25 Mei 2010

Maaf, Saya Tak Ikut Memboikot FB

“MAAF tanggal 20 Mei ini saya tidak ikut memboikot FB. Sebab saya kira FB tidak harus ikut bertanggung jawab atas ulah segelintir orang-orang yang tidak bertanggung jawab…Ibarat ada orang-orang berbuat jahat di dunia ini, dan Tuhan sebagai pencipta dunia tidak mau memberantas orang-orang jahat itu, apakah kita harus memboikot Tuhan?” begitulah kalimat yang saya posting malam ini (20/5/2010), di status Facebook saya.

Kalimat itu saya ungkapkan untuk merespon maraknya ajakan para penganut agama saya, agama Islam, untuk memboikot jejaring sosial Facebook atau lazim disingkat FB. Ada sebagian pemeluk Islam yang mengajak memboikot FB selamanya, bahkan dengan embel-embel kutipan fatwa haram dari ulama. Ada pula yang mengajak memboikot FB hanya sehari semalam atau 24 jam saja, yakni pada hari Kamis yang bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2010 ini.

Alasan para pendukung gerakan boikot FB kali ini, karena FB dianggap melakukan pembiaran terhadap perlombaan kontroversial: membuat kartun Nabi Muhammad SAW. Lomba itu diselenggarakan atau dipublikasikan melalui fasilitas jejaring pertemanan FB, yang konon paling besar peminatnya di Indonesia ini. Inisiatornya tentu saja salah satu pemilik akun FB.

Lomba itu menjadi kontroversial, khususnya bagi umat Islam, lantaran bagi umat Islam selama ini ada pantangan atau tabu untuk menggambarkan sosok Nabi secara visual, melalui gambar, lukisan, film, kartun, dan sebagainya. Dan pantangan atau larangan tersebut memiliki dasar-dasar legitimasi agama yang kuat dan sahih.


Secara historis, larangan itu bisa dipahami, karena bermaksud melindungi kemuliaan Nabi Muhammad SAW dari kecenderungan para pemeluknya untuk melakukan kultus individu atau pemujaan berlebihan kepada beliau. Dengan demikian, larangan itu sekaligus juga menjaga akidah umat Islam atau para pengikut Muhammad dari bahaya untuk mendewakan atau mempertuhankan Nabinya sendiri.

Terkait dengan adanya larangan atau lebih halusnya himbauan religius untuk tidak memvisualisasikan sosok Nabi Muhammad secara fisik itu –lebih-lebih menggambarkan wajah beliau secara realistis— sebagai muslim tentu saja saya sepakat. Sebab jangankan seorang nabi, sosok kyai atau ulama biasa saja juga memiliki kecenderungan dikultus-individukan oleh santri-santri atau warga sekitarnya.

Akibatnya, ketika seorang kyai atau ulama yang dikultuskan tadi meninggal dunia, kuburannya pun menjadi semacam rumah ibadah, dan doa-doa tidak lagi ditujukan langsung kepada Allah, melainkan kepada sang kyai atau ulama tadi. Kyai atau ulama yang meninggal dunia dianggap mampu memberi berkah atau minimal dipandang mampu menjadi wasilah (perantara) antara si pelantun doa dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Kecenderungan manusia untuk menduakan Tuhan seperti inilah yang kiranya tidak dikehendaki oleh ajaran Islam atau Nabi Muhammad SAW sendiri. Kegiatan mengkultuskan sosok ulama, kyai atau nabi itu sekilas tampaknya religius atau sesuai dengan perilaku yang islami. Sebab dengan pengkultusan tadi seolah-olah kita sangat menghormati dan mencintai ulama, kyai, atau nabi. Namun, jika ditilik lebih jauh, perilaku mengkultuskan orang suci yang dilakukan oleh sebagian umat Islam itu sebenarnya justru berseberangan dengan ajaran tauhid (monoteisme) Islam sendiri. Perilaku itu, secara sadar atau tidak, telah menempatkan sesuatu yang tidak layak disembah (manusia) menjadi seakan-akan selevel dengan sesuatu yang layak disembah (yakni Tuhan Yang Maha Esa atau Allah).

Dengan kata lain, kultus individu justru bertentangan dengan semangat syahadat: ikrar suci seorang muslim bahwa mereka hanya akan menuhankan Tuhan sekaligus memposisikan Muhammad sebatas utusan Tuhan. Penggambaran Muhammad SAW secara visual-konkret dikhawatirkan dapat menjerumuskan seorang Muslim berperilaku syirik: memuja gambar atau foto Muhammad, misalnya. Bahkan, makam Nabi Muhammad SAW pada masanya nyaris saja dihancurkan oleh masyarakat Islam di Arab Saudi karena telah banyak disalahpahami umat Islam sebagai semacam sesembahan baru.

Haruskah Boikot?
Akan tetapi, pertanyaannya sekarang, jika ada seseorang atau sekelompok orang mengajak orang lain berlomba-lomba menggambar atau memvisualisasikan sosok Nabi Muhammad melalui FB, haruskah kita boikot FB?

Menurut saya, tidak seharusnya kita memboikot FB. Yang diboikot mestinya adalah orang atau panitia penyelenggara lomba yang mengajak orang lain menggambar foto atau sosok Nabi Muhammad SAW tersebut. Pihak FB tidak dapat dimintai tanggung jawab atas ulah segelintir pemilik akun FB yang telah melakukan kegiatan tidak menyenangkan umat Islam itu.

Memang, FB dapat diminta menutup atau memblokir akun inisiator lomba menggambar kartun Nabi Muhammad di FB. Namun, seandainya atas alasan-alasan internal, pihak FB menolak memblokir, saya tetap tidak setuju melakukan boikot terhadap FB. Salah satu alasannya seperti telah saya posting di status FB saya, yang saya kutip di awal tulisan ini.

Dengan kata lain, pihak FB tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukan oleh orang atau lembaga lain dengan memakai fasilitas mereka. Sebab fasilitas FB itu bersifat terbuka, bahkan gratis, sehingga siapa pun bisa mempergunakannya atau menyalahgunakannya. Tanggung jawab atas penggunaan dan atau penyalahgunaan atas fasilitas yang diberikan situs jejaring sosial tersebut harusnya dikembalikan kepada para pemakainya masing-masing.

Jadi ibarat internet: apakah internet digunakan untuk dakwah, pelacuran, ataukah terorisme, pencipta internet atau operator penyelenggara jasa layanan internet tentunya tidak dapat dipersalahkan. Sebab internet sendiri tatkala diciptakan sebagai sarana teknologi informasi dan komunikasi bersifat netral. Apakah internet digunakan untuk melakukan dakwah Islam ataukah justru mempromosikan pelacuran secara virtual, misalnya, semuanya kembali kepada “the man behind the gun”-nya.

Apalagi, seperti diungkapkan Menkominfo Tifatul Sembiring kepada media massa, toh jika akun lomba menggambar Nabi tadi diblokir, maka orang yang sama dengan akun berbeda atau pemilik akun lainnya dapat segera membuat perlombaan sejenis pula. Artinya, dalam era virtual sekarang ini, blokir-memblokir merupakan pekerjaan yang sedikit banyak sia-sia.

Maka daripada boikot, menurut saya, lebih positif kita sebagai umat Islam lebih rajin melakukan penjelasan atau aksi informasi kepada seluruh khalayak: mengapa umat Islam sampai menghindari untuk menggambar atau memvisualisasikan wajah atau sosok Nabi Muhammad. Sebab, bisa jadi, orang-orang di luar agama Islam yang mencoba menggambar, membuat kartun, atau melukis figur Nabi Muhammad SAW itu tidak mengetahui alasan sesungguhnya, mengapa agama Islam sampai melarang memvisualisasikan wajah atau sosok Nabi.

Nah, barulah ketika suatu gambar, kartun, atau lukisan tersebut jelas-jelas bernuansa melecehkan atau menghina sosok Nabi Muhammad SAW yang sangat dimuliakan oleh ratusan juta umat Islam di seluruh dunia, maka tentunya si pelukis atau kartunisnya patut dicurigai memiliki kebencian atau setidaknya penyakit “islamophobi” (ketakutan terhadap Islam) secara berlebihan.

Akan tetapi, tanpa mengurangi rasa hormat dan cinta saya kepada Nabi Muhammad SAW, saya sendiri sebagai muslim lebih cenderung menyikapi semua aksi atau tindakan yang bisa diklaim sebagai pelecehan atau penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW atau agama yang saya anut, dengan kepala dingin, rasional, dan biasa-biasa saja. Sebab, menurut saya, kemuliaan seorang Nabi Besar Muhammad SAW atau keluhuran ajaran agama Islam tidak akan luntur begitu saja hanya karena sikap picik sebagian umat manusia yang menghina atau meremehkannya.

Nabi Muhammad sendiri pada masa perjuangannya melakukan syiar Islam juga sudah sering diejek, dihina, bahkan diludahi dan dilempari batu. Akan tetapi, keluhuran akhlak atau karakter pribadi beliau SAW tidak membiarkan provokasi murahan seperti itu memancingnya untuk membalas dengan tindakan yang tidak terpuji.

Nabi tetap sabar dan teguh menyampaikan kebenaran. Bahkan, menurut sebuah riwayat, ketika malaikat Jibril menawarkan bantuan untuk menghancurkan suatu kelompok masyarakat yang dinilai telah menghina Nabi Muhammad SAW di luar batas, Nabi pun tetap menolak dan memilih memaafkan mereka. “Sebab aku berharap, suatu saat akan lahir generasi yang saleh dari anak turun mereka,” begitu kurang lebih Nabi menjawab tawaran Jibril.

Sayangnya, belakangan ini seringkali sebagian kita, umat Islam, mudah sekali menyikapi setiap tendensi pelecehan, penghinaan, atau perbuatan yang menyakitkan hati dengan sikap reaksioner, emosional, atau marah-marah berlebihan.

Tidak sekadar dengan aksi boikot membabi buta, terkadang sebagian kita juga melakukan aksi balasan berupa perusakan dan pembakaran rumah ibadah kelompok agama lain, atau bahkan menghalalkan aksi bom bunuh diri plus kekerasan yang tak mengenal belas kasihan alias terorisme. Sebuah perilaku yang bukan saja tidak meneladani perilaku terpuji Nabi, melainkan lebih mencerminkan sikap-sikap ekstremisme kelompok Islam puritan beraliran Wahabi… [] Jakarta, 20 Mei 2010.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Saya sangat setuju dengan prtnyaan Mas Jarot, "Apakah tuhan harus kita boikot?". Saat ini beberapa saudara2 muslim kita sangat amat reaksioner tanpa logika. Memang saya kira juga ini pengaruh Wahabi,,dimana kekerasan (fisik/non-fisik) masih menjadi sebuah solusi.

-Nanto / www.nanto.web.id -@gmail.com