14 September 2008

Menjadi Santri karena Cak Nur




TIGA tahun aku menempuh pendidikan di SMA Muhammadiyah I Yogyakarta. Di sekolah inilah aku berkenalan dengan dasar-dasar pendidikan agama Islam secara luas dan komprehensif. Bahkan sebagian besar materi pelajaran agama Islam itu belum pernah kudengar sama sekali tatkala masih duduk di SD maupun SMP. Maklum, SD dan SMP kutempuh di sekolah negeri dengan jam pelajaran agama yang minim, hanya sekitar 2 jam seminggu. Sementara kegiatan pelajaran agama ekstra, seperti aktivitas unit kerohanian Islam (Rohis), belum dikenal di sekolahku waktu itu.

 

Maka, aku merasa berutang budi sangat banyak kepada sekolah Muhammadiyah yang sangat kucintai ini. Jasa-jasanya untuk memperkenalkanku kepada ajaran Islam secara lebih mendalam dan luas sangatlah besar. Aku yang awalnya hanya anak desa abangan, yang untuk salat wajib lima waktu saja belum lancar, oleh sekolah ini di-up grade menjadi tidak saja bisa menjalankan ritual Islam yang wajib maupun sunah, tapi juga menjadi mengerti dinamika sejarah Islam sejak zaman Nabi hingga gerakan reformasi Islam modern yang antara lain mendorong lahirnya Muhammadiyah.


Dalam seminggu ada sekitar 10 jam pelajaran agama yang diajarkan di sekolah Islam terfavorit di kota Yogya ini. Mata pelajarannya antara lain Tauhid (keimanan), Akhlak (budi pekerti), Al Quran (baca tulis, hafalan, terjemah), Tarikh (sejarah Islam), Fikih (hukum Islam), Bahasa Arab, dan Kemuhammadiyahan. Secara umum nilai agamaku di atas rata-rata, kecuali baca tulis Al Quran dan bahasa Arab yang agak lemah. Dalam pelajaran Kemuhammadiyahan, aku malah meraih nilai ujian akhir 8, jauh meninggalkan teman-temanku yang secara zahir mungkin lebih Muhammadiyah atau mengklaim lebih Muhammadiyah.


Akan tetapi, jujur saja, gemblengan pendidikan agama di sekolah Muhammadiyah yang sangat intensif ini, hingga aku lulus SMA, belum juga mampu mengubah diriku dari seorang Muslim abangan (minimalis) menjadi betul-betul Muslim Santri. Sehari-hari aku tetap tidak menjalankan salat lima waktu secara taat. Salatku paling-paling hanya sesekali saja pas ikut salat berjamaah ketika bertandang ke kos atau rumah teman satu sekolahan. Di luar itu, paling salat Jumat yang cukup rutin kulaksanakan. Puasa Ramadan juga belum kulakukan secara sungguh-sungguh. Bisa jadi lebih banyak bolongnya puasa Ramadanku sewaktu SMA ini dibanding tidaknya. Pokoknya aku sekuler banget, bukan dalam arti netral agama, tapi sama sekali tidak bisa disebut religius atau taat dalam menjalankan agama.


Baru ketika menginjak semester dua kuliahku di Fisipol UGM Yogyakarta, seusai kubaca buku Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang berjudul Islam Kemodernan dan Keindonesiaan terbitan Mizan Bandung, aku merasa betul-betul tertarik kepada ajaran Islam. Sejak saat inilah, pelan tapi pasti aku mengalami proses menjadi lebih religius. Pemaparan tentang Islam dengan cara yang sangat intelektual dan rasional ala Cak Nur dalam buku itu betul-betul menyeretku menjadi pengagum Nurcholish sekaligus lebih santri. Karena itu, aku nyaris selalu menentang kalangan Islam garis keras yang suka menuduh Cak Nur sebagai telah meracuni umat Islam dengan sekulerisme atau melakukan proses de-Islamisasi. Sebab buktinya, aku yang melahap nyaris semua tulisan dan buku-buku Nurcholish Madjid justru bergerak menjadi seorang Muslim yang makin lama makin kaffah (komprehensif)


Perkenalanku dengan gagasan Cak Nur ini kelak ikut berperan dalam membawaku bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), setelah sebelumnya aku sempat “nyantri” di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Bahkan juga masuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) saat aku meneruskan pendidikan pascasarjanaku di Kampus Biru, UGM. Karena itu, selain Bung Karno, Nurcholish Madjid menempati ruang khusus dalam hatiku. Karya tulis skripsi S1-ku secara khusus kupersembahkan untuk Bung Karno dan Nurcholish Madjid, dua guru bangsa terkemuka, yang sekaligus kuanggap sebagai guru politik dan guru intelektualku. []

Tidak ada komentar: