17 September 2008

Tak Bisa Menikmati Kehidupan Malam Jakarta


MUNGKIN juga perasaan sepi yang acap mendera jiwaku, seperti kutulis di bawah judul Sepi di Metropolitan, karena pada dasarnya aku kurang bisa menikmati kehidupan atau hiburan malam yang banyak bertebaran di metropolitan. Kehidupan dunia gemerlap (apa pula istilahnya ini?) alias dugem, misalnya. Sejak masih mahasiswa pun aku tak minat mengikutinya. 


Pernah sih dulu pas masih kuliah sekali aku dipaksa teman untuk diajak bertandang ke salah satu diskotek di Yogya. Kata temanku itu: biar aku tidak kuper-kuper amat...tapi aku justru 'berfilsafat' ketika duduk di salah satu bangku ruang remang-remang itu. Dalam diamku, di ruang dugem yang hingar bingar ini, aku merenung sendiri: kenapa anak-anak muda ini, bahkan satu dua ada “anak-anak tua” alias bapak-bapak dan ibu-ibu juga, seperti tergila-gila berjoget tanpa makna di lantai dansa? Mengapa jika niatnya pacaran tidak berduaan saja yang romantis di kafe yang nyaman dan tenang, atau sekadar windows shopping dengan pasangan di mal-mal?


Tapi kata temanku, mereka –para penikmat dugem— itu justru kebanyakan bukan pasangan yang tengah pacaran...mereka adalah para pria atau wanita yang datang atau kencan instan sekadar just having fun. Yah, sebagai manusia biasa, aku tidak antikesenangan atau kebahagiaan. Namun buatku, diskotek atau ajang dugem begitu tetap tak layak menjadi sarana having fun, dalam arti yang sehat. Lampu yang bekerjap-kerjap dan musik yang berdentum-dentum secara ekstrem justru membuatku pusing.

Karena itulah, di Jakarta ini –yang kata lagu Mas Guruh Soekarno Putra: jangankan cari surga dunia, neraka dunia pun ada— aku lazim langsung pulang ke rumah seusai kerja. Atau ngabisin waktu dengan membaca koran atau buku, ngobrol ringan, dan tidur di kantor dengan para desainer koran pas aku masih wartawan dulu.
Kuakui, aku telah gagal membawa diriku larut dalam hingar bingar kehidupan malam metropolitan.
Justru, sebaliknya, aku masih saja terjebak romantisme dengan gaya kehidupan malamku yang bersahaja di Yogya dulu: bercengkerama dengan teman sambil makan malam di warung lesehan atau ngobrol dengan sahabat, seraya diskusi apa saja, di warung cowboy atau warung sega kucing –warung penganan serba ada dan murah meriah dengan lampu minyak tanah khas Solo dan Yogya...

Yah, mungkin aku terlalu kuno ya, atau malah katro alias ndeso banget untuk bisa menyesuaikan diri dengan dinamika kehidupan malam Jakarta. Gak apa-apalah...toh kuno bisa juga indah, seperti mebel antik yang kini harganya kian melangit dan terus diburu kolektor surplus duit di ibukota itu. Yang penting happy. Kebahagiaan bagiku letaknya bukan di serba gemerlapan. Kebahagiaan adalah soal hati...hmm jadi teringat syair lagu Iwan Fals, Buku Ini Aku Pinjam nih: “...namun cinta soal hati...”. [] Bintaro Sektor IX, 17 September 2008, 00.55 WIB.

Tidak ada komentar: