18 September 2008

Dari Mana Kita Hendak Memulai?



WHAT is to be done? Demikian kata Lenin dalam salah satu judul tulisannya. Apa yang harus kita kerjakan? Ya, kata-kata Lenin, mantan pemimpin komunis Uni Soviet, itu tiba-tiba saja berkelebat di kepala saya ketika suatu malam, tepatnya suatu dini hari, saya tak bisa juga tidur, dan akhirnya malah memaksa diri mengawali tulisan ini. Saya sendiri bukanlah pengagum Lenin. Akan tetapi judul tulisannya, yang simpel namun provokatif itu, menjadi mudah teringat oleh benak saya. 


Terus terang, pemicu awal tulisan ini ialah pertanyaan sambil lalu salah satu keponakan saya, Afan: Dari mana kita harus memulai membenahi negeri ini?


Mungkin lantaran pekerjaan saya saat ini sebagai staf ahli salah satu politisi di Dewan Perwakilan Rakyat, keponakan saya beranggapan saya cukup mengerti untuk menjawab pertanyaannya. Padahal saya sendiri juga pusing tujuh keliling jika harus menjawab pertanyaan itu. Pertanyaannya sekilas memang tampak sederhana, tapi sungguh tidak mudah untuk menjawabnya. Maka, jawab saya spontan ketika itu ialah: andaikata saya tahu jawabannya, maka persoalannya menjadi lebih sederhana.


Tapi masalahnya, kata saya melanjutkan, saya sendiri juga bingung ketika harus memberi rekomendasi dari mana harus memulai membenahi situasi carut marut negeri ini. Menurut saya, banyak orang tak mustahil menjawab pertanyaan tersebut serupa dengan jawaban yang saya berikan. Masalahnya, bukan karena kita terlalu bodoh, melainkan karena betapa bertumpuk-tumpuknya persoalan yang harus dihadapi bangsa ini. Bahkan, bisa jadi, nyaris setiap aspek kehidupan di negeri kita sepertinya memang tengah mengandung masalah.


Makanya, sekarang saya menjadi mengerti betapa beratnya posisi wakil rakyat kita. Di sini saya bukan bermaksud membela atasan saya. Tapi, memang, demikianlah yang saya rasakan sehari-hari setelah saya berinteraksi dengan mereka. Terutama mereka yang betul-betul menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat. Sebab tak sedikit anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang lebih sering raib dari gedung parlemen dan entah beraktivitas di mana, sehingga ruangan kantornya di Senayan pun lebih kerap terkunci rapat daripada terbuka dan berpenghuni.




Berempati pada Politisi

Seringkali, sebagaimana kita baca di media cetak, dikesankan enak betul menjadi politisi di Dewan Perwakilan Rakyat kita. Gaji plus tunjangan besar, kabarnya bisa mencapai 50-an juta rupiah per bulan. Hidup nyaman, dengan sekretaris yang digaji negara, fasilitas rumah dinas, dan kerjanya ringan: hanya membuat undang-undang yang drafnya lebih sering disiapkan pemerintah. Sesekali, mungkin supaya irama kerja tidak monoton, mereka mengkritik atau jika perlu mengancam memakzulkan pemerintah melalui interpelasi atau angket.

Akan tetapi, kenyataannya tidak sesederhana itu. Dari pengamatan saya sehari-hari sebagai mantan wartawan, pekerjaan politisi di negeri ini sebetulnya sangat melelahkan. Utamanya bagi mereka yang betul-betul menghayati pekerjaannya.


Bayangkan. Ketika hendak berlaga dalam Pemilu, mereka mesti menyiapkan dana ratusan juta atau bahkan milyaran untuk menopang biaya kampanye dan seputarnya. Setelah terpilih, karena seringnya dikabarkan bergaji gede, sejak pagi-pagi dan hampir tiap hari, ada saja tamu yang minta sumbangan, tiket untuk pulang ke kampung halaman, atau mengajukan proposal rencana kegiatan dengan penutup minta dana pula tentunya. Dan, saya amati, kian rajin anggota parlemen ngantor, tampaknya makin sering ia harus merogoh sakunya untuk berbagi duit semacam ini.


