27 Desember 2009

Pengalaman Menulis di Atas Kereta





TULISAN ini kubuat di atas kereta eksekutif Argodwipangga. Kamis 14 April 2009. Kereta tengah melaju menuju Solo dari arah Jakarta.

Ketika aku mulai menuliskan halaman ini, rangkaian gerbong baru saja melewati Stasiun Purwokerto. Jarum jam menunjukkan sekitar pukul 14 siang. Jadi kira-kira sudah setengah perjalanan, sejak berangkat dari Stasiun Gambir, Jakarta, tepat jam 8 pagi.

Aku sengaja menulis di atas kereta yang tengah berlari kencang ini karena ingin merasakan sensasi tersendiri. Kebetulan gerbong kereta eksekutif menyediakan semacam meja lipat kecil yang disembunyikan di pegangan masing-masing kursi. Meja ini biasa digunakan penumpang sebagai meja makan.

Iseng-iseng kucoba, ternyata ukuran meja lipat ini pas dengan panjang-lebar laptopku yang berlayar 12 inci. Jadi lebih mudah dan nyaman lagi aku menulis, sebab tak harus meletakkan komputer jinjing di atas pangkuan. Konon, kata keponakanku, kerap meletakkan laptop hidup di atas pangkuan dapat menyebabkan kemandulan, akibat kualitas sperma yang tidak bagus diproduksi di bawah temperatur melebihi suhu tubuh.

Oya, setelah kucoba, memang menarik sekali menulis di atas kereta begini. Apalagi jika dimulai ketika kita sudah menempuh sekitar separoh perjalanan seperti ini. Sebab sudah cukup banyak pemandangan beragam yang bisa kita lihat sepanjang kanan-kiri rel kereta api maupun di kejauhan. Dan ini tentu saja menjadi sumber inspirasi tersendiri, yang takkan bakal kita dapatkan andai kita menulis di kamar butut rumah kita atau di ruangan kantor yang formal dan acap bikin suntuk itu.

Lihat saja, ada bapak-bapak dan ibu-ibu petani bersahaja, yang demikian rajin bekerja di sawah-sawah menghijau atau menguning jika mendekati musim panen. Ada serombongan anak-anak muda kampung yang mencari belut di sawah, untuk menambah lauk keluarga tentunya. Ada sekompi burung blekok putih, berkaki jenjang, yang bersijingkat bagai peragawati ramping menapaki hamparan sawah. Dan para pengendara sepeda motor pun nyaris selalu berjubel di perlintasan kereta api, dengan wajah-wajah yang seolah tak sabar perjalanannya terganggu kereta... (yang terakhir ini di Jakarta sih menjadi menu wajib tiap hari, hahaha. Jakarta memang pantas dijuluki ibukota ketidaksabaran!).

Sudah lama aku ingin menulis di atas kereta begini. Karena itu sudah beberapa kali aku bepergian Jakarta-Solo atau sebaliknya dengan memilih kereta eksekutif siang hari. Tetapi selalu saja keinginan menulis itu belum bisa terlaksana, padahal laptop ya hampir selalu menyatu dengan diriku ke mana saja aku pergi.


Ihwal kegagalan menulis di atas kereta tadi, ada bermacam alasan yang bisa dikemukakan. Terkadang kereta kelewat penuh atau ramai dengan celoteh dan hilir mudik anak-anak balita yang mengganggu konsentrasi. Terkadang mood menulis pun hilang lantaran di samping kita bertengger penumpang lain yang sangat hobi ngobrol, sehingga diriku pun selalu gagal menghentikan nafsunya untuk berbicara itu. Mau tak mau aku kan harus menjadi mitra ngobrol-nya.

Tapi aku tidak putus asa. Kali ini kupilih lagi kereta yang berangkat pagi hari. Kenapa hayo? Lha kalau perjalanannya malam hari, panorama apa yang bisa dipertontonkan dari balik jendela kereta? Kecuali kerlap-kerlip lampu sendu di perkampungan penduduk atau kegelapan semata? Hitam, hitam, dan hitam, seperti wajah birokrasi dan dunia hukum kita yang tak pernah bersih dari noda hitam suap-menyuap dan skandal korupsi.


Makanya, aturan pertama jika kita ingin menulis dengan penuh warna di atas kereta, pilihlah kereta yang budal pagi atau siang hari. Yang kedua, sebisa mungkin naiklah kereta eksekutif. Sebab hanya kereta jenis ini yang menyediakan fasilitas pendingin ruangan.

Tanpa bekerja di ruang ber-AC, laptop kita bakal cenderung lebih boros energi. Sementara di atas kereta, batere laptop kita jika low-bat tidak bisa segera disetrum ulang. Jadi wajib hemat setrum.

Padahal rata-rata laptop hanya mampu menyediakan kapasitas batere yang berdurasi tiga atau empat jam-an. Repot kan apabila kita tengah semangat-semangatnya menulis tiba-tiba laptop drop dan tidak bisa dipakai lagi? (Catatan: perkembangan terakhir, beberapa kereta eksekutif, seperti Argodwipangga dan Argowilis, sudah dilengkapi colokan listrik di dinding dekat masing-masing penumpang, sehingga laptop bisa hidup sepanjang perjalanan).

Di kereta eksekutif juga tidak akan ada ‘gangguan-gangguan’ kecil seperti pengamen atau pengasong yang hirukpikuk. Memang, dalam taraf tertentu, ramainya suasana gerbong kereta oleh teriakan-teriakan khas pengamen dan atau pedagang bisa menjadi inspirasi tersendiri untuk menulis. Namun jika kita sedang tidak ingin menulis kehirukpikukan itu, percayalah, para pedagang dan pengamen yang bengak-bengok semau-gue itu bakal lebih sering mengganggu kenyamanan kita menulis daripada sebaliknya.

Apalagi sering terjadi, satu dua di antara pengamen atau pedagang itu gemar memaksakan kehendaknya kepada para penumpang, bahkan sering dilengkapi dengan rayuan-rayuan yang mengancam... wah, jadi ingat judul film Doa yang Mengancam nih.

Yang tak kalah penting adalah perasaan aman. Bagi Anda yang belum pernah menjadi wartawan, bisa jadi akan terlalu ngeri jika harus mengeluarkan laptop mahal di tengah sumpeg, kotor, dan berjejal-jejalnya penumpang kereta kelas ekonomi.

Kecuali itu, bisa terjadi, bukannya sukses menulis, bisa-bisa pula malah waktu Anda cuma habis untuk menjelaskan apa itu laptop, untuk memuaskan rasa ingin tahu para penumpang kereta ekonomi yang rata-rata masih gaptek dan karena itu suka gumunan itu.


Kisah Arswendo

Merasakan pengalaman menulis di atas kereta begini mengingatkanku kepada cerita Bang Arswendo Atmowiloto (mantan pemimpin redaksi Tabloid Monitor yang pernah merasakan menulis dalam penjara juga, hehe).

Dalam salah satu bukunya, Mengarang itu Gampang atau Mengarang Novel itu Gampang –pokoknya salah satu di antara 2 buku ini— Bang Wendo berkisah bahwa jika ia suntuk dan macet menulis, itu artinya ia harus mengadakan perjalanan tanpa tujuan dengan naik kereta api. Tanpa tujuan itu maksudnya ya pokoknya sekadar bepergian saja, misalnya ke Yogya, sesampai di Yogya langsung balik Jakarta ya tak apa-apa. Sebab yang terpenting adalah bepergiannya, bukan kota tujuan bepergian kita.

Nah, kembali pada kisah Bang Wendo, biasanya sepulang dari keluyuran naik kereta api begini dia langsung lancar menulis lagi. Kenapa bisa begitu? Ya seperti kusebut di bagian awal tulisan tadi, karena selama perjalanan ini kita bisa mendapatkan input atau inspirasi dari bermacam hal yang sempat kita lihat atau renungkan.


Nah, terkait dengan aspek renungan --jikapun kita gagal mengais pemandangan kanan-kiri sebagai pemicu inspirasi— kita bisa memanfaatkan waktu perjalanan yang relatif panjang untuk berpikir secara tenang: refleksi dan kontemplasi. Kita bisa berpikir secara kreatif pula, karena terbebas dari rutinitas dan formalitas tugas sehari-hari di kantor.

Mengingat sifat perjalanan kereta yang relatif lebih lama ini, maka pengalaman menulis di atas kereta ini akan sulit jika misalnya harus digantikan dengan moda transportasi udara. Perjalanan dengan pesawat terlalu singkat untuk bisa kita gunakan sebagai ajang pengembaraan pikiran dan imajinasi. Jadi ingat pesan fisikawan peraih nobel, Albert Einstein: Imagination is more important than knowledge...(komentar teman yang sirik: halah padune bodo wae ndadak etok-etoke membela Eisntein yang imajinatif, hehe).

Kereta api juga lebih minim goncangan ketimbang moda transportasi darat lainnya. Bayangkan Anda menulis dengan laptop di atas bus. Tak mustahil laptop kita bisa pecah berantakan karena terbanting ke lantai. Karena itu, pilihan untuk menulis di atas kereta api ini juga agak repot jika digantikan dengan alternatif menulis dalam perjalanan dengan kendaraan bus. Tidak percaya, coba saja. Apalagi jika gaya lari busnya mirip metromini Jakarta. Wah, bisa-bisa laptop kita terbang mengenai kepala orang. Dan, sudah gagal menulis, malah akhirnya kita masih harus berantem dengan orang yang benjol kepalanya gara-gara terkena lemparan laptop.

Makanya, kalau mau menulis sembari dalam perjalanan, naik saja kereta api... Naik kereta api tut,tut,tut, siapa hendak turut...[] Kereta Argodwipangga Jakarta-Solo, 14 April 2009; 15.14 WIB.

Tidak ada komentar: