09 Agustus 2010

Ketika Cinta Tidak Sempurna (#1)




[foto: www.rajacraft.com]
 

kau begitu sempurna
di mataku kau begitu indah
kau membuat diriku
akan selalu memujamu

(Sempurna, Andra and the Backbone)
 
SERING terjadi, tatkala kita ingin memiliki seorang kekasih atau soulmate (pasangan hidup), kita sibuk menyusun serangkaian kriteria yang harus dimiliki calon yang dikehendaki. Sementara kita sendiri, pada saat yang sama, justru menuntut orang yang kita cintai agar bisa menerima diri kita apa adanya, total, tanpa syarat.

Memang begitulah kecenderungan manusia. Sebab, pada dasarnya, setiap orang tampaknya ditakdirkan untuk lebih mencintai dirinya sendiri sebelum dapat mencintai orang lain. Dengan kata lain, kita adalah makhluk egois atau egosentris: makhluk yang selalu mengukur segala sesuatu dari subyektivitas pribadi atau ego sendiri.

Namun, ironisnya, ketika kita sejak dini sibuk menetapkan kriteria yang muluk-muluk atau serba sempurna, seringkali hasil akhirnya justru tidak sempurna, alias hanya menuai kecewa. Mengapa?

Mungkin karena secara psikologis kita telanjur over-estimate, atau terlalu mengharapkan adanya kesempurnaan pada orang yang dicintai, akhirnya kita malah menjadi terlalu sensitif terhadap segala kekurangan atau kelemahannya. Akibatnya, tidak jarang hal-hal sepele atau kecil pun kita besar-besarkan, sehingga menyebabkan percekcokan atau perpisahan.

Sikap kelewat perfeksionis, yang nyaris tidak bisa menoleransi sedikit pun kelemahan pasangan, juga menunjukkan bahwa kita kurang bisa mensyukuri segala kelebihan orang yang kita cintai. Dalam bahasa agama, sikap demikian bisa disebut “kufur nikmat”. Maksudnya, sebuah sikap yang mengingkari segala kenikmatan yang mungkin telah diberikan Tuhan melalui diri orang yang kita cintai.

Lantaran tidak bisa mensyukuri yang ada, kita pun menjadi rajin membanding-bandingkan orang yang kita cintai dengan orang lain. Tentu saja, jika niatnya sudah tidak benar, maka apa yang terlihat pada diri soulmate adalah yang serba minus melulu. Ini lantaran faktor yang mendorong kita untuk mengkomparasikan pasangan dengan orang lain ialah sikap kita yang terlampau terobsesi akan kesempurnaan. Kita tidak pernah mau bersikap qanaah atau merasa puas dengan apa yang telah diberikan Allah.

Karena itu, patut diingat nasihat berharga Pak Amien Rais bagi putrinya yang akan menikah: bahwa ketika kita telah memutuskan untuk menikah, berarti mulai saat itu juga kita harus berhenti membanding-bandingkan. “Pernikahan adalah waktunya untuk berhenti membandingkan,” katanya. Sebab, jika tidak, kita tidak akan pernah bisa menggapai rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah; yaitu rumah tangga yang tenteram dan penuh cinta dan kasih sayang.


Husnudzon

Agama mengajarkan bahwa jika kita pandai mensyukuri nikmat atau apa pun yang telah diberikan Allah kepada kita, maka Allah akan menambah kenikmatan tadi berlipat-lipat. Sebaliknya, Tuhan melaknat orang-orang yang kufur nikmat atau tidak tahu berterima kasih atas segala anugerah yang telah diterimanya selama ini.

Ambil contoh dalam menyikapi musibah. Jika kita tetap bisa berpikir positif tentang rencana Tuhan yang telah mempertemukan kita dengan suatu musibah, tidak jarang di balik musibah tadi justru kita dapat menemukan berkah yang tak ternilai harganya (blessing in disguise).

Begitu pula Allah telah mewanti-wanti umat manusia agar bersabar dan tetap berpikir positif tatkala menjumpai suatu hal yang tidak disukai pada diri soulmate-nya. “Kemudian bila kamu tidak menyukai pasangan hidupmu, (maka bersabarlah) sebab boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An Nisa: 19).

Ayat tadi secara tak langsung juga menasihati agar manusia senantiasa berprasangka baik atau ber-husnudzon kepada Allah. Sebab Allah itu sesuai prasangka kita sendiri terhadap-Nya. Seperti difirmankan Allah melalui sebuah hadis qudsy ini: “Aku (Allah) tergantung persangkaan hamba-Ku.” (HR Bukhari, Muslim, at-Turmudzi, Ibnu Majah).

Artinya, jika persepsi dalam benak atau hati kita terhadap Allah positif, seperti maha pemurah, maha pengasih, maha penyayang, maka respon seperti itulah yang akan kita raih dari Allah. Sebaliknya, jika persepsi kita kepada Allah negatif, misalnya bahwa Allah telah memperlakukan kita tidak adil, Tuhan telah menelantarkan diri kita padahal kita sudah rajin beribadah, dan semacamnya, maka respon yang kita peroleh pun akan negatif, misalnya sulit rezeki, sakit-sakitan, dan sebagainya.

Hal itu bukanlah keajabaiban yang tidak masuk akal, tetapi merupakan hukum sebab-akibat yang logis terjadi. Sebab prasangka kita sebenarnya adalah juga doa. Sedangkan hadis qudsy merupakan sunatullah (ketentuan Tuhan) yang adil. Sementara salah satu sifat Allah adalah Dia takkan melanggar sunatullah-Nya sendiri.

 

Muhasabah

Maka dari itu, daripada sibuk menyusun kriteria ideal apa saja yang wajib dimiliki calon pasangan hidup, lebih positif jika kita melakukan introspeksi atau muhasabah diri. Dengan introspeksi, kita akan bisa menakar sejauhmana dengan kualifikasi yang kita miliki, layak atau tidak untuk mendapatkan pasangan yang diharapkan. Ukurlah diri sendiri secara jujur, toh jawabannya tidak perlu diberitahukan kepada orang lain.

Jika konklusinya nilai diri kita masih penuh angka merah, alias tidak “match” untuk mendapatkan soulmate idaman, berarti saatnyalah kita harus kembali menata kualitas diri. Namun, jika kita malas meng-up grade kualitas pribadi atau sudah mencobanya tapi merasa sudah mentok, solusinya ialah: segera turunkan kriteria soulmate yang diinginkan. Dengan kata lain, carilah calon yang lebih se-kufu (sepadan) dengan modal dasar kita sendiri.

Kemudian, setelah bertemu calon pasangan hidup yang sesuai, cobalah tetap berpikir positif terhadap pasangan kita, dengan mengapresiasi kelebihan-kelebihannya, seraya menerima segala kekurangannya dengan sabar dan ikhlas. Sebab, pada dasarnya manusia memang didesain untuk memiliki kekurangan, selain dibekali sejumlah kelebihan. Hanya para Nabi yang ditetapkan Allah untuk memiliki sifat ma’shum atau terjaga dari kemungkinan berbuat salah dan dosa. Di luar itu, hanya Allah atau Tuhan saja yang Maha Sempurna (QS Yusuf :51).


Dengan memahami bahwa hanya Tuhan yang Sempurna, seharusnya kita juga menyadari bahwa sebagai makhluk ciptaan-Nya kita semua mustahil untuk sempurna. Dan implikasinya, kita mestinya juga berhenti untuk mengharapkan atau mengejar calon pasangan hidup yang serba sempurna

Namun, jika kita masih saja memimpikan calon soulmate yang sempurna – sementara pada saat yang sama kita telah menyadari bahwa kita sendiri pun sebagai sesama manusia tidak mungkin sempurna— maka sama saja kita berperilaku ibarat “pungguk merindukan bulan”, alias hanya menantikan harapan yang sia-sia.

Sementara ihwal perjodohan manusia sendiri, Allah dalam Al Quran sudah menjanjikan bahwa sejatinya lelaki yang baik adalah untuk perempuan yang baik, dan sebaliknya lelaki yang buruk juga bagi perempuan yang buruk (QS An Nuur: 26).

Dengan kata lain, jodoh sebenarnya cenderung menyesuaikan dengan kualitas atau kualifikasi diri kita sendiri. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah populer “jodohmu dari jenismu sendiri” (QS Ar Rum 21).

Dalam konteks ini pula seharusnya kita memahami statemen bahwa jodoh telah ditetapkan sejak dari sono-Nya, atau pernyataan bahwa “jika sudah jodoh takkan kemana.” Artinya, jika kita memang manusia baik-baik, jangan khawatir bakal tak kebagian jatah yang baik, sebaliknya jika kita belum baik jangan berharap akan mendapatkan yang terbaik. [] Jakarta, Ahad 30 Mei 2010.

* Baca tulisan selanjutnya di Ketika Cinta Tidak Sempurna (#2).

2 komentar:

sketsa mengatakan...

Biasanya orang menyusun kriteria yang sebetulnya proyeksi kebutuhan atawa cara dia melihat dirinya sendiri. Jadi sebetulnya, orang ini memang narsistik : cuma hendak mencintai dirinya sendiri. Akhirnya terperangkap dalam imajinasi tentang seseorang yang sempurna...

azza mengatakan...

masih nyambung dengan postinganku http://a22a.blogspot.com/2011/05/i-dont-believe-in-happily-ever-after.html . Ntar sering2 mampir ya Mas? Aku ijin pasang link promosiin blogmu di blogku juga ;) Keep writing!