27 September 2008

Nikmatnya Ramadhan di Kampung


SUBHANALLAH, melewati bulan Ramadhan di kampung sungguh nikmat. Apalagi setelah sekian lama kita terjerembab di tengah keruwetan, kemacetan, dan kesibukan sebuah metropolitan seperti Jakarta.

18 September 2008

Dari Mana Kita Hendak Memulai?



WHAT is to be done? Demikian kata Lenin dalam salah satu judul tulisannya. Apa yang harus kita kerjakan? Ya, kata-kata Lenin, mantan pemimpin komunis Uni Soviet, itu tiba-tiba saja berkelebat di kepala saya ketika suatu malam, tepatnya suatu dini hari, saya tak bisa juga tidur, dan akhirnya malah memaksa diri mengawali tulisan ini. Saya sendiri bukanlah pengagum Lenin. Akan tetapi judul tulisannya, yang simpel namun provokatif itu, menjadi mudah teringat oleh benak saya. 

17 September 2008

Sepi di Metropolitan


SATU hal yang membuatku acap merasa tak kerasan hidup di Jakarta ialah karena seringnya aku merasa sepi justru di tengah hiruk pikuk kota metropolitan ini. Perasaan itu muncul sejak pertama kali aku bekerja sebagai wartawan di kota ini beberapa tahun lalu, maupun sekarang ini tatkala aku sudah berganti profesi. 

Entahlah, aku nyaris selalu merasa sepi dan sendiri. Perasaan sepi itu kian mencekam justru ketika aku berada di tengah keramaian orang-orang. Di stasiun ketika menunggu kereta, di terminal ketika hendak naik bus, di kantor ketika ada kegiatan yang mengumpulkan banyak orang yang tak kukenal, maupun di dalam angkutan umum yang hampir selalu penuh dengan manusia yang berjubel itu. 

Pada saat seperti itu biasanya aku langsung teringat kalimat dalam novel Kuntowijoyo, Khotbah di Atas Bukit: “....apalah arti sebuah nama...aku hanyalah sebatang pohon di tengah rimba...”

Tak Bisa Menikmati Kehidupan Malam Jakarta


MUNGKIN juga perasaan sepi yang acap mendera jiwaku, seperti kutulis di bawah judul Sepi di Metropolitan, karena pada dasarnya aku kurang bisa menikmati kehidupan atau hiburan malam yang banyak bertebaran di metropolitan. Kehidupan dunia gemerlap (apa pula istilahnya ini?) alias dugem, misalnya. Sejak masih mahasiswa pun aku tak minat mengikutinya. 

14 September 2008

Benci dan Kagum pada Amerika



SUATU hari keponakanku, Nungki, terheran-heran saat melihatku terpaku di depan televisi yang menyiarkan acara film Spiderman.        
Ponakanku itu rupanya tak menyangka bahwa aku, omnya, yang mantan aktivis mahasiswa dan kini staf ahli anggota DPR RI, adalah penggemar film-film yang lazimnya digandrungi anak-anak atau remaja itu.  Maka, aku terpaksa memberi penjelasan padanya, "Yang paling kukagumi pada film ini bukan film ini sendiri atau ceritanya, tetapi teknik pembuatannya yang nyaris sempurna. Bayangkan, bagaimana Spiderman bergelantungan dari satu gedung ke gedung pencakar langit lainnya dengan kecepatan tinggi hanya dengan seutas jaring laba-laba. Sesuatu yang tak masuk akal, tapi dalam film tersebut dapat ditampilkan sangat realistis. Bandingkan dengan film-film atau sinetron Indonesia yang menampilkan adegan manusia (Gatotkaca) atau burung garuda raksasa terbang, maka teknik pembuatan film kita tampak sekali asal-asalannya..."  

Menjadi Santri karena Cak Nur




TIGA tahun aku menempuh pendidikan di SMA Muhammadiyah I Yogyakarta. Di sekolah inilah aku berkenalan dengan dasar-dasar pendidikan agama Islam secara luas dan komprehensif. Bahkan sebagian besar materi pelajaran agama Islam itu belum pernah kudengar sama sekali tatkala masih duduk di SD maupun SMP. Maklum, SD dan SMP kutempuh di sekolah negeri dengan jam pelajaran agama yang minim, hanya sekitar 2 jam seminggu. Sementara kegiatan pelajaran agama ekstra, seperti aktivitas unit kerohanian Islam (Rohis), belum dikenal di sekolahku waktu itu.

Menyesal Lahir Lebih Dulu


Kadang-kadang aku agak menyesal telah lahir ke dunia lebih dulu. Bukan takut keburu mati atau tua. Melainkan karena aku melihat generasi setelahku begitu pintar teknologi, bahkan sejak usia yang sangat dini. Maklum, anak-anak sekarang pada usia SD saja sudah diajari komputer atau berselancar via internet. Sementara pada zamanku mainan anak-anak SD adalah ketapel, kelereng, atau berburu jangkerik di sawah. Apalagi masa kecilku memang kulalui di desa. Akibatnya aku kerap menjadi gaptek alias gagap teknologi jika berhadapan dengan anak-anak zaman kini. Anak bosku, si Riri, misalnya, baru kelas 5 SD sudah mahir YM-an (baca: chatting dengan Yahoo! Messenger), punya account Friendster sendiri, bahkan juga sudah mahir bikin animasi dan mengerti Facebook.