27 September 2008

Nikmatnya Ramadhan di Kampung


SUBHANALLAH, melewati bulan Ramadhan di kampung sungguh nikmat. Apalagi setelah sekian lama kita terjerembab di tengah keruwetan, kemacetan, dan kesibukan sebuah metropolitan seperti Jakarta.




Maka aku sungguh bersyukur, Ramadhan 2008 ini bisa pulang kampung menjelang 10 hari terakhir bulan suci ini. Jika orang-orang kota memerlukan iktikaf (berdiam diri) di masjid-masjid pada sepekan terakhir menjelang Lebaran, maka kampung bagiku ibarat masjid tempat iktikaf. Di sinilah aku bisa merasakan suasana Ramadhan yang bersahaja namun penuh makna.

Kampung kami, di pinggiran kota Sragen, sekitar 25-an kilometer sebelah timur Solo, punya tradisi Ramadhan yang terhitung unik. Jika biasanya kampung sepi sunyi, pada bulan puasa kampung tiba-tiba menjadi hidup. Orang-orang kampung yang sebagian besar merantau ke Ibukota atau ke luar Jawa, satu demi satu muncul lagi di kampung kami begitu puasa dimulai. Mereka sengaja mudik, bukan saja karena ingin merayakan Idul Fitri yang masih lama, tapi lebih karena ingin menjalankan ibadah puasa di kampung halaman.

Ada perbedaan kemeriahan Ramadhan di kampung kami dengan Ramadhan di perkotaan. Di kampungku sekitar seminggu atau dua minggu menjelang bulan Ramadhan, anak-anak muda aktivis Remaja Islam Masjid (Risma) dengan inisiatif sendiri mulai membentuk susunan panitia Ramadhan yang terdiri kalangan muda semua. Orang-orang tua cukup kami persilakan rajin beribadah dan siap dilayani saja :). Panitia antara lain terdiri petugas pencari dai atau khotib penceramah tarawih, petugas jlaburan (snack tarawih), dan petugas pengumpul infak dan zakat.

Khotib tarawih perlu dicari sampai ke desa atau kecamatan sekitar karena desa kami yang kecil dan mayoritas warganya Muslim santri “pendatang baru” (maksudnya, banyak yang sebelumnya Islam abangan atau minimalis) belum mampu menyediakan semua dai yang dibutuhkan. Maka panitia Ramadhan masjid kami harus bersaing dengan masjid lainnya untuk lebih dulu mendapatkan daftar penceramah yang bermutu. Alhamdulillah, untuk urusan berburu ustad atau khotib begini masjid kami terhitung terampil, sehingga seminggu sebelum Ramadhan biasanya kami sudah memiliki daftar khotib tarawih untuk 30 hari penuh. Mungkin salah satu faktor pendorongnya ialah: masjid kami bakal kesulitan memperoleh dai penceramah jika saja kami telat atau keduluan oleh masjid-masjid lainnya :).

Meski secara ritual masjid kami merujuk tradisi Muhammadiyah yang simpel, namun sudah sejak awal kami punya sikap beragama yang inklusif atau membuka diri kepada kelompok Islam lainnya. Karena itu, dalam berburu khotib atau penceramah pun kami tak terlalu pilih-pilih latar belakangnya. Ada khotib yang datang dari kalangan Nahdlatul Ulama, dari Muhammadiyah sendiri, dari Tarbiyah, maupun dari Jamaah Tabligh.

Bagaimana masjid kami tidak pluralis dan inklusif? Ketika melaksanakan shalat tarawih (plus witir) kami tidak ngotot untuk selalu mengikuti praktek ibadah ala Muhammadiyah yang dikenal ber-“mazhab” sebelas rakaat. Jika kami tahu khotib sekaligus imam shalatnya dari Nahdliyyin, kami akan memberi kesempatan kepadanya untuk bisa memimpin shalat tarawih (plus witir) sesuai kebiasaan NU, yakni 23 rakaat. Biasanya salah satu panitia Ramadhan akan naik ke mimbar dan menjelaskan kepada jamaah bahwa ada dua model shalat tarawih. Yakni ala Muhammadiyah dan ala NU. Dan karena malam itu khotib sekaligus imamnya saudara kami dari NU, maka demi menghormati tamu, kami pun shalat tarawih sesuai kebiasaan NU –yakni merujuk teladan sahabat sekaligus khalifah kedua pengganti Nabi SAW: Umar bin Khaththab.

Kepada jamaah, kami jelaskan bahwa pengalaman melakukan tarawih sesuai tradisi NU ini penting agar jika suatu ketika kita tengah bepergian dan harus mengikuti shalat serupa di masjid dengan ciri khas NU –di kota-kota di Jawa Timur, misalnya— kita tidak perlu terkaget-kaget dan bisa mengikutinya dengan baik. Sementara kepada jamaah yang enggan bertarawih dengan jumlah rakaat lebih banyak itu juga kami persilakan. Mereka bisa berhenti ketika rakaat telah mencapai jumlah seperti yang biasa kami lakukan, yakni 8 rakaat, dan melanjutkan shalat witir di rumah masing-masing.

Alhamdulillah, pendekatan inklusif dan pluralis tersebut menjadikan masjid kami tempat titik temu (melting pot) atau semacam masjid silaturahim antarkelompok. Kebetulan secara geografis, posisi masjid kami mendukung keperluan ini. Di sebelah utara perkampungan kami mayoritas masjidnya mengikuti tradisi NU dan di sebelah selatan perkampungan kami kebanyakan menjalankan ritual sesuai keyakinan Muhammadiyah. Sementara di masjid kami, jamaah mendapat keleluasaan memilih di antara keduanya sesuai kemantapan hati masing-masing.

Karena itu tak aneh, masjid kami yang mayoritas jamaahnya menjalankan ritual shalat sesuai anjuran Muhammadiyah, juga enjoy saja melakukan tahlilan atau yasinan yang menjadi tradisi khas NU. Remaja masjid kami pun memiliki satu grup rebana dan shalawatan yang lazimnya merupakan unsur seni budaya komunitas Nahdliyyin. Bahkan ustad yang rutin mendampingi pengajian bapak-bapak dan ibu-ibu sepekan sekali, yakni Bapak Qosim, juga datang dari kalangan NU. Sementara Risma datang dari back ground Jamaah Tarbiyah dan Muhammadiyah.

Suasana bersahabat lintas kelompok Islam yang hadir di masjid kami itu sangat kami syukuri. Itu membuktikan bahwa meski berbeda-beda, asal saja kita mau, sebetulnya untuk hidup rukun itu kita sangat bisa. Ini sekaligus membuktikan kebenaran sabda Nabi bagi kami: bahwa keragaman itu sejatinya adalah rahmat. Asal kita bisa menyikapinya dengan bijak, tentunya.[]

Tidak ada komentar: