19 April 2010

Potret Bung Karno di Atas Bus Jepang

Jakarta, Kamis siang, 15 April 2010. Seperti biasanya, hawa di dalam buskota non-AC di Jakarta hari itu sumuk, sumpek. Ibarat kita sudah mengalami “global warming” sejak puluhan tahun lalu. Membuat kita merasa ingin marah melulu atau buru-buru mudik ke kampung halaman yang sejuk dan tenang. Tak mengherankan jika rambut pria-pria muda Jakarta, termasuk diriku tentunya, rajin mengalami pendewasaan dini alias mulai beruban di sana-sini, menerima terpaan kehidupan begini sehari-hari.

Aku sendiri sejak berhenti dari praktek menjadi wartawan sebetulnya sudah agak lama tidak menaiki buskota begini. Tetapi, karena permintaan tolong seorang teman, hari itu aku terpaksa kembali menemaninya naik buskota menuju Bekasi. Ada sedikit urusan yang harus diselesaikan di sana.

Karena tidak ada pekerjaan sambilan, sembari berdiri di dalam badan buskota, kuperhatikan bus yang kunaiki itu ada banyak tulisan Jepang di sana-sini. Berhuruf kanji tentu saja. Kemudian temanku menjelaskan bahwa buskota itu memang bus bekas, hibah dari “saudara tua” kita pemerintah Jepang. Kata temanku lagi tadi, bus itu merupakan hasil upaya lobi mantan Menhub Hatta Rajasa kepada pemerintah Jepang. Aku belum bisa mengkonfirmasi kebenaran informasi ini. Akan tetapi, faktanya, seperti rangkaian gerbong KRL di Jakarta, buskota yang kunaiki ini memang bus bekas dari Jepang.

Aku lantas berkata kepada temanku tadi, Arsun –seorang asisten pribadi anggota DPR RI, Ganjar Pranowo— bahwa seandainya Bung Karno masih hidup dan menjadi presiden, aku yakin dia tidak akan membiarkan ibukota Republik ini dikotori dengan buskota bekas dari Jepang. Sebab Bung Karno merupakan sosok pemimpin yang pada masanya sangat mementingkan harga diri atau kehormatan bangsa, alias istilah kerennya: “national-pride” (kebanggaan nasional). Tentu saja sebagai bangsa dengan jumlah penduduk terbesar ketiga di dunia, kita tidak akan bisa merasa bangga melihat ibukota negaranya dihiasi dengan sampah-sampah otomotif “made in Jepang” seperti itu.

Tiba-tiba saja Arsun terbahak-bahak. Ia menunjuk gambar Bung Karno dengan ukuran satu kali setengah meter yang tertampang di belakang tempat duduk sopir buskota itu. Dengan gagahnya Bung Karno yang berpeci hitam dan berpakaian necis menunjukkan jemarinya ke arah penumpang. Ia menebarkan aroma heroik dan spirit kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Sungguh kontras dengan kenyataan pahit buskota yang kunaiki, sebuah buskota bekas rakyat penjajah kita.

Pada 6 Agustus 1945, Negeri Sakura itu diluluhlantakkan tentara Sekutu dengan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Selang beberapa hari kemudian, pada  17 Agustus 1945, kita merdeka. Dan, beberapa puluh tahun setelah itu, Jepang bangkit kembali menjadi raksasa ekonomi dan teknologi. Sementara kita masih menjadi bangsa pengemis utang dan barang bekas, serta gudang para koruptor yang mencabik-cabik seluruh negeri.

Aku tak habis mengerti dengan pola pikir para penguasa dan birokrat negeri sekarang ini. Di satu sisi, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, getol memerangi masuknya pakaian bekas dari luar negeri –yang menjanjikan pasokan busana murah meriah bagi massa rakyat jelata. Alasan Mari: impor baju bekas bisa menghancurkan atau minimal mengganggu industri pakaian dalam negeri. Oleh karena itulah, aparat pemerintah sibuk merazia bisnis pakaian bekas yang dijalankan rakyat kecil di sana-sini.

Namun sebaliknya, pemerintah membiarkan buskota dan kereta bekas masuk ke Indonesia, tanpa pernah mempertimbangkan alasan yang sama: bahwa hal itu berpotensi menghancurkan atau setidaknya mengganggu industri otomotif dan industri kereta api kita sendiri. Bahkan, Presiden SBY sendiri, beberapa waktu lalu merasa perlu meresmikan penggunaan kereta bekas dari Jepang itu, dengan rute pulang-pergi Tanah Abang di Jakarta Pusat menuju Serpong di Kabupaten Tangerang, Banten.

Aku tidak tahu, apa yang ada di benak SBY sebagai kepala negara, ketika meresmikan pemakaian kereta sampah ini. Masih adakah rasa bangganya sebagai orang nomor satu negeri ini ketika itu? Mengapa untuk peresmian rangkaian kereta bekas saja membutuhkan kehadiran seorang presiden? Mengapa tidak cukup Menteri Perhubungan, Dirjen Perkeretaapian, atau malah Direksi PT Kereta Api? Hmm, seorang pemimpin yang gagal memperlihatkan etos “national-pride” kepada bangsanya.

