09 Agustus 2010

Ketika Kita Macet Menulis

[ilustrasi: jskompani.no]
SEPANDAI dan seproduktif apa pun, seorang penulis atau pengarang, suatu saat tentu pernah mengalami kondisi kebuntuan atau macet menulis. Memang, pada saat seperti ini, bisa saja ia memaksakan diri menulis, namun hasilnya sering tidak memuaskan atau berada jauh di bawah standar yang diharapkannya.

Jika tidak demikian, seringkali tulisannya malah berhenti di tengah jalan. Baru satu atau dua paragraf macet, dan ia kelimpungan, tidak tahu ke arah mana tulisannya akan dilanjutkan. “Sedang kehabisan bahan,” begitu alasan klise yang biasanya dikemukakan. Atau bisa juga, “Lagi nggak ‘mood’ menulis.”

Mengapa Terjadi?

Kondisi “kehabisan bahan” acap muncul bila seorang penulis sangat produktif menulis, namun enggan mengimbangi dengan aktivitas membaca. Membaca di sini tidak hanya dalam arti harfiah, seperti membaca buku, jurnal, koran, atau media online, namun juga membaca “ayat-ayat yang terhampar” atau fenomena sosial dan alam sekitar. Dalam istilah para aktivis Islam, yang terakhir lazim dikenal sebagai tadabur alam.
Seperti yang pernah saya utarakan dalam “Pelajaran Pertama Calon Penulis”, membaca ini berguna sebagai sarana memasukkan input berupa ilmu atau pengetahuan baru. Seperti baterai, otak kita juga perlu di-charge ulang dengan pasokan energi baru, agar kinerjanya kembali optimal. Namun energi di sini bukan berupa karbohidrat atau protein yang juga penting bagi kesehatan otak, melainkan masukan berupa informasi atau ilmu pengetahuan tambahan.

Selain itu, membaca bermanfaat pula untuk menyegarkan kembali (refreshing) ingatan kita mengenai ilmu dan pengetahuan yang pernah kita pelajari sebelumnya. Jadi, ibarat komputer, terkadang otak kita perlu di-restart lagi, agar tidak lemot atau lamban berpikir akibat memori yang terlalu penuh dengan hal-hal yang mungkin tidak penting.

Membaca dalam arti “melihat, memperhatikan, dan mencermati fenomena alam” bisa bermanfaat sekaligus untuk sarana rekreasi. Walaupun rekreasi tidak selalu harus dilakukan dengan kembali ke alam (back to nature), tetapi bisa dengan menonton bioskop dan televisi, mendengarkan musik, melihat pentas seni, dan seterusnya.

Jadi, jangan lupa, otak juga butuh istirahat dan selingan yang menyenangkan berupa hiburan atau rekreasi, agar tetap fit dan produktif. Dengan rekreasi yang menggembirakan suasana hati, maka rasa suntuk atau jenuh (bad mood) pun bisa diatasi, dan akhirnya otak kembali bergairah untuk menghasilkan karya tulis.

Seperti pernah saya tulis di “Pengalaman Menulis di Kereta”, penulis senior Arswendo Atmowiloto, biasa bepergian untuk mengatasi kebuntuannya menulis. Biasanya ia bepergian ke luar kota, untuk menyegarkan otak, sekaligus menangkap inspirasi di sepanjang perjalanan. Begitu kembali lagi ke Jakarta, jemari Bung Arswendo sudah tak sabar lagi untuk segera menuliskan ide-ide segar yang muncul sepanjang perjalanan.

“Warning” dari Tuhan

Menurut sastrawan Mohammad Diponegoro, kondisi buntu atau macet menulis itu seperti rem atau sakit. Kondisi itu secara positif harus dilihat sebagai “warning” atau sinyal dari Allah agar kita beristirahat sejenak, dan tidak terlalu memforsir diri dalam menulis. Resep Mohammad Diponegoro tadi secara lengkap bisa kita baca dalam bukunya Yuk, Nulis Cerpen Yuk.

Jadi, kebuntuan menulis ada juga manfaatnya, yakni sebagai pengingat bagi para penulis bahwa tubuh dan anggota tubuh kita pun butuh istirahat. Dan kita harus memenuhi hak tubuh untuk istirahat itu. Sebab jangankan manusia, mesin pun jika kerjanya selalu diforsir dan nonstop, akan terlalu panas, “overload”, atau cepat aus, bahkan bisa pula menimbulkan bahaya lantaran bisa meledak dan terbakar. Begitu juga bagi penulis. Jika kita terus menerus berkarya tanpa jeda, hasil akhirnya tidak mustahil justru bisa membahayakan kondisi fisik dan psikis kita.

Karena itulah, kegiatan menulis perlu diselang-seling dengan aktivitas yang bervariasi, termasuk dengan membaca dan berekreasi atau olahraga. Apabila kita terus menerus menulis, tanpa henti, jika bukan kondisi fisik dan psikis kita yang drop, minimal karya yang dihasilkan akan menurun kualitasnya. Tulisan kita terasa dipaksakan dan kering, ibarat sinetron dan reality show yang sekadar mengejar jam tayang dan rating, sementara isinya tidak mendalam. Lain halnya jika kita memang berniat mengejar kuantitas belaka dan mengabaikan aspek kualitas tulisan.

Mengeksplorasi Lagi

Bagaimana jika kita sudah membaca, melakukan rekreasi, atau aktivitas selingan lainnya, tapi tetap macet menulis? Bila demikian, maka tibalah saatnya bagi kita untuk mencoba mengendapkan bahan-bahan yang sudah kita serap, dengan melakukan refleksi (tadabur) dan kontemplasi (tafakur) atau gampangnya: merenungkannya.

Sebutir telur yang keluar dari tubuh seekor ayam atau itik tidak bisa langsung menjadi kuthuk (anak ayam) dan meri (anak itik), namun perlu dierami beberapa hari oleh induknya atau mesin penetas. Begitu pula input yang masuk ke dalam otak kita, juga perlu didiamkan dulu sementara waktu, agar bisa menetas menjadi tulisan baru.

Selama proses pengeraman gagasan inilah, kita merenung atau melakukan refleksi dan kontemplasi. Jika sudah saatnya menetas, ide-ide brilian tadi akan dengan sendirinya keluar dengan lancar, seperti anak ayam atau itik yang sanggup memecahkan cangkang telur dengan paruhnya, lalu meloncat keluar untuk menghirup udara segar.

Jika sudah dieramkan beberapa lama tapi masih macet juga? Apabila kondisi ini tiba, mungkin saatnya kita harus benar-benar memeras otak: melakukan ekslporasi lebih jauh atas ide-ide atau gagasan yang hendak kita tuliskan.

Jika kita mau mengeksplorasi dengan sungguh-sungguh, boleh dikata sebenarnya banyak sekali hal-hal yang bisa dijadikan tulisan dari sekitar kehidupan kita. Baik untuk tulisan fiksi maupun nonfiksi. Yang perlu dilakukan hanyalah mengeksplorasi atau menggali bahan atau persoalannya secara lebih detil, cermat, dan komprehensif. Jika perlu, dari suatu bahan atau fenomena, dieksplorasi lagi dari segala kemungkinan atau aspek yang tersedia.

Dengan kata lain, menurut kiat yang pernah saya pelajari dari buku Vademekum Wartawan (Reportase Dasar) karya Parakitri Simbolon (mantan redaktur senior Kompas), perlakukanlah bahan atau fenomena yang biasa saja dengan cara-cara yang luar biasa. Jika kita menerapkan pendekatan ini, barangkali tidak akan pernah kita mengatakan “kehabisan bahan”, sebab bahan-bahan tulisan itu selalu tersedia begitu banyaknya di sekitar kita.

Demikian pula nyaris tak ada bahan tulisan yang tidak penting atau tidak menarik. Sebab, apakah suatu bahan akan menjadi tulisan penting dan menarik, akhirnya kembali kepada bagaimana kita menyikapinya. Bahan atau fenomena yang sangat bagus pun jika kita menuliskannya dengan cara sambil lalu, asal-asalan, akan menjadi tulisan biasa-biasa saja, bahkan hambar. Namun bahan tulisan sepele atau biasa saja, asalkan kita memperlakukannya dengan cara yang luar biasa, besar kemungkinan bakal menjadi tulisan yang mengagumkan.

Dalam konteks ini, sewaktu masih kuliah dulu, saya pernah membaca tulisan feature (karangan khas) yang dimuat di halaman pertama harian Kompas, dan masih terngiang-ngiang di benak saya hingga sekarang. Tulisan itu berkisah mengenai hal yang sebetulnya sangat sepele, yakni perilaku tikus-tikus kota metropolitan Jakarta. Namun karena tulisan tadi disusun sedemikian rupa, dan dilengkapi wawancara dengan ahli antropologi kota yang meneliti perilaku tikus itu, tulisannya menjadi sangat menarik dibaca dan pantas menempati halaman pertama. Judul tulisan itu “Tikus-tikus Kota Jakarta”.

Nah, mari mencoba menulis hal-hal biasa, yang kita kenal sehari-hari, tentang kecoa, nyamuk, lalat, atau tetangga sebelah rumah kita, misalnya, tapi dengan cara-cara luar biasa. Percayalah, pilihan ini lebih baik, ketimbang kita memaksakan diri menulis sesuatu yang kita anggap luar biasa, namun belum kita kuasai sepenuhnya. Akibatnya, kita pun cenderung menuliskannya dengan cara yang biasa-biasa saja, bahkan asal-asalan [] Jakarta, 8 Juni 2010

Tidak ada komentar: