-buku fiksi, boleh juga nonfiksi. Yang penting buku itu kita sukai. Sehingga bisa mendorong minat baca kita lebih besar lagi. Bukankah menurut teori quantum learning, belajar dengan fun itu lebih mudah dan berdaya guna? Tak percaya? Coba saja Anda membaca sambil marah-marah, hahaha.

Setelah kita mencoba membiasakan diri membaca, maka akan terkumpul pengetahuan baru di dalam benak kita. Dengan kata lain, terjadi proses akumulasi informasi. Informasi yang terus bertambah ini, nantinya akan membuat otak kita aktif bekerja, aktif berpikir, dan terlatih bersikap kritis dan responsif.

Otak yang aktif dan kritis akan membuat kita selalu bertanya atau ingin tahu. Rasa ingin tahu, atau curiosity ini, selanjutnya akan mendorong kita untuk mencari jawaban lebih lanjut.

Dengan kata lain, rasa ingin tahu mengkondisikan kita untuk semakin rajin membaca. Tatkala rasa ingin tahu telah menjadi bahan bakar yang menggerakkan minat baca, pada saat inilah membaca sudah berkembang menjadi kebutuhan kita.

Sama-sama aktivitas membaca, namun akan beda rasanya ketika kita melakukannya karena kewajiban atau lantaran kita memang merasa membutuhkan.

Sewaktu kita membaca karena diwajibkan oleh guru atau orangtua, maka sedikit banyak ada unsur terpaksa yang kita rasakan. Motivasinya pun masih tergantung dorongan pihak luar.

Sebaliknya, ketika kita membaca karena merasa membutuhkan, ada motivasi internal dari dalam diri sendiri yang memacu aktivitas membaca itu. Sehingga rasa terpaksa ketika melakukan kegiatan membaca pun lebih dapat dieliminasi.

Setelah membaca menjadi kebutuhan dan rutin kita lakukan, percayalah, dengan sendirinya kita akan dapat menata minat baca agar lebih fokus. Maksudnya, dengan semakin lama melakukan kebiasaan membaca, kita akhirnya akan meninggalkan kebiasaan "membaca apa saja".

Selanjutnya kita akan dapat memusatkan minat baca pribadi sesuai minat khusus atau kebutuhan diri sendiri. Fokus ini penting, sebagai konsekuensi terbatasnya waktu, tenaga, pikiran, maupun anggaran seseorang. Jadi, mau tak mau, kita harus mampu memilah dan memilih: bahan-bahan apa yang akan kita baca.

Akibat keterbatasan kita sebagai manusia, tidak memungkinkan bagi setiap orang untuk sanggup membaca semua terbitan, entah berupa koran, majalah, jurnal, maupun buku-buku. Untuk itulah, membaca pun perlu melakukan spesialisasi, agar memiliki pengetahuan atau kompetensi cukup mendalam ihwal suatu tema tertentu.

Walaupun begitu, bukan berarti kita harus melakukan spesialisasi secara saklek, sepeti kalangan akademisi atau ilmuwan, berdasarkan disiplin ilmu tertentu. Di luar isu utama yang dipilih menjadi pokok perhatian, ada baiknya kita justru membaca pula ilmu atau wacana di luar bidang minat utama, agar wawasan kita luas.

Artinya, selain perlu kompeten ibarat spesialis, membaca buku-buku di luar fokus utama yang disukai, diharapkan justru bisa memperluas wawasan kita menjadi seorang generalis. Jadi spesialis yang generalis, atau generalis yang spesialis.

Intelektual

Dengan menjadi spesialis yang generalis, maka kita juga telah mendidik diri sendiri menjadi seorang intelektual. Salah satu ciri pokok intelektual adalah: selain menguasai bidang utama yang menjadi pusat perhatiannya, juga memiliki pengetahuan yang cukup memadai mengenai masalah-masalah di luar fokus kajiannya.

Jadi, misalnya Anda memiliki minat dalam masalah-masalah politik, diharapkan bakal “nyambung” pula jika diajak berdiskusi mengenai isu-isu lingkungan hidup, pertanian, kedokteran, hukum, dan sebagainya.

