30 November 2008

Mungkin Tuhan Pun Bingung Menolong...



KETIKA pertama kali mengetahui saya "terpilih" menempati posisi ke-7 sebagai caleg DPR RI dari PDI Perjuangan, saya sempat menertawakan diri saya sendiri. Ungkapan yang saya pilih, dan saya katakan kepada sesama teman staf ahli di DPR, bisa jadi sangat sarkastis: Mungkin Tuhan pun bingung bagaimana harus menolong diri saya sebagai caleg....

Sebab, dengan nomor urut kedua dari bawah itu (dari total caleg 8 orang), saya merasa
tak cukup memiliki sumber daya yang bisa menjadi alasan bagi Tuhan untuk bisa menolong saya secara logis. Karena pertolongan Tuhan pun harus mengikuti sunatullah (natural law) atau hukum sebab-akibat yang rasional.



"Tuhan takkan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu lebih dulu berusaha
mengubah nasibnya," demikian firman Tuhan dalam Al Quran.

Jadi doa saja sangat tidak mencukupi. Harus ada usaha dan atau sumber daya dari diri
saya sendiri yang membuat posisi Tuhan menjadi tampak wajar memberikan pertolongan. Pertolongan Tuhan yang tak kuasa kita nalar --seperti mukjizat-- merupakan hak istimewa para rasul dan nabi. Padahal kualitas saya jelas masih sangat jauh dari kriteria seorang nabi, apalagi rasul.

Di pihak lain, saya nyaris tak punya cukup bekal finansial, yang konon merupakan
senjata utama bagi para caleg di era money politics sekarang ini. Dari garis keturunan pun, saya bukanlah anak pahlawan atau tokoh terkemuka. Meskipun juga figur publik semasa hidupnya, almarhum ayah saya cuma terkenal di seantero kelurahan, kecamatan, atau terjauh: kabupaten.

Sementara nama saya sendiri masih kalah ngetop dibanding para
selebriti. Lalu, apa yang bisa saya jual kepada rakyat calon pemilih? Jika mengajak warga memilih gambar partai saya, memang tak terlalu masalah. Sebab daerah kelahiran saya, Sragen, Jawa Tengah, memang salah satu basis suara PDI Perjuangan. Kantong konstituen nasionalis, sejak dulu kala.

Tapi ketika saya coba meminta tokoh-tokoh masyarakat setempat mendukung nama atau
nomor urut pencalegan saya, demokrasi pun langsung berubah menjadi sangat pragmatis atawa transaksional. Mereka pun berlomba menyodorkan beragam program yang harus saya eksekusi sebelum hari H pemilu berlangsung.

Demokrasi mendadak seperti slogan
salah satu hipermarket: cash and carry. Dan ideologi pun seperti kehilangan arti.

Ada tokoh warga yang minta masjidnya direnovasi, ada yang minta jalan keliling
kampungnya dicor...ada yang meminta kas RT-nya diisi.

Bayangkan, jika satu kampung
saja nilai proyeknya 10 juta rupiah, berapa milyar harus saya keluarkan untuk mengiyakan permintaan semacam itu dari ratusan kampung di tiga kabupaten daerah pemilihan saya (Sragen, Wonogiri, Karanganyar)?

Bagi tokoh masyarakat setempat itu, seolah-olah seorang caleg adalah sinterklas atau
dermawan berkantong tebal, yang siap membagi-bagi duit. Padahal, posisi ekonomi saya sendiri realitanya tak jauh beda dengan wong cilik atau kaum marhaen yang hendak saya wakili itu. Maka dari itulah, saya sempat mutung.

Berbahagialah Obama, McCain, atau Hillary di
Amerika. Sebab tatkala kampanye, mereka justru dalam rangka mengumpulkan dukungan sekaligus dana dari para calon pemilih. Namun sebaliknya, yang saya hadapi di Indonesia hari ini adalah: saya kampanye untuk meraih dukungan dan (harus) membagi- bagikan dana...

Dalam konteks inilah, saya pengin bertanya kepada para pengamat yang lantang berkata
bahwa demokrasi kita lebih maju dari Amerika Serikat (AS) hanya karena presiden dan wakil presiden RI dipilih rakyat secara langsung.

Karena sudah pesimis sebelum bertarung, saya sempat berpikir hendak mengundurkan
diri dari caleg. Bukan lantaran sakit hati kepada partai karena menempatkan saya di nomor buntut, melainkan karena sudah merasa bakal kalah sebelum bertanding.

Maka bahasa saya pun juga amat pesimis ketika saya memberitahu dosen sekaligus yang
saya anggap sahabat dan guru politik saya: Mas Cornelis Lay, Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, "Saya nomor urut 7 Mas, nomor sepatu...".

Tidak saya sangka, respon Mas Cony --begitu biasanya beliau saya panggil-- sangat
tajam. "Kamu jangan meremehkan kemampuanmu sendiri. Jika kamu meraih 15% suara (aturan partai) atau 30% suara (aturan KPU) dari bilangan pembagi kursi, kamu jadi. Nomor urut tidak ada artinya."

Kata-kata Mas Cony menyengat benak saya berhari-hari. Alhamdulillah, akhirnya saya
pun bisa berpikir positif terhadap diri sendiri. Ya, sangat salah belum apa-apa kita sudah negative-thinking terhadap potensi diri. Tidak ada salahnya saya mencoba peluang yang sudah di depan mata. Apalagi caleg dengan nomor urut yang lebih bawah ketimbang saya pun saya lihat banyak yang sangat bersemangat.

Maka, pelan-pelan saya coba menata hati kembali. Saya inventarisasi kekurangan dan
kelebihan saya sebagai caleg. Saya menemukan, saya juga punya nilai plus dibanding caleg lainnya. Setidaknya, dari sekian caleg separtai, hanya sayalah caleg yang asli Sragen, salah satu kabupaten dari daerah pemilihan (dapil) Jawa Tengah IV, dapil tempat saya harus berlaga.

Selain itu, saya termasuk caleg yang masih muda. Usia saya masih di bawah 40 tahun.
Saya juga memiliki rekam jejak belasan tahun sebagai aktivis mahasiswa dan berorganisasi. Apalagi saya datang dari keluarga yang secara sosiologis cukup dihormati di kalangan tetangga-tetangga kami di desa. Di rumah saya di pinggiran kota Sragen, saya juga tercatat sebagai takmir masjid dan pembina remaja Islam masjid di desa saya.

Maka, akhirnya, saya sekarang lebih mantap maju sebagai caleg. Meskipun tetap
menyesuaikan dengan kemampuan yang saya miliki dan tidak terlalu ngoyo atau memaksakan diri.

Dan saya kembali meyakini kebenaran janji Allah bahwa jika kita menolong agama
Allah, maka Allah pun akan menolong diri kita. Bahkan pertolongan Allah itu bisa saja datang dari arah yang tak kita duga-duga.

Tidak ada yang mustahil bagi Allah, kecuali mustahil berbuat buruk atau bersikap tidak
adil. Sebab Allah itu sendiri Maha Baik dan Maha Adil. Seperti pesan yang pernah tertempel di kaca rias kamar kos saya di Yogya: God is good. []

1 komentar:

baladapns mengatakan...

salam kenal mas
sesama alumni fisipol..

Terus semangat.
Sayang, bukan di dapil saya, shg tidak bisa saya bantu nyoblos.