Peminta-mintanya bukan saja dari kalangan kader atau simpatisan partai sang politisi. Kadang mereka seperti dari negeri antah berantah dan sepertinya asal saja memasukkan permintaan sumbangan. Bagaimana tidak? Karena peminta sumbangan tak jarang berasal dari kelompok yang menjadi lawan ideologis politisi itu. Atau dari latar belakang yang tidak match alias tidak nyambung.


Sebelum pergi ke kantor, sesaat setelah azan Subuh, tak jarang politisi sudah ditodong permintaan wawancara via telepon oleh stasiun radio yang tengah mengadakan siaran langsung. Berangkat dari rumah jam tujuh, lalu terjebak kemacetan di jalanan Ibukota sekitar dua jam dan mulai bekerja di Gedung Parlemen sekitar pukul sembilan pagi. Selesai sidang rata-rata menjelang magrib dan seusai magrib tak jarang harus mengisi acara di sejumlah kampus atau talkshow yang disiarkan secara live di televisi. Selesai aktivitas sudah menjelang tengah malam atau terkadang nyaris dini hari jika ditambah ada lobi-lobi politik atau even-even politik khusus.


Maka, kadang saya berpikir: jika saya yang menjadi staf dan rata-rata mulai kerja jam sembilan pagi serta kelar pas azan magrib saja badan rasanya tak karuan, bagaimana para politisi sibuk itu punya stamina begitu luar biasa. “Militansi, semangat, itulah yang membuat kita merasa kuat,” jawab Mbah Diro, seorang penasihat spiritual anggota DPR, suatu ketika, kepada saya. Namun, saya masih berpikir: jam terbang saya sebagai aktivis mahasiswa sudah belasan tahun dan tak kurang militansinya. Tapi toh badan ini rasanya masih remuk redam juga bekerja dengan irama yang demikian hampir tanpa koma atau titik koma sepanjang hari.


Menurut saya masih beruntung para menteri. Karena mereka punya banyak staf ahli atau staf birokrasi. Para politisi Dewan Perwakilan Rakyat ini hanya punya staf ahli di level fraksi yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Sementara staf ahli pribadi, yang juga amat mereka butuhkan, harus direkrut sendiri dan dibayar dari kocek pribadi. (Baru mulai bulan Juni 2008 ini ada staf ahli tiap anggota DPR yang diangkat secara resmi dan digaji dari APBN. Sementara saya sendiri telah memulai menjadi staf ahli sekitar satu setengah tahun, jauh sebelum ada pengangkatan staf ahli anggota DPR yang resmi oleh Sekretariat Jenderal DPR).


Padahal seorang politisi Dewan Perwakilan Rakyat yang bekerja benar-benar nyaris mustahil bisa bekerja baik tanpa dibantu staf ahli. Sebab hampir tak tersisa waktu lagi baginya untuk dapat mengikuti pemberitaan media cetak, mengekplorasi beragam informasi di Internet, mengikuti wacana-wacana baru yang ditawarkan buku-buku atau jurnal, dan sebagainya. Juga hampir mustahil bagi seorang politisi untuk pada waktu bersamaan berada di dua tempat yang berbeda guna menghadiri acara yang sama-sama penting. Di sinilah staf ahli memiliki peran yang strategis.


Namun, ironisnya, tuntutan bagi adanya satu orang staf ahli untuk tiap anggota DPR RI ini pun untuk waktu cukup lama sempat menggantung atau terkatung-katung. Justru laptop –yang ide awalnya sebagai sarana kerja bagi para staf ahli ini— yang lalu meledak menjadi pemberitaan koran dan lagi-lagi menyudutkan posisi para politisi di Dewan Perwakilan Rakyat. [] Bintaro, Juni 2008.

Tidak ada komentar: