09 November 2008

Menyoal Nama Tim Pembela Muslim


SEBAGAI Muslim, sudah sejak lama sebetulnya saya merasa sangat terganggu dengan nama Tim Pembela Muslim (TPM), yang dipakai para pengacara pelaku pemboman Bali I, Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudera. Namun baru kali ini, sehari usai jenazah ketiga terhukum mati itu masuk liang lahat, saya sempat menuliskan kerisauan hati ini.


Terus terang, sebagai Muslim, saya keberatan dengan pemakaian nama TPM tersebut. Sebab nama itu seolah-olah menggambarkan bahwa semua Muslim berdiri di belakang Amrozi dkk. Padahal, justru sebaliknyalah yang terjadi: bahwa mayoritas Muslim (silent majority), termasuk yang mukim di Indonesia, sangat tidak setuju dengan tindakan keji Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudera tersebut.

Pemakaian nama TPM itu secara langsung atau tidak, sama saja hendak membebankan akibat ulah sembrono Amrozi dkk ke seluruh pundak kaum Muslimin. Ini merupakan tindakan yang sangat tidak adil dan tidak proporsional. Sebab, bagaimana bisa, tindakan sadis --yang tidak sesuai nilai-nilai kemanusiaan maupun agama universal-- yang dilakukan segelintir Muslim sesat pikir itu akibatnya harus dipikul seluruh umat Islam? Padahal mayoritas umat Islam sendiri tidak menyetujui bahkan banyak yang diam-diam maupun secara terbuka mengecam perilaku sadistis teroris berjubah agama itu.

Karena itu, lebih tepat jika TPM memakai nama Tim Pembela Muslim Pelaku Bom Bali, atau Tim Pembela Muslim Tersangka Teroris, atau Tim Pembela Amrozi, Mukhlas, Imam Samudera, misalnya. Sudah semestinya jika ketiga terhukum mati itu dengan berani melakukan tindakan terornya membunuh orang-orang yang tak bersalah dan tak bersenjata, bahkan banyak di antaranya kaum perempuan, mereka harusnya berani pula menanggung risikonya sendiri. Tidak perlu bersembunyi atau berlindung di balik nama Muslim yang dicatut oleh tim pengacaranya.

Media massa pun harusnya bersikap kritis mengenai hal ini. Sebab liputan media massa yang berulang kali memberitakan nama Tim Pembela Muslim sebagai tim pengacara Amrozi dkk, sedikit atau banyak ikut menyumbang salah pengertian publik terhadap para pelaku terorisme berlabel Islam. Akibatnya muncul mispersepsi, seolah-olah justru Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samuderalah yang --sebagai seorang Muslim-- telah dizalimi hukum Indonesia. Bukan sebaliknya bahwa ketiganyalah yang telah bertindak zalim dan karena itu sangat layak dihukum mati.

Mestinya, media massa jangan mau begitu saja didikte oleh Amrozi dkk ataupun tim kuasa hukumnya, untuk selalu menyebut tim pembela tersangka tindak pidana terorisme tersebut sebagai tim pembela Muslim. Toh hak penulisan berita dan penyuntingan sepenuhnya berada di tangan media dan orang luar nyaris tak bisa mengintervensi. Jika media massa tidak bersikap kritis, maka lembaran-lembaran media massa atau layar-layar media elektronik tak mustahil justru dimanfaatkan untuk propaganda para teroris tersebut, guna memperdaya opini publik.

Memang, sebagai manusia dan warga negara, ketiga terpidana teroris itu berhak didampingi pengacara atau kuasa hukum, untuk mengurus kepentingannya. Namun bukan berarti hak didampingi pengacara tersebut lantas dipolitisasi sedemikian rupa sehingga seolah-olah seluruh Muslim berdiri di pihak Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudera; seolah-olah hukuman yang ditimpakan kepada ketiganya adalah hukuman atau kezaliman atas seluruh kaum Muslimin.

Politisasi atas kasus terpidana mati Amrozi, Mukhlas,dan Imam Samudera berikutnya sangat kentara. Misalnya munculnya spanduk-spanduk penyambutan yang menyebutkan bahwa mereka syuhada (Muslim yang mati syahid atau pahlawan Islam yang gugur di medan perang), sambutan massa melimpah yang kelihatannya dimobilisasi secara sistematis, dan seruan agar umat Islam melakukan shalat ghaib bagi ketiganya. Jika dibiarkan, politisasi demikian ini bisa menyesatkan pemahaman publik dan membuat sebagian umat Islam menganggap perbuatan biadab Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudera sebagai kebenaran religius. Dan ini sangat berbahaya, bukan saja bagi NKRI dan kerukunan antarumat beragama, melainkan juga bagi upaya dakwah yang benar.

Terus terang, saya sangat menyayangkan tindakan aparat kepolisian, kejaksaan, dan juga media massa yang, sadar atau tidak, begitu mengistimewakan ketiga terpidana mati bom Bali itu. Tidak sedikit wartawan yang terlihat sangat bersahabat dengan ketiganya, bahkan tak sedikit yang minta pose foto bersama. Pada saat liputan menjelang eksekusi pun, media banyak yang menampilkan ketiganya mirip selebriti, sehingga fokus liputan tertuju kepada anak, istri, atau keluarga terpidana. Sedangkan bagaimana akibat ulah ketiga teroris itu kurang tercakup, bagaimana nasib korban pemboman Bali I kurang ditampilkan kembali. Pendeknya, liputan media massa kurang berimbang, kurang cover both-side, dan justru banyak menguntungkan pelaku terorisme.

Sementara polisi dan jaksa terkesan memperlakukan jenazah mereka bak pahlawan. Ini dilengkapi dengan sikap Presiden SBY yang tidak tegas dan tidak tanggap, sehingga cenderung membiarkan masalah Amrozy dkk ini berlarut-larut dan kian menyeleweng dari substansi persoalan yang sebenarnya.

Sebagai presiden, SBY sebetulnya dapat memerintahkan Kapolri dan Jaksa Agung untuk tidak membuat perlakuan khusus bagi Amrozi dkk, baik menjelang, selama, maupun pasca eksekusi mati. Akan tetapi, saya curiga, jangan-jangan perlakuan khusus yang diperlihatkan Polri dan aparat kejaksaan itu justru atas instruksi presiden, secara langsung ataupun tidak langsung. Ini sejalan dengan karakter SBY yang terlihat memang terlalu lembek menghadapi tekanan kelompok-kelompok militan. Karakter yang membuat saya sering gemas. Huhhh...[] Jakarta, 00.49 WIB (10/11/2008).

Tidak ada komentar: