25 Mei 2010

Apakah Orang Yahudi Selalu Jahat?

YA, apakah setiap orang Yahudi itu jahat? Pertanyaan itu seolah iseng tapi sejatinya butuh jawaban serius. Pertanyaan  itulah yang acap saya lontarkan kepada teman-teman aktivis saya, terutama yang berasal dari latar belakang organisasi Islam.

Biasanya semua teman saya akan mengiyakannya dan jadilah saya sendiri yang melawan arus dan menjawab “tidak”. Melihat sikap saya, lazimnya respon teman-teman saya terkejut. Ada yang mengernyitkan dahi, ada yang ternganga keheranan, ada yang menunjukkan rasa ingin tahu apa alasan saya, ada yang kesal, ada pula yang cuma terpekik lirih sambil mengucap “astaghfirullah al adzim…”.

Saya sadar, membela komunitas Yahudi di hadapan orang-orang Islam taat adalah pilihan yang tidak populer, bahkan sangat berisiko. Jangankan membela, mencoba bersikap adil, seimbang, atau tawazun saja sudah bermasalah. Sekadar contoh, tokoh Islam sekaliber Gus Dur dan Cak Nur (Nurcholish Madjid) saja bisa dicap “antek Yahudi yang ingin menghancurkan Islam dari dalam”, apalagi cuma saya. Bahkan mendiang Presiden Mesir, Anwar Saddat, yang juga seorang muslim, harus menemui ajal lantaran dibunuh aktivis Islam garis keras karena mensponsori perdamaian dengan negara Yahudi, Israel.

Tetapi hidup adalah masalah pilihan, dan setiap pilihan mengandung risiko. Saya tak bermaksud membela rezim zionis Israel ketika menyatakan bahwa tidak semua orang Yahudi jahat. Saya pun tidak menyukai sepak terjang negara zionis itu, yang kerap memperlakukan warga Palestina, baik Muslim maupun Kristen, secara semena-mena.

Akan tetapi, saya memang tidak suka bersikap rasis atau membenci orang lain karena keyakinan agamanya. Dan menurut saya, sikap dasar saya ini sejalan dengan ajaran agama saya, agama Islam, yang menghormati kebebasan beragama dan mengakui keragaman suku bangsa ataupun ras manusia yang hidup di dunia ini.

Jadi, kalaupun saya termasuk bersikap anti-Israel lebih karena perilaku negara zionis itu yang gemar bersikap diskriminatif, melanggar HAM, dan mengedepankan kekerasan, bukan karena ras atau agama mereka.


Hanya repotnya, agama Yahudi sendiri adalah agama yang eksklusif bagi ras semit atau ras Yahudi, demikian pula halnya dengan negara Israel yang memperlakukan ras Yahudi secara istimewa. Akibatnya, kita kadang sulit membedakan sikap permusuhan kita kepada negara Israel dengan sikap kita kepada penganut agama Yahudi ataupun ras Yahudi.

Kendati demikian, menurut saya, bagaimanapun sulitnya, kita harus mencoba bersikap adil. Sebab bukankah, menurut ajaran Islam itu sendiri, terhadap musuh yang kita benci pun kita harus adil? Sebab, demikian Tuhan telah berfirman dalam Al Quran, sikap adil itu lebih dekat kepada takwa atau ketaatan kepada Tuhan. Adil juga merupakan salah satu sifat Allah yang harus kita implementasikan dalam karakter kita sehari-hari sebagai hamba-Nya.

Lalu, apa alasan saya mengatakan bahwa tidak semua orang Yahudi itu jahat? Pertama, mereka juga manusia. Dengan kata lain, sebagai manusia, seperti diyakini iman Islam, mereka juga makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Dalam konteks ini, tidak mungkin jika semua orang Yahudi adalah jahat, meski juga tak mungkin semuanya baik.

Kedua, tidak semua orang Yahudi menyetujui tindakan negara zionis Israel. Bahkan tak sedikit pemuka agama Yahudi di AS yang secara terbuka menentang sikap semena-mena Israel. Tak sedikit pula ilmuwan Yahudi diaspora, yang tersebar di segala penjuru dunia, yang menentang zionisme Israel. Dua di antara mereka adalah Albert Einstein dan Herbert Feith.

Einstein dan Feith
Boleh jadi kita selama ini hanya mengenal sosok Albert Einstein sebagai salah satu fisikawan peraih Nobel. Kita jarang mengetahui bahwa ia adalah seorang Yahudi. Kita juga jarang mendengar bahwa sikap politiknya menentang zionisme Israel.

Karena itu, tak mengherankan jika tidak sedikit kawan-kawan saya yang berasal dari aliran Islam garis keras dan sangat anti-Yahudi justru menjadi pengagum Einstein. Bahkan, satu dua orang ada yang memajang poster Einstein di kamarnya. Dengan kata lain, sadar atau tidak, mereka telah mengidolakan seorang Yahudi. Dan biasanya teman-teman saya tadi berasal dari fakultas eksakta ketika kuliah, sehingga sekilas tampak wajar mengidolakan Einstein.

Terkait hal ini, semasa kuliah dulu saya juga memajang gambar Einstein di ruang tamu kamar kos saya. Sengaja saya pilih poster Einstein yang tengah menjulurkan lidahnya secara jenaka. Saya tahu, sikap saya ini suatu ketika akan menimbulkan tanda tanya di benak teman-teman saya yang berasal dari jurusan eksakta. Sebab saya sendiri kuliah di jurusan ilmu-ilmu sosial, sehingga dianggap tak lazim jika menjadi “pengikut” bapak teori relativitas Albert Einstein.

Benar saja dugaan saya. Suatu ketika teman saya yang bertandang bertanya, mengapa saya mahasiswa ilmu sosial kok memajang poster Einstein? “Apakah karena menyesal tidak masuk jurusan eksakta?” tanya teman saya tadi.

“Enggak, saya nggak menyesal tidak memilih jurusan eksakta,” kata saya. “Saya memasang poster Einstein yang menjulurkan lidah itu untuk mengkritik sikap teman-teman kita yang bersikap standar ganda. Di satu sisi mereka sangat antipati atas apa pun yang berbau Yahudi, namun di sisi lain ketika mengagumi Einstein mereka lupa bahwa Einstein juga seorang Yahudi. Mestinya jika konsisten, ketika mereka menolak atau membenci apa pun yang berbau Yahudi, ya harus ditolak juga teori relativitasnya Einstein.”

Ironisnya lagi, ucapan Einstein yang  mengaitkan pentingnya sinergi ilmu dan agama acap dikutip teman-teman saya yang amat anti-Yahudi tadi. Tentunya kita masih ingat ucapan legendaris Einstein ini: “Ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh.”

Posisi Herbert Feith mirip Einstein. Selama ini boleh jadi kita hanya mengenal nama Herbert Feith sebagai salah satu pakar tentang Indonesia alias indonesianis asal Australia. Jarang ada yang mengetahui bahwa ia seorang Yahudi.

Saya sendiri juga baru mengetahui Profesor Herbert Feith keturunan Yahudi saat menjadi mahasiswanya di program pascasarjana UGM. Ketika itu saya mengantar teman wartawan yang hendak mewancarai Pak Feith soal konflik Israel-Palestina. Namun Pak Feith dengan sopan menolak permintaan wawancara itu.

Secara pribadi Profesor Feith menyatakan mendukung kemerdekaan bangsa Palestina, namun ia tidak ingin dikenal sebagai orang Yahudi, mengingat sensitifnya isu anti-Yahudi di Indonesia. Pak Feith khawatir wawancara dengan tema isu Israel-Palestina akan memancing pihak-pihak yang tidak suka untuk mempersoalkan latar belakang ras Yahudinya.

Dari sini Profesor Herbert Feith malah bercerita bahwa ia mengagumi sejumlah cendekiawan Muslim Indonesia, antara lain Amien Rais, Nurcholish Madjid (Cak Nur), dan Gus Dur yang telah berjasa mendorong gerakan reformasi.

Dalam keseharian, sikap Profesor Feith juga apresiatif terhadap Islam dan para mahasiswanya yang mayoritas muslim. Pada waktu bulan Ramadhan, misalnya, Profesor Feith patungan dengan Profesor Dwight King (guru besar tamu kami yang asal Amerika) untuk menraktir buka bersama bagi kami, para mahasiswanya. Baik mahasiswa muslim maupun yang beragama lain diajak ikut serta dalam kegiatan yang diselingi dengan sharing dan keakraban ini.

Jika mengingatnya kembali saat-saat itu saya sekarang justru malu sendiri. Sebab kami yang tuan rumah di negeri sendiri dan yang muslim pula, malah yang ditraktir buka bersama oleh Profesor Feith dan Profesor King. Namun apa boleh buat, dua guru besar kami itu menolak jika kami yang iuran untuk membayar buka bersama di restoran yang cukup mewah di Yogya itu.

Itulah persinggungan saya dengan Profesor Herbert Feith, seorang Yahudi yang baik hati. Sejak itulah saya memutuskan belajar bersikap lebih adil lagi bagi orang-orang Yahudi, seperti Profesor Feith atau Einstein: bahwa tidak semua orang Yahudi itu jahat, dan tidak semuanya harus ikut dipersalahkan lantaran sikap zalim rezim zionis Israel. Sebab tidak semua orang Yahudi mendukung Israel dan tidak semua Yahudi menyetujui sikap Israel.

Sayang sekali Profesor Feith yang sederhana dan gemar bersepeda ketika pergi-pulang untuk mengajar di Kampus Biru, UGM,  itu beberapa waktu lalu meninggal dunia di Australia. Kabarnya almarhum tertabrak mobil tatkala bersepeda menuju kampus untuk mengajar pula.

Terimakasih Profesor Herbert Feith, juga Profesor Dwight King. Dari Anda berdua kami tidak hanya pernah belajar ilmu politik, lebih dari itu kami juga belajar bagaimana seharusnya menghormati kemanusiaan seseorang, terlepas dari label-label atau stigma-stigma artifisial yang seringkali secara apriori dilekatkan kepada seseorang…[] Senayan, 17 Mei 2010.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

sebuah keresahan yang sama. tmpaknya perlu pencraan buat para aktifis mana beda Israel, Yahudi dan Zionis. di INA hal sperti ini jdi bias, krn soal rasisme tdk trllu tajam, tetapi di Amerika misalnya hal sprti ini bisa bermasalah, krn mrka punya sjrah kelam ttg rasisme. Kita disini bisa seenaknya bilang "Yahudi laknatullah"...disana (Amrik) bilang gtu bisa2 dituduh punya prdigma rasisme...ayo pak antm perlu kasih ceramah ttg hal in. Sy punya tulisan ttg ini, tpi lagi mikir2 buat tak publish he2x...agak sensitif je ^^

Anonim mengatakan...

why not...seaNDAINYA YAHUDI MEMANG BENAR-BENAR BURUK, MENGAPA masih saja ada orang yang menganutnya dengan taat? islam bermasalah dengan zionis, bukan dengan yahudi. zionis ibarat teroris dalam islam. apabila umat islam tidak suka di anggap teroris karena perilaku segelintir orang, mengapa kita menyalahkan semua kaum yahudi?

rrrdinz mengatakan...

Kata Yahudi diambil menurut salah satu marga dari dua belas leluhur Suku Israel yang paling banyak keturunannya, yakni Yehuda. Yehuda ini adalah salah satu dari 12 putera Nabi Yakub..