09 Agustus 2010

Menjadi Muslim Tanpa Membenci Non Muslim


[foto:2i2h.multiply.com]


SEJAK saya masih di bangku kuliah, sering terngiang pertanyaan di benak saya: Mungkinkah saya menjadi seorang muslim yang baik atau taat, tanpa harus memusuhi atau membenci kawan-kawan saya yang nonmuslim?

Sebab, dari pengamatan saya ketika mendengarkan ceramah atau khutbah, sebagian ustad justru mengajarkan kebencian atau permusuhan kepada orang-orang di luar agama Islam, padahal kondisi sehari-hari tidak dalam situasi perang.

Jadi, bila merujuk ustad tadi, sepertinya saya hanya mungkin menjadi muslim yang baik jika pada saat bersamaan bisa membangun tembok pembatas yang tegas dengan mereka yang tidak memeluk agama Islam.

Sejalan dengan itu, kenyataan hidup yang saya lihat sehari-hari kadang juga memperlihatkan: bahwa orang-orang Islam yang bisa bergaul akrab dengan kelompok nonmuslim seolah-olah hanya mereka yang justru mengabaikan ajaran agamanya sendiri. Dengan kata lain, bukan seorang muslim yang taat, alias hanya “Islam KTP” saja.

Pertanyaan itu mendorong saya untuk terus mencari tahu. Jika benar untuk menjadi muslim yang baik (taat) harus “bersikap tidak baik” kepada saudara-saudara kita yang nonmuslim, untuk apa Tuhan membiarkan ada banyak agama di luar Islam?

Dengan kekuasaan-Nya, toh Tuhan sebenarnya bisa menciptakan satu agama saja untuk seluruh umat manusia. Dalam keyakinan Islam, jika Tuhan menghendaki, Dia cukup mengatakan “kun fayakun” (apa yang terjadi, maka terjadilah) untuk membuat seluruh manusia menganut agama yang sama.

Seperti yang ditegaskan-Nya pula dalam ayat ini: “Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di muka bumi. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS Al An’am: 35).

Tetapi, mengapa Tuhan tidak mengambil pilihan itu? Lantas, haruskah kita selalu memusuhi apa yang berbeda, di luar diri atau kelompok kita?

Pertanyaan serupa rupanya juga menjadi tanda tanya para pemeluk agama lainnya. Bagi pemeluk Katolik, misalnya, muncul pertanyaan: Mungkinkah menjadi penganut Katolik yang taat tanpa harus membenci mereka yang tidak meyakini iman Katolik.

Pertanyaan umat Katolik tadi di kemudian hari menelorkan apa yang disebut Konsili Vatikan II. Konsili Vatikan II adalah fatwa otoritas Gereja Katolik Roma yang intinya mengajak umat Katolik menghormati “jalan keselamatan lain” di luar agama Katolik. (Lihat Romo JB Banawiratma, SJ “Bersama Saudara-Saudari Beriman Lain, Perspektif Agama Katolik”, dalam buku Dialog: Kritik dan Identitas Agama).

Lalu, bagaimana dengan Islam, agama saya sendiri?

Rahmatan lil ‘alamin
Rasa ingin tahu saya lantas mendorong saya menjadi kutu buku, khususnya buku-buku tentang agama. Alhamdulillah, jerih payah saya membaca buku kemudian membawa saya mengenal konsep Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin –yakni Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta (QS Al Anbiyaa:107).

Jika tak salah ingat, saya pertama kali membaca konsep rahmatan lil alamin dalam buku Satu Islam, Sebuah Dilema, terbitan Mizan, Bandung. Sebuah buku yang sebenarnya lebih membicarakan hubungan internal antara berbagai kelompok di dalam Islam, seperti antara penganut mazhab Suni dan Syiah, atau NU dan Muhammadiyah. Seiring berjalannya waktu, makin banyak buku-buku yang saya baca juga mengupas tema itu.

Dalam konsep rahmatan lil ‘alamin, umat Islam sejatinya mengemban tanggung jawab untuk selalu menjadi rahmat bagi lingkungannya. Walhasil, terhadap pemeluk agama lain pun kehadiran umat Islam seharusnya membawa dampak kebaikan atau bersifat mengayomi. Terlebih jika umat Islam menduduki posisi dominan atau menjadi umat mayoritas di suatu tempat.

Konsep rahmatan lil ‘alamin sejalan dengan ajaran Islam bahwa tidak ada paksaan dalam beragama (laa ikraaha fiddiin, QS Al Baqarah: 256), dan bahwa setiap orang bebas menjalankan agama yang diyakininya (lakum diinukum waliyadin, QS Al Kafirun: 6). Juga bahwa orang Islam tidak memusuhi kelompok lain kecuali mereka memusuhi muslim karena agama (QS Al Mumtahanah: 8).

Pengertian bebas menjalankan agama tentunya juga bermakna bebas mendirikan rumah ibadah atau mengupayakan prasarana yang dibutuhkan untuk mendukung keperluan itu. Ini sesuai ajaran Islam yang melarang umatnya merusak rumah-rumah ibadah agama lain, bahkan dalam kondisi peperangan sekalipun (QS Al Hajj: 40). Sementara frase “tidak memusuhi kecuali dimusuhi” mengandung makna defensif atau sebatas membela diri.

Dalam konteks ini, bisa dipahami jika tidak sedikit umat atau tokoh Islam yang menentang aksi perusakan rumah ibadah agama lain, misalnya gereja-gereja, seperti yang beberapa kali terjadi di Indonesia belakangan ini. Sebab aksi-aksi yang dilakukan sebagian kecil umat Islam tersebut sebetulnya justru menodai ajaran tasamuh (toleran) Islam itu sendiri.

Karena itu, umat agama lain pun harus belajar membedakan antara perilaku segelintir umat Islam –yang sekadar mengatasnamakan Islam— dengan ajaran sejati Islam itu sendiri. Jangan sampai tindakan sebagian kecil umat Islam yang menyimpang menjadi sumbu penyulut konflik horizontal yang tidak perlu.

Terlebih kitab suci umat Islam, Al Quran sendiri, justru secara terbuka mengatakan: “(Engkau Muhammad) akan menemukan, golongan yang paling dekat kasih sayangnya kepada orang-orang beriman adalah mereka yang mengatakan, ‘Kami adalah orang-orang Nasrani’.” (QS Al Maidah 82).

Lomba Berbuat Baik
Ternyata salah satu agenda yang diinginkan Tuhan, di balik desain keragaman agama yang diciptakan-Nya, ialah supaya manusia senantiasa berlomba berbuat baik. Dalam Islam misalnya, umum dipahami nukilan kitab suci yang menjadi slogan Pemuda Muhammadiyah: fastabiqul khairot, yang artinya berlomba-lomba menuju kebaikan.

“Dan bagi tiap-tiap umat memiliki kiblatnya (sendiri), tempat mereka menghadapkan muka kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Al Baqarah :148).

Maka, apa pun agama yang kita anut, tugas universal kita sebagai manusia adalah senantiasa menunaikan kebaikan bagi manusia lainnya. Dalam konteks ini, tepat sekali penggambaran Deddy Mizwar, dalam film atau sinetron dakwah Kiamat Sudah Dekat. Dalam salah satu adegannya, aktor kawakan itu menyatakan bahwa saat kita hendak menolong orang yang kecelakaan di tengah jalan, kita tidak pernah bertanya lebih dulu, apa agama yang dianutnya.

Demikian pula mestinya ketika kita hendak berbuat baik bagi sesama manusia: kita tidak perlu bertanya apa keyakinan atau agamanya. Sebab, jangankan kepada sesama manusia, menolong anjing yang kehausan di tengah jalan pun sudah merupakan amal kebaikan yang sangat terpuji dalam kisah Nabi (HR Bukhari). Padahal anjing dikenal sebagai binatang yang air liurnya dianggap najis oleh para pemeluk Islam.

Terkait lomba berbuat baik ini relevan dikemukakan hadis atau sabda Nabi Muhammad SAW lainnya. Suatu ketika Nabi ditanya oleh para sahabatnya, siapa di antara mereka yang paling baik amalnya. Nabi pun menjawab bahwa orang Islam yang paling baik ialah mereka yang “paling banyak manfaatnya bagi orang lain.” (HR Bukhari).

Dengan kata lain, kesalehan seorang muslim tidak hanya diukur dari segi ketaatannya menjalankan ritual-ritual agama yang baku, melainkan juga dinilai dari sejauhmana ia telah mengisi kehidupannya dengan kebaikan-kebaikan bagi sesama. Artinya, kesalehan vertikal kepada Tuhan harus dibuktikan dengan kesalehan horizontal atau kesalehan sosial, berupa berbuat kebaikan kepada sesama manusia.

Karena itulah, ketika seorang muslim selesai menjalankan shalat lima waktu, selalu saja ditutup dengan ucapan salam, disertai gerakan menengok ke kiri dan ke kanan. Ini mengandung makna simbolik bahwa ketaatan ritual harus diimplementasikan secara nyata berupa kepedulian terhadap sesama, manusia yang hidup di kanan-kiri kita.[]


Keterangan:
*QS: Al Quran Surat
**HR: Hadis Riwayat

2 komentar:

azza mengatakan...

Ahhh! Sangat sejalan dengan perasaan saya sendiri. Saya sering heran dengan ustad & saudara seiman yang hobi "menghakimi" non muslim & kukuh mengedepankan perbedaan. Padahal Islam rahmat bagi semua. Pengen banget semua berhenti bertengkar & mulai berdakwah dengan menjadikan diri sendiri sebagai panutan layaknya Rasulullah :) Dakwah dengan perbuatan yang sebaik-baiknya. Thanks for sharing yaa :)

Anonim mengatakan...

Sepakat....