Sebagai manusia, bagiku Bung Karno tidak lepas dari kekurangan atau kesalahan. Namun satu hal yang sangat aku kagumi pada pahlawan proklamator itu adalah konsistensinya untuk terus memompakan semangat kebanggaan nasional dan kepercayaan diri (self-confidence) yang tinggi kepada rakyat dan bangsanya. Betapapun dulu pada zamannya, proyek-proyek “mercusuar” seperti Tugu Monas atau Hotel Indonesia dikecam sebagian orang, akan tetapi nyatalah bahwa hal itu telah berhasil membangkitkan kebanggaan dan kepercayaan diri sebagai bangsa yang baru saja merdeka. Kekuatan militer Indonesia pun pada masa itu mampu menimbulkan efek meggetarkan bagi para kawan maupun lawan serta negeri tetangga. Bahkan, andaikata tidak keburu dijatuhkan dari singgasana kekuasaannya, tak mustahil Bung Karno ketika itu berhasil membuat sistem pertahanan peluru kendali nuklir yang sangat mengkhawatirkan Australia.

Tidak seperti kondisi sekarang ini. Aparat kita hanya bisa menakut-nakuti dan menyerbu rakyat sendiri, seperti yang acapkali dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja alias Satpol PP atau polisi-polisi lainnya, di mana saja dan kapan saja. Tragedi penyerbuan Satpol PP di Tanjung Priok dan pengusiran warga Cina Benteng, Tangerang, baru-baru ini hanya salah satu puncak gunung esnya. Sementara negara-negara mungil tetangga kita, yang di muka secara hipokrit mengaku sebagai sahabat, sudah sejak lama menginjak-injak harga diri dan kebanggaan kita sebagai bangsa. Singapura menjadi negara persembunyian para koruptor dari negeri ini, sedangkan Malaysia tidak malu-malu mengubah diri menjadi Malingsia yang terang-terangan ataupun diam-diam hendak mencuri kekayaan alam maupun budaya kita. Sudah begitu, Malaysia masih rajin memperlakukan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) secara semena-mena.

Hmm, andaikata Bung Karno tidak keburu dijatuhkan waktu itu, tentu Malingsia sudah terhapus dari peta dunia dan menjadi Provinsi Kalimantan Utara. Kini sebaliknya, negeri yang oleh Bung Karno pernah dijuluki antek Nekolim (neo-kolonialisme dan imperialisme) Barat itu berani bertindak kurang ajar kepada kita, bangsa yang sering secara melankolis kerap mengakuinya sebagai “saudara serumpun”.

Kapan kita memiliki sosok pemimpin seperti Bung Karno kembali? Tentu saja “pemimpin seperti Bung Karno” tidak harus lahir dari trah atau keturunan Bung Karno. Yang dimaksud pemimpin seperti Bung Karno adalah pemimpin negeri yang sanggup membuat anak-anak bangsa ini menegakkan kepala, merasa bangga dan terhormat, sebagai anak negeri bernama Indonesia. Pemimpin yang bisa menjunjung tinggi “national interest” (kepentingan nasional) di atas kepentingan pribadi, kelompok, atau kepentingan negara asing yang menjadi patronnya. Pemimpin yang bisa menjunjung tinggi kebanggaan nasional kita sebagai bangsa.

Sosok pemimpin besar seperti itulah yang dibutuhkan oleh negara besar ini agar betul-betul bisa menjadi Indonesia Raya. Bukan sosok pemimpin yang hanya besar tubuhnya tapi kecil nyalinya dan selalu ragu bertindak seperti sekarang ini, tetapi bisa saja pemimpin yang kecil badannya namun betul-betul besar visinya, sehingga mampu memberikan gagasan yang terkadang melampaui zaman dan kehidupannya sendiri. Seperti Haji Agussalim, Sutan Sjahrir, Hatta, Jenderal Sudirman, atau Natsir…mereka adalah para pemimpin yang dari segi ukuran tubuh biasa-biasa saja –bahkan sebagian bisa disebut mungil— namun bernyali dan bervisi luar biasa.

Aku yakin, jika Bung Karno dan para Bapak Bangsa lainnya itu masih hidup, mereka bakal tidak rela ibukota Republik yang telah diperjuangkan dengan keringat, darah, airmata, dan nyawa ini dihiasi dengan sampah-sampah otomotif dari negeri mantan penjajah kita. Seperti buskota atau kereta api listrik (KRL) tadi. Masih bisa dipahami jika benda-benda bekas itu dimanfaatkan di pedalaman negeri. Namun sama sekali tidak elok, bahkan cenderung merusak pemandangan serta sangat tidak membanggakan, jika dipajang di Ibukota negeri. Namun apa boleh buat, memang itulah salah satu prestasi dari era kepemimpinan SBY selama ini…[]Jakarta, 18 April 2010.





Tidak ada komentar: