17 September 2008

Sepi di Metropolitan


SATU hal yang membuatku acap merasa tak kerasan hidup di Jakarta ialah karena seringnya aku merasa sepi justru di tengah hiruk pikuk kota metropolitan ini. Perasaan itu muncul sejak pertama kali aku bekerja sebagai wartawan di kota ini beberapa tahun lalu, maupun sekarang ini tatkala aku sudah berganti profesi. 

Entahlah, aku nyaris selalu merasa sepi dan sendiri. Perasaan sepi itu kian mencekam justru ketika aku berada di tengah keramaian orang-orang. Di stasiun ketika menunggu kereta, di terminal ketika hendak naik bus, di kantor ketika ada kegiatan yang mengumpulkan banyak orang yang tak kukenal, maupun di dalam angkutan umum yang hampir selalu penuh dengan manusia yang berjubel itu. 

Pada saat seperti itu biasanya aku langsung teringat kalimat dalam novel Kuntowijoyo, Khotbah di Atas Bukit: “....apalah arti sebuah nama...aku hanyalah sebatang pohon di tengah rimba...”



Mungkin benar kata salah satu ponakanku bahwa rasa sepi yang menimpaku ini lantaran aku masih saja terjebak sindrom comfort zone kota Yogyakarta yang relatif lebih ramah orang-orangnya. Lebih nyantai pola kehidupan kesehariannya. Lebih seimbang dalam pengalokasian waktu kehidupan kita: untuk bekerja, belajar, bertetangga, berekreasi, beristirahat. Tidak seperti kota Jakarta yang dari hari ke hari, jam ke jam, menit ke menit, bahkan detik ke detik, cenderung menjajah kehidupan kita dengan kerja dan kerja.

Alhasil, di Jakarta kita sebagai individu hanya mirip sekrup kecil dalam mesin kehidupan yang mekanistis dan materialistis. Nyaris tak ada apa yang disebut keseimbangan hidup. Karena itulah, barangkali, orang-orang yang sangat menghargai prinsip keseimbangan hidup, seperti pemotivasi spiritual terkemuka Gde Prama, memilih menyingkir ke pedesaan di Bali, demi menghindari degradasi kehidupan kita. Sebab situasi keseharian Jakarta memang potensial menjerumuskan kita ke dalam jurang degradasi dan dehumanisasi: kita jadi tak kenal tetangga sebelah rumah, kita tak bisa sering-sering bertemu muka teman yang tak sekantor, kita jadi miskin leissure time untuk keluarga, famili, atau anak dan istri...

Mungkin pendapat berbeda bakal dimunculkan mereka yang sudah bisa menikmati Jakarta sih...Terutama kalangan yang sangat mendewakan pekerjaan atau karier, sehingga seolah-olah pekerjaan atau karier adalah tujuan akhir dari kehidupan kita. Sampai-sampai mereka mengorbankan agenda kehidupan yang lain demi mengejar karier. Tidak menikah sampai tua misalnya. Ini lantaran kehidupan berumah tangga telah dipersepsikan secara keliru sebagai tantangan, hambatan, ancaman, maupun gangguan (T-H-A-G, pinjam istilah kuliah Kewiraan hehe...) terhadap kemajuan karier kita masing-masing.

Ya, buatku: silakan saja jika ada yang berpendapat begitu. Namanya negara demokrasi, orang boleh memiliki pilihan-pilihan atau pendapat-pendapat yang beragam.

Akan tetapi, maaf saja, pandangan itu tak cocok buatku. Meski aku juga belum berumah tangga, namun bukan karena aku menjadi rombongan pengejar karier demikian. Aku belum berumah tangga alasannya sederhana: karena belum laku saja. Hehe. Sudah diobral, didiskon, bahkan dengan edisi cuci gudang pun masih belum ketemu peminat, ya apa boleh buat...just kidding.

Ketika bekerja insya Allah aku akan berusaha profesional dan total. Tapi bukan berarti karier atau pekerjaan adalah segala-galanya. Pekerjaan bagiku –sesuai posisi historisnya— ya sekadar peranti mencari nafkah. Di luar itu, syukur-syukur bernilai ibadah di mata Tuhan dan mengandung pula aspek perjuangan untuk kemanusiaan.
Jadi, dalam konteks ini, bukan manusia atau kita yang dalam posisi subordinat terhadap pekerjaan, tapi pekerjaanlah yang subordinat terhadap diri kita.
Karena itu, meski berusaha selalu profesional, aku memandang pekerjaan ya sebagai aktivitas biasa-biasa saja, sama halnya dengan belajar atau berekreasi. Yang penting kita bekerja dengan sungguh-sungguh dan komitmen penuh. Selebihnya, biarkan semuanya mengalir dengan sendirinya. Panta rei, kata para filsuf.

Aku yakin, Allah telah mendesain pintu rezeki manusia berdasar sunatullah-Nya atau hukum sebab-akibat yang adil. Artinya, siapa pun yang bekerja dengan baik dan penuh dedikasi, dengan sendirinya akan maju kariernya. Masalah ada saja yang bersaing secara tidak fair, bagiku hal itu hanya riak-riak kecil belaka, dan sementara sifatnya. Ibarat koruptor, sebelum ketahuan, memang akan bergelimang harta dan kenikmatan hidup, namun setelah ditangkap KPK ya silakan menghabiskan masa tua dengan kehinaan dan menginap di penjara.

Begitu pula para pekerja yang culas dan main sikut sana-sikut sini, dalam jangka pendek mungkin akan menempati posisi penting, tapi dalam jangka panjang dia akan jatuh secara tak terhormat. Ibaratnya, siapa yang meraih posisi tanpa mengindahkan etika, akhirnya akan jatuh tertimpa tangga...[] Bintaro, Senin 17 September 2008, pukul 00.30 WIB.

Tidak ada komentar: