31 Desember 2009

Tiga Warisan Gus Dur

TATKALA saya masih bekerja sebagai wartawan Harian Umum Republika, pernah sekali saya berkesempatan mengadakan wawancara khusus dengan Gus Dur. Temanya ihwal kaitan Islam dan demokrasi, tema yang tengah hangat saat itu, sekaligus sangat menarik buat saya sendiri.

Kebetulan waktu itu saya membawahi desk politik dan agama, dan jika tak salah ingat, saya tengah meliput acara dialog lintas agama mengenai sumbangan agama bagi proses demokratisasi di Indonesia. Di sela acara inilah saya berhasil mencuri kesempatan mewawancarai Gus Dur.

Dalam wawancara itu, Gus Dur alias KH Abdurrahman Wahid antara lain mengatakan bahwa Islam sangat erat kaitannya dengan demokrasi, sebab impuls atau getaran hati (ajaran) Islam sejatinya adalah impuls demokrasi. Walaupun tidak saya tulis dalam format tanya jawab, namun hasil wawancara ini kemudian dimuat Republika dalam sebuah artikel tunggal yang berisi rangkuman hasil wawancara saya dengan Gus Dur.

Sebagai seorang reporter baru harian yang memposisikan diri sebagai koran Islam ini, sikap saya biasa-biasa saja ketika berhasil mewawancarai dan menuliskan pemikiran Gus Dur itu. Akan tetapi, ternyata, sebagian senior-senior saya menyatakan keheranannya, bagaimana saya yang dari Republika bisa meminta waktu khusus kepada Gus Dur untuk sebuah wawancara.

Walhasil, dari kasus ini saya malah menjadi tahu bahwa hubungan Gus Dur dengan Republika (dalam posisinya sebagai koran milik ICMI kala itu tentunya) tidak begitu sreg (bagus). Ini tentu sebagai dampak sampingan dari sikap Gus Dur yang menolak bergabung dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang dianggapnya bersifat sektarian dan menjadi sarana rezim Orde Baru untuk mengkooptasi para cendekiawan Muslim.

Untunglah, meski saya dibesarkan di sekolah menengah Muhammadiyah, namun sejak kuliah saya sudah akrab dengan gagasan-gagasan Gus Dur yang ketika itu acap dimuat jurnal ilmu-ilmu sosial Prisma dan Ulumul Qur'an. Malah sewaktu mahasiswa ini saya terhitung rajin ke sana kemari memakai kaos oblong bergambar wajah Gus Dur bertulisan "Gus Dur the Next Leader" di bawahnya.

29 Desember 2009

Beratnya Menjadi Anak Muda Indonesia

"Pohon yang tumbuh di atas batu, lebih kuat batangnya." (Ali bin Abi Thalib). 

MASIH tidak mudah bagi anak muda Indonesia yang ingin memperjuangkan masa depannya sendiri sekarang ini. Inilah salah satu dampak terus eksisnya tradisi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang selama 30 tahun lebih dihidupkan oleh rezim Orde Baru. Dan hal ini terus berlangsung hingga hari ini, sepuluh tahun lebih seusai reformasi. 

Anak-anak muda yang telah bersusah payah memeras otak dan membayar mahal untuk bersekolah atau kuliah, masih harus bersusah payah kembali mencari posisinya di tengah masyarakat dan bangsanya. Selembar ijazah sarjana, ditambah pengalaman berorganisasi atau tempaan tradisi intelektual di kampus, plus beragam keahlian teknis lainnya, tidak secara otomatis menempatkan kaum muda sesuai kompetensi keilmuan atau keterampilannya. Sebab tak ada jaminan the right man on the right job, the right man on the right place. Terutama bagi mereka yang muncul dari kalangan rakyat jelata atau keluarga yang biasa saja.

Hanya anak-anak muda yang memiliki latar belakang keluarga terpandang, seperti keluarga pejabat, atau mereka yang kaya raya seperti pengusaha dan konglomerat, yang realitanya bisa menata masa depannya dengan mulus-mulus saja. Mereka yang terkategori keturunan "darah biru" atau the have inilah yang leluasa memilih: akan menjadi apa saja rasanya akan bisa  atau kesampaian. Mau menjadi pengusaha, masuk ke dalam birokrasi, atau menjadi politisi, seolah semuanya dengan mudah terhampar di depan mata.

Sebaliknya, mereka yang lahir dari keluarga bersahaja, rakyat kebanyakan, harus terlunta-lunta, untuk dapat merangsek ke dalam peluang atau posisi yang lebih baik. Tak soal bahwa bekal atau kualifikasi ilmu atau kompetensi teknis mereka ini sejatinya lebih baik dari anak-anak muda papan atas tadi. Kalaupun ada satu dua dari mereka yang berhasil muncul ke pentas nasional dalam usianya yang masih muda, seperti Budiman Sudjatmiko atau Andi Arief, misalnya, sepertinya hanyalah sebuah kecelakaan sejarah belaka. 

Diakui atau tidak, keduanya melesat lebih karena adanya berkah di balik musibah atau blessing in disguise (yakni pernah ditahan atau dibui oleh rezim Orde Baru) yang kemudian mendorong mereka meraih kesempatan yang lebih baik pada usia yang masih muda. Ini bukan berarti mengabaikan potensi atau kualifikasi personal yang dimiliki keduanya. Yang ingin dikatakan di sini ialah: bahwa sistem yang ada belum menjamin akses yang adil dan egaliter bagi semua kaum muda --betapapun ia berkualitas-- untuk bisa menaiki tangga kesuksesan secara wajar. 

27 Desember 2009

Noda di Balik Cinta yang Bertasbih (Resensi)

DARI segi penggarapan materi, novel Ketika Cinta Bertasbih (2) setebal kamus Inggris-Indonesia John M. Echols ini menarik, meski sebatas lanjutan seri novel berjudul sama. 

Menariknya, sebagai karya yang dikategorikan novel Islami, ia berani menyikapi perasaan cinta pranikah sebagai sunnatullah (natural law) alias sesuatu yang wajar dan manusiawi. Ini melawan tren umum sastra Islami versi para pegiat Forum Lingkar Pena (FLP) yang kadang mudah menghakimi rasa cinta pranikah antarsesama aktivis dakwah sebagai “virus merah jambu”.

Saya sangat setuju pesan moral novel ini: bahwa benih rasa cinta sah-sah saja muncul pada fase pranikah asal masih sebatas wajar (secara syar’i atau menurut syariat agama) dan kemudian diwadahi secara halal melalui lembaga pernikahan.

Novel ini mengingatkan pula: untuk menuju keluarga “samara” (sakinah, mawaddah, wa rahmah) itu tidak cukup bermodalkan kesalehan atau kesalehahan pasangan saja. Di luar itu, secara manusiawi ada hal-hal lain seperti perasaan cinta, karakter pasangan, kesiapan ekonomi, dan selera pribadi masing-masing orang terhadap penampilan fisik calon yang juga perlu diperhatikan.

Novel ini juga menggambarkan secara menarik bahwa romantisme antarsesama aktivis dakwah pun bisa rumit bahkan tragis, tidak sesederhana yang lazim digambarkan para murabbi atau murabbiyah (ustad/ustadzah) melalui forum BKKBS atau perjodohan via jalur dakwah.

Bahkan, lebih dari itu, novel ini juga berani menggambarkan secara verbal kelebihan fisik tokoh-tokohnya, misalnya: “Bibirnya yang indah itu bergetar lirih” (Hal. 25). Padahal ini bibir seorang akhwat (aktivis dakwah perempuan) sekaligus putri kyai berpengaruh. Suatu penggambaran yang acap diharamkan para pegiat sastra Islami belakangan ini. Luar biasanya, penulis juga dapat memvisualkan hubungan suami-istri secara santun dan indah sebagai suatu bentuk zikir kepada Allah.

Saya kira, dari sisi ini, penulisnya, Habiburrahman El Shirazy, sangat berhasil menjadikan karya sastranya sebagai sarana da’wah bil qalam (dakwah melalui tulisan) secara humanis, menarik, dan penuh hikmah. Maka tak heran jika buku kedua dwiloginya ini mendapat sambutan luas: hanya dalam sebulan cetak ulang. Ini mengingatkan saya pada keberhasilan metode dakwah kultural, misal melalui wayang dan karawitan, yang pernah dilakukan generasi Walisongo –yang terbukti sukses mengislamkan tanah Jawa khususnya dan Nusantara umumnya.

Pengalaman Menulis di Atas Kereta





TULISAN ini kubuat di atas kereta eksekutif Argodwipangga. Kamis 14 April 2009. Kereta tengah melaju menuju Solo dari arah Jakarta.

Ketika aku mulai menuliskan halaman ini, rangkaian gerbong baru saja melewati Stasiun Purwokerto. Jarum jam menunjukkan sekitar pukul 14 siang. Jadi kira-kira sudah setengah perjalanan, sejak berangkat dari Stasiun Gambir, Jakarta, tepat jam 8 pagi.

Aku sengaja menulis di atas kereta yang tengah berlari kencang ini karena ingin merasakan sensasi tersendiri. Kebetulan gerbong kereta eksekutif menyediakan semacam meja lipat kecil yang disembunyikan di pegangan masing-masing kursi. Meja ini biasa digunakan penumpang sebagai meja makan.

Iseng-iseng kucoba, ternyata ukuran meja lipat ini pas dengan panjang-lebar laptopku yang berlayar 12 inci. Jadi lebih mudah dan nyaman lagi aku menulis, sebab tak harus meletakkan komputer jinjing di atas pangkuan. Konon, kata keponakanku, kerap meletakkan laptop hidup di atas pangkuan dapat menyebabkan kemandulan, akibat kualitas sperma yang tidak bagus diproduksi di bawah temperatur melebihi suhu tubuh.

Oya, setelah kucoba, memang menarik sekali menulis di atas kereta begini. Apalagi jika dimulai ketika kita sudah menempuh sekitar separoh perjalanan seperti ini. Sebab sudah cukup banyak pemandangan beragam yang bisa kita lihat sepanjang kanan-kiri rel kereta api maupun di kejauhan. Dan ini tentu saja menjadi sumber inspirasi tersendiri, yang takkan bakal kita dapatkan andai kita menulis di kamar butut rumah kita atau di ruangan kantor yang formal dan acap bikin suntuk itu.

Lihat saja, ada bapak-bapak dan ibu-ibu petani bersahaja, yang demikian rajin bekerja di sawah-sawah menghijau atau menguning jika mendekati musim panen. Ada serombongan anak-anak muda kampung yang mencari belut di sawah, untuk menambah lauk keluarga tentunya. Ada sekompi burung blekok putih, berkaki jenjang, yang bersijingkat bagai peragawati ramping menapaki hamparan sawah. Dan para pengendara sepeda motor pun nyaris selalu berjubel di perlintasan kereta api, dengan wajah-wajah yang seolah tak sabar perjalanannya terganggu kereta... (yang terakhir ini di Jakarta sih menjadi menu wajib tiap hari, hahaha. Jakarta memang pantas dijuluki ibukota ketidaksabaran!).

Sudah lama aku ingin menulis di atas kereta begini. Karena itu sudah beberapa kali aku bepergian Jakarta-Solo atau sebaliknya dengan memilih kereta eksekutif siang hari. Tetapi selalu saja keinginan menulis itu belum bisa terlaksana, padahal laptop ya hampir selalu menyatu dengan diriku ke mana saja aku pergi.


Ihwal kegagalan menulis di atas kereta tadi, ada bermacam alasan yang bisa dikemukakan. Terkadang kereta kelewat penuh atau ramai dengan celoteh dan hilir mudik anak-anak balita yang mengganggu konsentrasi. Terkadang mood menulis pun hilang lantaran di samping kita bertengger penumpang lain yang sangat hobi ngobrol, sehingga diriku pun selalu gagal menghentikan nafsunya untuk berbicara itu. Mau tak mau aku kan harus menjadi mitra ngobrol-nya.

Tapi aku tidak putus asa. Kali ini kupilih lagi kereta yang berangkat pagi hari. Kenapa hayo? Lha kalau perjalanannya malam hari, panorama apa yang bisa dipertontonkan dari balik jendela kereta? Kecuali kerlap-kerlip lampu sendu di perkampungan penduduk atau kegelapan semata? Hitam, hitam, dan hitam, seperti wajah birokrasi dan dunia hukum kita yang tak pernah bersih dari noda hitam suap-menyuap dan skandal korupsi.


Makanya, aturan pertama jika kita ingin menulis dengan penuh warna di atas kereta, pilihlah kereta yang budal pagi atau siang hari. Yang kedua, sebisa mungkin naiklah kereta eksekutif. Sebab hanya kereta jenis ini yang menyediakan fasilitas pendingin ruangan.

Tanpa bekerja di ruang ber-AC, laptop kita bakal cenderung lebih boros energi. Sementara di atas kereta, batere laptop kita jika low-bat tidak bisa segera disetrum ulang. Jadi wajib hemat setrum.

Padahal rata-rata laptop hanya mampu menyediakan kapasitas batere yang berdurasi tiga atau empat jam-an. Repot kan apabila kita tengah semangat-semangatnya menulis tiba-tiba laptop drop dan tidak bisa dipakai lagi? (Catatan: perkembangan terakhir, beberapa kereta eksekutif, seperti Argodwipangga dan Argowilis, sudah dilengkapi colokan listrik di dinding dekat masing-masing penumpang, sehingga laptop bisa hidup sepanjang perjalanan).

Di kereta eksekutif juga tidak akan ada ‘gangguan-gangguan’ kecil seperti pengamen atau pengasong yang hirukpikuk. Memang, dalam taraf tertentu, ramainya suasana gerbong kereta oleh teriakan-teriakan khas pengamen dan atau pedagang bisa menjadi inspirasi tersendiri untuk menulis. Namun jika kita sedang tidak ingin menulis kehirukpikukan itu, percayalah, para pedagang dan pengamen yang bengak-bengok semau-gue itu bakal lebih sering mengganggu kenyamanan kita menulis daripada sebaliknya.

Apalagi sering terjadi, satu dua di antara pengamen atau pedagang itu gemar memaksakan kehendaknya kepada para penumpang, bahkan sering dilengkapi dengan rayuan-rayuan yang mengancam... wah, jadi ingat judul film Doa yang Mengancam nih.

Yang tak kalah penting adalah perasaan aman. Bagi Anda yang belum pernah menjadi wartawan, bisa jadi akan terlalu ngeri jika harus mengeluarkan laptop mahal di tengah sumpeg, kotor, dan berjejal-jejalnya penumpang kereta kelas ekonomi.

Kecuali itu, bisa terjadi, bukannya sukses menulis, bisa-bisa pula malah waktu Anda cuma habis untuk menjelaskan apa itu laptop, untuk memuaskan rasa ingin tahu para penumpang kereta ekonomi yang rata-rata masih gaptek dan karena itu suka gumunan itu.


Kisah Arswendo

Merasakan pengalaman menulis di atas kereta begini mengingatkanku kepada cerita Bang Arswendo Atmowiloto (mantan pemimpin redaksi Tabloid Monitor yang pernah merasakan menulis dalam penjara juga, hehe).

Dalam salah satu bukunya, Mengarang itu Gampang atau Mengarang Novel itu Gampang –pokoknya salah satu di antara 2 buku ini— Bang Wendo berkisah bahwa jika ia suntuk dan macet menulis, itu artinya ia harus mengadakan perjalanan tanpa tujuan dengan naik kereta api. Tanpa tujuan itu maksudnya ya pokoknya sekadar bepergian saja, misalnya ke Yogya, sesampai di Yogya langsung balik Jakarta ya tak apa-apa. Sebab yang terpenting adalah bepergiannya, bukan kota tujuan bepergian kita.

Nah, kembali pada kisah Bang Wendo, biasanya sepulang dari keluyuran naik kereta api begini dia langsung lancar menulis lagi. Kenapa bisa begitu? Ya seperti kusebut di bagian awal tulisan tadi, karena selama perjalanan ini kita bisa mendapatkan input atau inspirasi dari bermacam hal yang sempat kita lihat atau renungkan.


Nah, terkait dengan aspek renungan --jikapun kita gagal mengais pemandangan kanan-kiri sebagai pemicu inspirasi— kita bisa memanfaatkan waktu perjalanan yang relatif panjang untuk berpikir secara tenang: refleksi dan kontemplasi. Kita bisa berpikir secara kreatif pula, karena terbebas dari rutinitas dan formalitas tugas sehari-hari di kantor.

Mengingat sifat perjalanan kereta yang relatif lebih lama ini, maka pengalaman menulis di atas kereta ini akan sulit jika misalnya harus digantikan dengan moda transportasi udara. Perjalanan dengan pesawat terlalu singkat untuk bisa kita gunakan sebagai ajang pengembaraan pikiran dan imajinasi. Jadi ingat pesan fisikawan peraih nobel, Albert Einstein: Imagination is more important than knowledge...(komentar teman yang sirik: halah padune bodo wae ndadak etok-etoke membela Eisntein yang imajinatif, hehe).

Kereta api juga lebih minim goncangan ketimbang moda transportasi darat lainnya. Bayangkan Anda menulis dengan laptop di atas bus. Tak mustahil laptop kita bisa pecah berantakan karena terbanting ke lantai. Karena itu, pilihan untuk menulis di atas kereta api ini juga agak repot jika digantikan dengan alternatif menulis dalam perjalanan dengan kendaraan bus. Tidak percaya, coba saja. Apalagi jika gaya lari busnya mirip metromini Jakarta. Wah, bisa-bisa laptop kita terbang mengenai kepala orang. Dan, sudah gagal menulis, malah akhirnya kita masih harus berantem dengan orang yang benjol kepalanya gara-gara terkena lemparan laptop.

Makanya, kalau mau menulis sembari dalam perjalanan, naik saja kereta api... Naik kereta api tut,tut,tut, siapa hendak turut...[] Kereta Argodwipangga Jakarta-Solo, 14 April 2009; 15.14 WIB.

Persahabatan Unik Blasius, Tia, dan Saya

BLASIUS nama baptisnya. Tapi siapa nama lengkapnya, sampai sekarang saya belum tahu persis. Padahal kami sudah bersahabat sejak bertahun-tahun lalu. Saya terbiasa memanggilnya Bles atau Si Bles saja. Jarang memanggilnya Blasius, apalagi nama lengkapnya yang tentu lebih panjang lagi.

Saya mengenal Bles pertama kali tatkala ia masih mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Yogya. Saat itu, ia masih pula menyandang gelar calon pastur. Saya mengenal Bles karena ia berteman akrab dengan Tia atau Yuning, aktivis Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO), yang adik kandung sahabat saya, Wahyudi Marhaen.

Awal mengetahui pertemanan Bles dan Tia, saya sempat heran. Karena dua anak muda ini berasal dari latar belakang yang berbeda tadi. Yang satu calon pastur, satu lagi muslimah berjilbab, aktivis organisasi mahasiswa Islam yang dikenal militan pada masanya. Sementara saya sendiri, selain pernah aktif di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), kala itu adalah mantan aktivis HMI Dipo yang secara organisatoris menjadi rival HMI MPO.

Kedua anak muda itu acap bertandang ke kos saya di Yogya. Sering pula kami menyusun acara jalan-jalan bersama, berburu durian sembari menunggu waktu buka bersama pada bulan Ramadhan, misalnya. Bles dan Tia berboncengan, sementara saya naik motor berdua dengan teman satu kos, Arief Sudrajat. Arief ini cenderung seorang humanis, yang baik kepada semua orang, tanpa mempersoalkan perbedaan latar belakang mereka.

Walhasil, dengan segala perbedaan yang ada, kami berempat bisa menjadi sahabat dekat, untuk masa yang lama. Saking akrabnya, jika Tia memasak sesuatu yang enak, ia seringkali mengundang Bles, saya, dan Arief untuk bertandang ke kosnya dan bersama-sama menikmati masakannya. Maklum jika Tia pintar memasak, sebab ia kuliah di Jurusan Tata Boga IKIP Yogyakarta (kini Universitas Negeri Yogyakarta atau UNY).

Bahkan dalam wilayah agama pun, karena akrab dan saling menghormati, kami dan Bles biasa saling bertukar kisah ihwal tradisi atau keyakinan agama masing-masing, tanpa tendensi untuk mengintervensi. Malah kami bisa menikmati "jokes" atau guyonan yang melibatkan interaksi antaragama, kisah saling olok antara kyai dan pastur misalnya, tanpa salah satu pihak harus merasa tersinggung. Biasanya kami malah tertawa bersama dibuatnya. Boleh jadi seperti Gus Dur yang acap menikmati banyolan di tengah pendeta dan pastur itu.

25 Desember 2009

Surat kepada Ibu

Oleh:
Jarot Doso Purwanto 

IBU, surat ini kutulis dengan air mata, karena aku tak lagi kuasa membeli sebotol tinta. Harga-harga sudah demikian menggila, tapi aku tak hendak minta jatah kiriman uang kepada Ibu. Biarlah kucoba zuhud: hidup sekadarnya, bahagia sebesarnya. Bukankah tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Makanlah hanya ketika lapar dan berhentilah makan sebelum kenyang”, Ibu?

Apalagi aku tahu, hidup Ibu sendiri di desa pasti juga tidak mudah. Terlebih hanya Ibu yang harus bekerja mengumpulkan rezeki pemberian Allah subhanahu wa ta’ala. Almarhum Ayah sendiri –maklum cuma pegawai negeri rendahan— tak bisa mewariskan materi cukup berarti. Hanya warisan semangat untuk terus bergiat menuntut ilmu bagi anak-anaknya dan warisan agama –dua warisan yang amat berharga— yang beliau tinggalkan kepada kita.

Tapi Ibu, agama yang menguatkan kita di saat futur (kehilangan gairah hidup), agama yang menjadikan hidup kita lebih bermakna itu, kini hendak digunakan oleh sebagian umatnya untuk membelenggumu pula (istilah mereka: memuliakanmu). Membelenggumu, sebab –atas nama agama itu— sebentar lagi kau tak boleh keluar rumah di malam hari guna mengais rezeki. Engkau tak boleh bepergian selepas pukul sepuluh malam bila tidak didampingi mahram-mu.

Padahal siapa lagi mahram atau keluarga dekatmu yang masih ada, Ibu? Saudara-saudara kandungmu hidup berjauhan di luar batas desa atau malah sudah meninggal lebih dulu. Sedangkan kami, aku dan adikku yang masih sekolah, serta kakak-kakakku, hidup nun jauh di kabupaten bahkan provinsi yang berbeda. Lalu, siapa Ibu, yang hendak mendampingimu pergi berjualan sayuran itu? Kakak-kakak tak mungkin, karena mereka hidupnya juga sulit, pun punya rumah tangga sendiri dan anak-anak yang mesti diurusi.

Sementara andai aku atau adik perempuanku mandeg sekolah demi mengawalmu malam-malam –naik sepeda belasan kilometer memboncengkan seonggok besar sayur— pergi ke pasar, pasti keputusan kami itu justru membuatmu merasa pilu. Membuat Ibu merasa tak punya arti lagi untuk meneruskan perjuangan hidup ini.

Sebab, di hari tuamu ini, aku tahu, kamilah justru sumber gairah hidup Ibu. Yang Ibu inginkan hanyalah suksesnya sekolah kami; agar kami tak perlu mengulang kerja Ibu mengambil sayur dari kampung-kampung di pagi dan sore hari dan menjualnya kembali pada dini hari di tengah pasar di kota; supaya kami bisa menjadi anak yang lebih saleh dan salehah ketimbang Ibu dan Ayah dulu.

20 Desember 2009

Lupa Blog Gara-gara Facebook....

TIAP KALI muncul fenomena baru selalu ada plus minusnya. Itu sudah pasti. Demikian pula dengan kemunculan Facebook (FB).

Sebagai penikmat layanan jejaring sosial ini sejak cukup awal, semula aku agak sulit mengajak teman-teman migrasi dari situs Friendster yang kurang user friendly ke FB. Namun belakangan ini, tatkala popularitas Facebook makin menggila, seiring promosi gencar dari para operator telepon seluler, aku malah kewalahan meladeni orang-orang baru yang minta ditambahkan sebagai teman.


Aktivitas di jejaring Facebook-ku pun semakin hari kian ramai, dan sudah bisa diduga: akhirnya cukup menyita alokasi waktu dan perhatianku. Dampak positifnya, memang aku bisa terhubung lagi dengan teman-teman lama, bisa lebih banyak pula teman-teman baru. Akan tetapi, lantaran keasyikan mengurusi Facebook, akibat negatifnya alokasi waktu dan perhatian untuk menulis di blog pun menjadi terkurangi. Walhasil, blog pun menjadi terbengkalai.


Rutinitas memang membunuh kreativitas. Itu dalil lama yang kuyakini, dan kini rasanya menghajarku dengan serius. Rutinitas mengelola Facebook, yang seperti pekerjaan iseng dan sepele itu, tak terasa semakin menjauhkan diriku dari ide-ide kreatif untuk menulis di blog. Apalagi menulis artikel di media massa,  yang butuh keseriusan dan seni tersendiri, hmmm...semakin tidak sempat saja ^_^.

Kasihan dan malu juga kepada teman-teman yang masih suka sesekali menengok halaman-halaman blogku. Terlebih para yunior yang dulu sering kuprovokasi untuk menulis dan menulis. Sebab, isi blogku, sejak berbulan-bulan lalu, ya itu-itu melulu. Tak ada tulisan baru yang segar, apalagi bermutu. Kalaupun ada yang berbeda dari blogku, paling-paling hanyalah sedikit perubahan setting-annya, yang kadang masih sempat kulakukan agar aku sendiri tidak jenuh melihat penampilan blogku yang begitu-begitu saja :-).