Memang, begitulah seharusnya tabiat seorang spesialis generalis atau generalis yang spesialis. Ibaratnya, dia seorang yang serba tahu.

Kapasitas dan kapabalitas sebagai intelektual inilah yang juga menjadi prasyarat utama seorang penulis ideal. Dan, untuk mencapai taraf intelektual tadi, kita tidak harus menjadi seorang lulusan perguruan tinggi. Jadi jangan khawatir: Anda yang bersekolah sampai sekolah menengah atau kuliah tetapi berhenti di tengah jalan, tetap bisa menjadi penulis potensial dan andal.

Alumni perguruan tinggi tidak otomatis merupakan seorang intelektual, meski kebanyakan intelektual memang berpendidikan tinggi atau menjadi akademisi. Almarhum Sudjatmoko, mantan Rektor Universitas PBB di Tokyo, misalnya, bukan lulusan perguruan tinggi, namun keintelektualannya tidak diragukan lagi. Demikian pula mantan Wapres RI, Adam Malik.

Akrabi Perpus

Untuk menjadi kutu buku, atau seorang yang memiliki kebiasaan membaca secara rutin, tidak harus menjadi kolektor buku atau memiliki buku sendiri.

Apabila kita masih mengalami kendala dana untuk dapat membeli sejumlah besar buku, kita dapat memanfaatkan perpustakaan-perpustakaan umum yang bisa diakses secara gratis.

Hampir di setiap kota, ada perpustakaan umum. Baik yang dikelola pemerintah maupun swasta. Kita hanya perlu melakukan registrasi dan mematuhi tata tertib peminjaman buku, agar bisa meminjam koleksi kepustakaan yang dibutuhkan.

Kita juga bisa memanfaatkan perpustakaan-perpustakaan khusus. Ini biasanya dikelola lembaga-lembaga negara yang khusus maupun pusat-pusat studi di perguruan tinggi, juga pusat-pusat kebudayaan asing. Perpustakaan jenis ini, meski acap menerapkan aturan lebih ketat, biasanya juga membuka kesempatan kepada masyarakat luas untuk bisa memanfaatkan koleksinya.

Saya sendiri misalnya, sekadar ilustrasi, semasa kuliah biasa melahap buku-buku sastra di Perpustakaan Daerah Provinsi Yogyakarta, Pusat Studi Kebudayaan Prof. Dr. Umar Kayam di UGM, dan Pusat Kebudayaan Indonesia-Belanda (Karta Pustaka) di Yogyakarta.

Sementara untuk buku-buku tentang agama Islam saya meminjam di Perpustakaan Islam Yogyakarta dan Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta.

Untuk membaca beragam koran dan majalah, saya memanfaatkan fasilitas Perpustakaan Pusat UGM. Sedangkan untuk kajian-kajian gender, saya biasa nongkrong di Perpustakaan Pusat Studi Wanita UGM.

Di masing-masing kota tentu tersedia pelbagai perpustakaan yang bisa dieksplorasi sendiri-sendiri. Seperti di Bogor, misalnya, ada Perpustakaan Botani yang menyimpan khazanah tentang ilmu tumbuh-tumbuhan.

Jadi, tidak ada alasan untuk mengatakan tidak bisa membaca karena tidak sanggup membeli buku atau bahan bacaan lainnya. Yang lebih kita butuhkan adalah: bagaimana meneguhkan tekad untuk membaca dan kreatif dalam menyiasati keadaan.

So, pada era merdeka ini, jangan pernah menjadikan keadaan sebagai alasan untuk tidak membaca. Malu dong sama Bung Hatta. Pada zaman penjajahan Belanda saja, Pahlawan Proklamator itu, pernah berwasiat begini: “Buku adalah temanku. Di mana pun aku berada, tidak masalah, selama aku masih bisa membaca buku.” 

Padahal Bung Hatta menuliskan pesannya itu dari dalam Penjara Boven Digul, Papua. [] Jakarta, 4 Juni 2010

Tidak ada komentar: