01 Januari 2010

Merenungkan "Ritual" Tahun Baru


MENGAPA tiapkali pergantian tahun harus dirayakan dengan perilaku hedonis dan snobis, hura-hura dan sikap berlebihan? Padahal setelah lembar kalender berganti ke tahun yang baru, tidak dengan sendirinya ada yang baru dalam kehidupan kita, apalagi sesuatu yang lebih baik.

Lebih sering terjadi, seusai semalam suntuk merayakan malam tahun baru, kehidupan kita tetap biasa-biasa saja. Yang kaya ya tetap enjoy saja menjalani hidupnya, yang melarat ya tetap saja sekarat dihajar kerasnya kehidupan. 

Jikapun ada yang baru --yang langsung bisa kita jumpai -- setelah merayakan malam tahun baru, ialah kualitas hidup yang kian merosot, meski hanya sesaat: tubuh lelah bahkan lungkrah (pegal-pegal, meriang), jadwal hidup kacau, uang menipis, bahkan masuk rumah sakit akibat terlibat keributan dan atau kecelakaan ketika arak-arakan di jalan. 



Kontemplasi dan Refleksi 
Mengapa kita tidak mencoba "melawan arus" dalam merayakan tahun baru? Bila mayoritas masyarakat merayakannya dengan tumpah ruah ke jalanan atau ruang-ruang hiburan, ada baiknya kita berani menyendiri di tengah hirukpikuk yang amat artifisial itu. 

Sebab dalam kesendirian selalu lebih menjanjikan suasana dialogis dengan diri sendiri: merenungkan segala hal yang telah terjadi pada tahun sebelumnya, dan menggagas serangkaian rencana yang hendak kita gapai pada tahun berikutnya.

Dengan kata lain, kita "merayakan" tahun baru dengan melakukan kontemplasi (tadabur) dan refleksi (tafakur); penghayatan dan perenungan atas rekam jejak diri kita selama setahun terakhir. Setelah melakukan self-audit alias introspeksi atau muhasabah tadi, kita bisa menyusun langkah-langkah atau rencana-rencana yang lebih baik untuk setahun ke depannya. 

Beginilah idealnya kita memaknai tahun baru. Bukan sekadar mengartikan tahun baru dalam perubahan secara fisik: kalender baru, baju baru, sepatu baru, bahkan pacar atau suami (isteri) baru...naudzu billahi min dzalik (semoga Tuhan menjaga kita dari kemungkinan itu).

Lebih dari sekadar transformasi yang sifatnya lahiriah, lebih susbtantif jika tiapkali permulaan tahun baru dipersepsikan sebagai semangat baru, komitmen baru, untuk meraih pencapaian-pencapaian yang lebih baik ketimbang setahun sebelumnya.

Ini memang bukan pilihan mudah. Sebab "melawan arus" budaya massa berarti harus siap melangkah sendiri atau malah dianggap melakukan deviasi oleh publik. 

Bayangkan, tatkala orang-orang berlomba berhamburan ke jalanan atau menyerbu tempat-tempat hiburan, kita justru buru-buru menyendiri di kamar, melakukan kontemplasi dan refleksi. Kita seolah-olah menjadi makhluk asosial di tengah publik yang tersihir oleh kemaruk merayakan tahun baru.

Akan tetapi memang seperti itulah jika kita ingin tampil beda: dibutuhkan keberanian melangkah sendiri di tengah cibiran kanan dan kiri. 

Itulah sebabnya Allah pun jauh-jauh hari telah mewanti-wanti dalam Kitab Suci-Nya bahwa jalan lurus itu sulit lagi mendaki (QS Al Balad 12). Sebab untuk mencapai tahap kehidupan yang lebih baik dalam bidang apa pun memang dibutuhkan pengorbanan dan perjuangan. Dengan kata lain: jalan yang mendaki. 

Pengorbanan untuk tidak larut dalam eforia massa, dan perjuangan untuk menjadi diri sendiri serta tabah mengatasi tantangan dan ujian.

Percayalah, mereka yang terbaik, para pemimpin yang berkualitas jempolan, senantiasa memiliki cukup stok keberanian melawan arus dan menjadi diri sendiri. Sebab jika diri mereka sendiri mengalami defisit keberanian dan didera krisis keyakinan diri, bagaimana hendak menjalankan amanahnya sebagai pemimpin? 

Bisa diduga, para pemimpin yang tidak cukup memiliki self-confidence serta bekal nyali untuk melawan arus, akan selalu ragu-ragu melangkah. Mereka tidak bisa diharapkan melakukan perubahan. Mereka hanya bisa mengumbar janji atau menebar pesona sesaat demi mengelabuhi rakyat. 

Akan tetapi, para pemimpin seperti itu walaupun resminya mereka seorang pemimpin,  tetapi jiwanya adalah pengikut, bahkan penakut.

Padahal "pemimpin adalah perisai. Rakyat berjuang di belakangnya" (HR Muslim dari Abu Hurairah). Bagaimana akan menjadi perisai jika mereka selalu ragu bertindak, dan bermental penakut? []jarot doso

Tidak ada komentar: